Isu perubahan iklim merupakan isu kompleks yang menjadi tantangan terberat umat manusia saat ini. Secara keilmuan, Organisasi Meteorologi Dunia menjadi pemain inti dalam penetapan kondisi planet Bumi. Michel Jarraud yang menjabat sebagai Sekretaris Umum WMO menjadi salah satu tokoh kunci di tengah isu perubahan iklim. Dia telah duduk di ”kursi panas” itu sejak tahun 2004.
Di tengah konferensi meteorologi regional Asia Pasifik di Jakarta awal Mei lalu, Kompas mewawancarai Jarraud. Menjelang konferensi perubahan iklim Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) di Paris, Perancis, tahun ini dia menilai perlu ada langkah besar negara-negara di dunia untuk menahan proses perubahan iklim.
Bagaimana pendapat Anda tentang lambatnya proses negosiasi di mana secara politik negara-negara tidak mau segera membuat keputusan sesuai saran ilmuwan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peran kami berbeda. Pengambilan keputusan amat penting. Pemerintah, partai politik yang harus membuat keputusan. Namun, dalam mengambil keputusan tersebut mereka harus mendapatkan informasi yang terbaik. Keputusan yang baik adalah keputusan yang bukan berdasarkan pada perasaan, melainkan berdasarkan fakta. Untuk urusan iklim, WMO melalui anggotanya di tiap negara menyediakan informasi tersebut. Ini untuk menghindarkan kekeliruan penilaian. Kalau tidak, keputusan bisa saja diambil berdasarkan kepentingan partai.
Kami tidak secara spesifik menyarankan keputusan yang harus diambil ini atau itu, tetapi kami menunjukkan dampak suatu keputusan. Kami tunjukkan bahwa emisi gas rumah kaca akan memengaruhi suhu atmosfer, curah hujan, dan sebagainya. Orang tidak bisa menuduh, kami menyajikan informasi itu karena kami dekat dengan lobi perusahaan energi nuklir. Kami independen, netral. Dua peran ini, politisi dan ilmuwan, saling melengkapi, dan IPCC (Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim bentukan WMO) adalah antarmuka yang menjembatani dua pihak.
Keputusannya bisa berbeda-beda?
Bisa jadi mereka memutuskan berdasarkan pandangan politik, bisa saja keputusan mereka berbeda-beda dari informasi yang sama. Namun, setidaknya keputusan itu diambil berdasarkan fakta. Ini sebabnya kami bisa mendamaikan semua negara seperti saya jelaskan. Kita bisa meyakinkan untuk mereka bekerja sama satu sama lain karena mereka tahu bisa memetik manfaat dari informasi tersebut.
Bagaimana Anda melihat dampak perubahan iklim ini?
Kita bicara isu air saja, tentang infrastrukturnya. Biasanya kita bicara soal usia infrastruktur, misal bendungan untuk 30 tahun, 50 tahun, 60 tahun, bahkan 100 tahun. Cara membangun dam di masa lalu, pertama-tama kita melihat statistik tentang tingkat curah hujan, tingkat pemakaian listrik, tingkat arus air. Berdasarkan statistik baru kita tetapkan dimensi dam dan menetapkan lokasi. Namun, sekarang berbeda karena apa yang terjadi selama 100 tahun terakhir ini akan memengaruhi masa depan. Dampak terbesar perubahan iklim adalah perubahan pada siklus air, yaitu pada curah hujan, limpasan air, penguapan.
Banyak negara sekarang merancang waduk yang amat besar. Di Afrika, di Asia dibangun dam-dam yang luar biasa besar. Mereka lupa melihat skenario iklim. Misalnya Himalaya. Akibat perubahan iklim, terjadi pelelehan es di puncak sehingga menambah volume air di sungai-sungai. Air bertambah bukan karena hujan. Maka, suatu kali airnya akan menyusut. Di Pulau Siprus, di musim panas tidak ada sungai karena tidak ada hujan. Air hanya ada di beberapa waduk yang terkumpul dari musim dingin. Air bawah tanah nyaris habis. Sekitar 20-30 tahun lalu, mereka membangun beberapa waduk karena kekeringan tiga tahun berturut-turut. Beberapa tahun lalu, mereka mengalami kekeringan empat tahun berturut-turut. Waduk kosong. Mereka impor air dari Yunani menggunakan tangki. Sekarang ini, kita harus melihat data dalam periode lebih panjang. Terkadang tidak mudah mengambil keputusan itu. Dengan adanya perubahan iklim mungkin kita harus meninjau kembali setiap 50 tahun ke depan. Di masa mendatang akan lebih sering lagi.
Bagaimana dengan isu kenaikan permukaan air laut?
Orang mengira air itu datar dan seragam. Padahal tidak. Seperti di Filipina, ada beberapa tempat kecepatan naiknya permukaan air laut mencapai tiga sampai empat kali kecepatan rata-rata global. Perkiraan terakhir, secara global, rata-rata kenaikan permukaan air laut sekitar 3,2 milimeter per tahun. Indonesia sekitar 8 milimeter per tahun.
Naiknya permukaan air laut karena beberapa penyebab. Karena es meleleh, jumlah air bertambah. Lalu pemuaian air laut. Karena tingkat pemanasan air laut berbeda di berbagai tempat, pemuaiannya juga berbeda. Juga terjadi perubahan di atmosfer yang menyebabkan perubahan angin sehingga terjadi perubahan arus laut. Amat kompleks.
Saat ini, kita merujuk pada batas kenaikan suhu dua derajat celsius—dibandingkan 100 tahun lalu—yang ditetapkan di Kopenhagen, Denmark (tahun 1999 saat digelar konferensi perubahan iklim UNFCCC). Dua derajat adalah batas untuk mempertahankan kondisi global. Masih mungkin (feasible) dilakukan, tetapi akan semakin sulit sejalan dengan waktu.
Kalau kita tidak melakukan apa-apa, akan bisa sampai ke empat atau lima derajat celsius di akhir abad ini. Dampak kenaikan empat derajat celsius jauh lebih besar daripada dua derajat celsius. Adaptasi akan jauh lebih sulit, jauh lebih mahal, dan untuk beberapa pulau kecil tidak mungkin (bertahan). Maladewa menghadapi masalah. Titik tertinggi adalah 80 sentimeter. Negara paling terdampak adalah bukan negara yang mengemisi gas rumah kaca terbesar. Namun, negara-negara kecil seperti Tuvalu sudah bertindak. Maka, harus kita tegaskan pada negara-negara pengemisi besar gas rumah kaca untuk bertindak. Beberapa negara besar kini melihat dampak besar perubahan iklim di wilayah mereka sendiri. Seperti Amerika ketika terjadi topan Sandy yang dampaknya kini lebih besar dibanding dulu.
Bagaimana pendapat Anda tentang geo-engineering (rekayasa untuk mengatasi perubahan iklim dengan menciptakan teknologi meniru fenomena alam)?
Jangan dilakukan sekarang. Mari kita amat berhati-hati. Kita tingkatkan riset ilmiah sebelum kita mulai sesuatu. Saat ini, kita belum memiliki pengetahuan ilmiah tentang itu. Belum. Yang diajukan proposalnya banyak yang tidak realistis. Ada yang feasible, tapi kita belum tahu dampaknya. Kalau ada yang salah, kita harus yakin bahwa hal itu bisa dipulihkan dalam waktu singkat. Kita tak bisa mengesampingkan adanya ”kejutan (dampak tak diharapkan)”. Saat ini, kita belum punya pengetahuan tentang ini. Riset dalam isu ini amat sangat sedikit.
Itu sama saja kita bermain api. Jika satu negara melakukannya, perlu disebarkan informasi karena amat rumit masalahnya. Bisa jadi satu negara melakukan dan negara lain menderita kekeringan yang lebih buruk. Dan akan muncul ketegangan. Jangan menambah penyebab ketegangan. Jangan bermain api.
Tahun depan, kongres WMO akan mendiskusikan itu. Kami melihat, dasar sainsnya tidak cukup. Ada beberapa teknik yang sudah diusulkan. Beberapa memang layak secara teknik dan pendanaan, tetapi kami tidak tahu potensi dampaknya. Ini bukan semata soal menurunkan suhu. Ada usulan untuk menyimulasi letusan gunung api, yaitu menyuntikkan sulfur dioksida (SO2) ke atmosfer. Molekul SO2 akan membantu memantulkan (sinar matahari) sehingga signifikan untuk menurunkan suhu untuk sementara waktu, seperti saat gunung di Indonesia meletus (Gunung Tambora). Mungkin layak secara teknologi. Kita bisa menurunkan suhu sedikit, tapi apa dampaknya pada rezim curah hujan. Beberapa negara bisa jadi akan lebih menderita karena kekurangan air. Jadi, jangan kita menyelesaikan satu masalah tetapi menciptakan masalah baru yang lebih besar.
Yang paling penting adalah melakukan lebih banyak riset ilmiah. Soal SO2 sudah didiskusikan dengan Komisi Ilmu Atmosfer.
Anda percaya carbon trading akan bisa menjawab persoalan pemanasan global dan perubahan iklim karena akan menekan konsentrasi gas rumah kaca?
Saya sebaiknya tidak menjawab. Saya akan biarkan itu dibicarakan dalam konvensi saat UNFCCC nanti. Saya mungkin memiliki pendapat sendiri tentang itu, tetapi ini di luar bidang kompetensi WMO. Ini harus didiskusikan sebagai bagian dari negosiasi dan orang. Tak bisa meninggalkan diskusi tentang ini. Ini bukan hanya persoalan harga pasar (untuk karbon-representasi dari gas rumah kaca), melainkan menyangkut masalah politik.
Jika mau konsentrasi mempertahankan kenaikan suhu dua derajat, kita harus mengurangi emisi secara drastis dalam 30-40 tahun mendatang, yang disebut netral karbon. Artinya, emisi harus dikompensasi dengan langkah penyerapan. Suhu tidak akan turun, tetapi akan meningkat dengan kecepatan lebih lambat. Itu hanya bisa terjadi jika ada keputusan besar di UNFCCC di Paris, Perancis, tahun depan.
Apakah langkah sekarang sudah pada jalur yang benar untuk mengatasi perubahan iklim?
Saat ini, kita tidak pada jalur yang benar. Banyak negara tidak memberikan komitmen (untuk mengurangi emisi). Beberapa bulan ke depan dalam konferensi UNFCCC di Lima, Peru, WMO yang mengukur konsentrasi gas rumah kaca menyampaikan hasilnya. Program Lingkungan PBB (UNEP) yang mengukur gap antara apa yang perlu dilakukan dan apa yang terjadi saat ini juga memberi laporan. Setiap tahun ada dua laporan. Keduanya saling melengkapi. Di sana akan terlihat arahnya.
Apakah ada kemajuan yang dicapai melalui UNFCCC?
Ada kemajuan di Warsawa tahun lalu. Ada pengakuan soal loss and damage (kerugian dan kerusakan). Hal ini secara prinsip amat bagus, akan ada pembayaran terhadap kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim dalam suatu bencana. Ini rumit. Kami, WMO, harus bisa memberi penilaian apakah kerusakan itu akibat perubahan iklim. Kami melakukan penilaian pada kejadian gelombang panas di Australia tahun lalu— yang amat jarang terjadi. Komunitas ilmuwan bisa menegaskan, gelombang panas kecil kemungkinan terjadinya jika tidak ada perubahan iklim. Dalam suatu bencana, kami melihat statistik di masa lalu. Ketika ada peningkatan korban yang signifikan, selisihnya bisa dikatakan akibat adanya perubahan iklim. Kami tidak mengatakan ”ini disebabkan perubahan iklim”, tetapi ”kemungkinan terjadi demikian kecil, nyaris tidak mungkin, jika tidak ada perubahan iklim”.
Apa tantangan terberat WMO?
Kami kekurangan sumber daya manusia. Negara-negara Eropa dan negara besar lain yang secara tradisional menjadi donatur kami sekarang mengalami kesulitan finansial. Sementara di negara-negara berkembang banyak negara mengurangi pegawai karena alasan sama. Ahli meteorologi amat kurang, jadi harus mendidik lagi orang dengan gelar master atau sarjana matematika atau fisika. Itu perlu waktu. Kami tidak bisa menunggu karena persoalannya bisa amat dramatis nanti. Di beberapa negara tidak ada stasiun pengamatan karena terjadi perang saudara. Petugas tidak bisa dikirim karena ancaman penculikan dan pembunuhan. Masalah tenaga manusia amat penting bukan hanya masalah peralatan. Sekarang dibangun Global Framework for Climate Services untuk mentransformasi informasi iklim umum menjadi informasi yang berguna untuk berbagai bidang. Sektor pertanian dan sektor kesehatan membutuhkan informasi yang berbeda. Itu tantangan karena butuh pendekatan lintas sektoral dan kerja sama antardisiplin ilmu yang sebelumnya tidak biasa bekerja sama.
————-
MICHEL JARRAUD
? Lahir: 31 Januari 1952, menikah dengan dua anak, menguasai bahasa Perancis, Inggris, dan Jerman-1976–1978: Météo France (Paris)-1978-1985: ECMWF (European Centre for Medium-range Weather Forecast) -1995-2003: WMO, Deputi Sekretaris Umum-Pada 2004 dipilih sebagai Sekretaris Umum WMO dan terus menjabat hingga sekarang. WMO beranggotakan 191 negara. -2012-sekarang: Ketua PBB Urusan Air (UN Water)
Oleh: Brigitta Isworo Laksmi dan Yuni Ikawati
Sumber: Kompas, 15 Juni 2014