Mendekati Kasus Vaksin Palsu

- Editor

Rabu, 29 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Memproduksi dan mengedarkan vaksin palsu adalah kejahatan luar biasa. Tak hanya semata mengancam keselamatan anak balita, tetapi juga membahayakan kualitas generasi bangsa. Di tengah informasi yang belum utuh dan penyelidikan yang masih berjalan, masyarakat perlu jernih dan rasional menyikapinya.

Sejatinya, vaksin berisi bibit penyakit yang dimatikan atau dilemahkan. Vaksin dimasukkan ke tubuh dengan harapan saat bibit penyakit datang, sistem kekebalan tubuh sudah mengenali dan mampu memberi perlindungan hingga mencegah munculnya penyakit atau mengurangi keparahannya.

Oleh karena berisi bibit penyakit yang dimodifikasi, pembuatan vaksin dilakukan di pabrik dengan tingkat keamanan biologi tinggi dan prosedur sangat ketat. Vaksin tak bisa diproduksi sembarang pabrik, apalagi industri rumahan. Demi menjamin tetap efektif, vaksin disimpan dalam suhu 2-8 derajat celsius sebelum diberikan kepada pasien. Vaksin bukanlah obat yang dibuat untuk menyembuhkan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Informasi Badan Reserse Kriminal Polri yang mengungkap kasus vaksin palsu sejak 21 Juni itu menyebut vaksin yang dipalsu antara lain vaksin campak, BCG (Bacille Calmette Guerin) untuk mencegah tuberkulosis, tetanus, dan hepatitis. Vaksin palsu itu berisi cairan infus, zat antibiotik Gentamicin, dan sejumlah zat lain (Kompas, 23-24 Juni 2016).

Sekretaris Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hindra Irawan Satari, di Jakarta, Selasa (28/6), mengatakan, cairan infus biasanya berisi gula, garam, dan sejumlah zat elektrolit. Dalam vaksinasi, dosis yang disuntikkan tidak lebih dari 0,5 mililiter.

“Dengan dosis cairan sekecil itu, tidak akan memberi dampak apa pun bagi tubuh,” ujarnya. Sekitar dua pertiga dari berat tubuh manusia adalah air.

Adapun Gentamicin sebagai antibiotik memiliki dosis tertentu dan harus diberikan beberapa kali agar efektif. Dengan pemberian sekecil itu, Gentamicin sulit memberi dampak bagi tubuh atau menimbulkan resistensi. “Resistensi terjadi jika penggunaannya dalam waktu lama dan tak mengikuti aturan pemberian,” lanjutnya.

Jika dari kandungan vaksin palsu yang diketahui tak menimbulkan masalah, risiko lain yang mungkin muncul adalah infeksi dari proses pembuatan vaksin palsu yang tak steril. Namun, tak semua yang disuntik dengan vaksin palsu itu akan mengalami infeksi, tergantung dari daya tahan tubuh anak.

Menurut Hindra, infeksi yang muncul akan bersifat lokal, yang ditandai munculnya ruam merah, bengkak, dan nyeri di sekitar bekas suntikan, hingga muncul demam dan rasa tak nyaman. “Demam infeksi itu biasanya akan hilang kurang dari seminggu,” ucapnya.

Dalam proses vaksinasi dengan vaksin asli, terkadang juga muncul demam sebagai reaksi tubuh saat divaksin. Namun, demam itu biasanya hanya terjadi beberapa jam hingga sehari.

Kekebalan lingkungan
Oleh karena sudah beredar sejak 2003, diperkirakan banyak anak yang tak terlindung hingga dikhawatirkan akan memunculkan wabah penyakit. Terlebih lagi jika penyebaran vaksin palsu itu meluas di banyak daerah.

Namun, 13 tahun terakhir beredarnya vaksin palsu, tak ditemukan wabah penyakit hepatitis, difteri tuberkulosis, campak, atau polio yang meluas.

Sejumlah kejadian luar biasa (KLB) memang terjadi di beberapa daerah, seperti KLB difteri di Aceh dan Sumatera Barat pada akhir 2014, yang menyebabkan beberapa anak meninggal dan banyak yang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Namun, kasus itu muncul akibat penolakan vaksinasi dengan alasan keyakinan, bukan akibat penggunaan vaksin palsu.

Belum munculnya dampak luas dari vaksin palsu itu kemungkinan karena anak yang divaksin palsu dan tak terlindungi langsung dari penyakit dapat kekebalan atau perlindungan penyakit dari lingkungannya. “Sebagian besar anak di sekitarnya sudah divaksin secara benar sehingga tidak menularkan penyakit ke anak yang divaksin palsu,” lanjutnya.

Kekebalan lingkungan itulah yang membuat besarnya cakupan program imunisasi menjadi penting. Makin tinggi cakupan, makin efektif imunisasi.

Kerancuan informasi lain dalam kasus peredaran vaksin palsu adalah harga vaksin palsu yang lebih murah Rp 200.000- Rp 400.000 dari harga vaksin asli Rp 900.000. Harga vaksin setinggi itu biasanya untuk vaksin pilihan, bukan vaksin dasar yang diwajibkan, seperti vaksin Measles Mumps Rubella (MMR) untuk mencegah campak, gondong, dan campak jerman atau human papilloma virus (HPV).

“Vaksin dasar seperti BCG dan polio harganya kurang dari 1 dollar AS (Rp 13.500) sehingga tidak ekonomis dipalsukan,” ujarnya. Pemalsuan vaksin BCG, polio, dan sebagainya jadi tidak logis jika hanya mengacu pada harga. Pemalsuan jadi logis jika dilakukan pada vaksin komersial dengan harga mahal yang diklaim memiliki keunggulan lain.

Vaksinasi ulang
Menyikapi kegeraman orangtua, Ketua Umum IDAI Aman Bhakti Pulungan mengimbau orangtua yang curiga anaknya divaksin palsu agar melapor ke dokter anak untuk diobservasi dampaknya. Orangtua juga bisa berkonsultasi untuk memastikan vaksin yang diberikan asli dan dibeli di jalur resmi (Kompas, 24-25 Juni 2016).

Orangtua bisa meminta vaksin ulang. “Itu akan membuat anak yang sebelumnya dapat vaksin palsu akan dapat kekebalan. Yang sudah mendapat vaksin asli akan mendapat kekebalan baru,” tuturnya.

Hindra mengatakan, tak ada efek tambahan bagi anak yang sudah divaksin asli jika mereka melakukan vaksinasi lagi. Vaksinasi ulang juga bisa diberikan kepada anak umur berapa pun. Setelah itu, vaksinasi selanjutnya bisa diberikan sesuai jadwal vaksinasi yang ada.

Dengan informasi belum utuh, masyarakat harus hati-hati. Pemerintah juga harus bertindak cepat mengungkap rantai peredaran vaksin palsu. Hukuman berat perlu bagi pembuat, pengedar, hingga rumah sakit yang terlibat.–M ZAID WAHYUDI
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Mendekati Kasus Vaksin Palsu”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Menghapus Joki Scopus
Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana
Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar
Gelar dan Syarat Pemberian Honoris Causa
Kenali Beda Status 3 Gelar Profesor dari Kampus Indonesia
Sejarah Ilmu Kedokteran
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Kamis, 10 Agustus 2023 - 08:52 WIB

Dua Gelar Profesor UNS Dilorot, Turun dari Kursi Guru Besar, Mengemban Jabatan Pelaksana

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:12 WIB

Meluruskan 3 Salah Kaprah Gelar Profesor dari Kampus Indonesia

Selasa, 27 Juni 2023 - 11:06 WIB

Perbedaan Pemberian Gelar Profesor, Honoris Causa, dan Guru Besar

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB