Transparency International Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi baru saja meluncurkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) 2018.
Indonesia mengalami peningkatan 1 poin dari 2017, yaitu dari 37 poin menjadi 38 poin. Artinya, Indonesia dipersepsikan makin bersih dari korupsi. Meski peningkatan poin ini membuat Indonesia naik tujuh peringkat dari peringkat ke-96 di tahun sebelumnya menjadi ke-89, posisi Indonesia masih di peringkat ke-4 di ASEAN setelah Singapura (85 poin), Brunei (63 poin), dan Malaysia (47 poin). Menarik menelisik peningkatan ini. Mengapa?
Pertama, Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan, IPK ini erat kaitannya dengan institusi demokrasi dan hak politik. Sistem demokrasi yang baik terbukti memperbaiki IPK. Kedua, bagi Indonesia, meski hasil IPK ini bukan lompatan, hal ini menunjukkan jelas adanya perbaikan, khususnya dalam pelayanan publik yang jadi indikator kinerja institusi pemerintahan sebagai institusi demokrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO–Suasana layanan konsultasi Online Single submission (OSS) di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jakarta, Senin (14/1/2019). Presiden Joko Widodo ingin memastikan bahwa sistem OSS berjalan dengan baik sehingga bisa memberikan pelayanan yang cepat kepada masyarakat yang ingin mengurus beragam perizinan berusaha melalui sistem online. Sebelumnya pemerintah mengalihkan pelayanan OSS dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ke BKPM mulai 2 Januari 2019.
Capaian IPK ini sejalan dengan survei sebelumnya oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI). Desember 2018, LSI merilis laporan Survei Nasional Antikorupsi tentang persepsi publik soal korupsi, termasuk tingkat efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia sejak 2016 hingga 2018.
Hasil survei menunjukkan dari tahun ke tahun, masyarakat merasakan dampaknya. Korupsi ternyata menurun di berbagai bidang. Data ini menjawab tudingan bahwa korupsi makin banyak terjadi selama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Misalnya saat warga mengurus administrasi di bidang kependidikan. Juga ketika mencari kelengkapan administrasi publik, seperti KTP, kartu keluarga, dan paspor, atau saat ingin mendapatkan layanan kesehatan. Begitu juga ketika berurusan dengan lembaga pendidikan tinggi.
Bidang lain yang juga mendapat apresiasi masyarakat antara lain urusan dengan pengadilan, pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah, urusan dengan kepolisian, ekspor impor di kantor Bea Cukai, ketika mencari pekerjaan di lembaga pemerintahan, hingga implementasi anggaran pemerintahan.
Dari semua contoh yang ditanyakan dalam survei, warga yang dipotret melalui responden survei menilai pemberantasan korupsi kinerjanya meningkat. Angka kepercayaan tertinggi dicapai dalam hal pengurusan administrasi kependidikan dan administrasi publik. Yang masih perlu ditingkatkan: kepercayaan dalam pencarian kerja di lembaga pemerintahan dan implementasi anggaran oleh pemerintah.
Sepanjang 4,5 tahun pemerintahan Jokowi-Kalla, pemerintah juga telah menyelesaikan produk hukum untuk mempercepat pemberantasan korupsi, yakni Inpres No 7/2015 dan Inpres No 10/2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, serta Perpres No 54/2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Apa yang menarik? Penggunaan teknologi informasi (TI) untuk melawan korupsi.
Berbasis teknologi
Produk hukum pertama yang dilahirkan pemerintahan Jokowi-Kalla terkait pemberantasan korupsi, Inpres No 7/2015, sudah mulai mengimplementasikan penerapan TI. Dari 96 aksi antikorupsi dalam inpres ini, 31 aksi (29 persen) menekankan pemanfaatan TI dalam setiap aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Misalnya dalam layanan paspor daring, pengadaan barang dan jasae-procurement, hingga pemanfaatan teknologi dalam meningkatkan pendapatan negara bukan pajak.
Dalam Inpres No 10/2016, dari 31 aksi melawan korupsi, sekitar 30 persen (9 aksi) juga memanfaatkan kecanggihan teknologi. Mulai dari pertukaran data perpajakan, integrasi perencanaan dan penganggaran, hingga implementasi non- cash untuk semua transaksi di semua kementerian, lembaga, serta pemerintah pusat dan daerah.
Yang paling masif dalam implementasi TI tentu saja adalah Perpres No 54/2018. Dalam perpres ini, empat menteri Kabinet Kerja dan ketua KPK menandatangani surat keputusan bersama (SKB) untuk menetapkan 11 aksi kunci pencegahan korupsi. Dari 11 aksi ini, sembilan atau 82 persen adalah aksi menggunakan TI.
Di antaranya, terkait perizinan dan tata niaga, TI diterapkan dalam online single submission (OSS), implementasi satu peta dan beneficial ownership, pemberian bantuan sosial dan subsidi berdasarkan nomor induk kependudukan (NIK), integrasi data impor pangan ke dalam sistem Indonesia National Single Window (INSW).
Selain itu, dalam pengadaan barang dan jasa untuk mendorong tingkat kematangan Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa, e-katalog lokal dan sektoral, penyempurnaan vendor management system, dan konsolidasi pengadaan.
Terkait perpajakan, akan dilakukan modernisasi dan integrasi sistem dan data perpajakan. TI juga akan dioptimalkan untuk penguatan sistem pencegahan jual-beli jabatan dan penguatan sistem pengawasan internal, serta modernisasi tata kelola peradilan pidana berbasis elektronik.
Terakhir tapi mungkin justru paling penting, integrasi perencanaan dan penganggaran pembangunan berbasis elektronik. Mengapa perencanaan pembangunan nasional juga termasuk wilayah rawan korupsi? Korupsi terjadi bukan hanya di level implementasi saat beli semen, pasir, atau obat dan jarum suntik, tapi ia sudah rawan terjadi sejak tahap perencanaan.
Misalnya, saat sebuah kawasan ekonomi khusus, atau lokasi proyek strategis nasional seperti bandara, jalan, pelabuhan ditetapkan dalam perencanaan, bukan rahasia kalau para calo tanah sudah langsung tahu dan mulai berspekulasi dan memainkan harga, dan bermain mata dengan oknum-oknum perencana di pusat maupun daerah.
Apalagi kalau rencana tata ruang dan wilayahnya belum jelas dan terbuka, atau tak ada peta sebagai rujukan. Akibatnya, pembangunan jadi terhambat. Mulai dari infrastruktur, hingga kesehatan, pendidikan, dan penyaluran bantuan sosial.
Oleh karena itu, pemerintah mendorong Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) dan Kebijakan Satu Data (One Data Policy) sebagai tulang punggung perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan berbasis elektronik dengan data dan peta yang akurat akan membuat hasil yang direncanakan sampai ke tingkat satuan kegiatan di level lembaga pemerintahan makin kredibel, berbasis data dan bukti, serta mencegah tumpang tindih. Ujung-ujungnya, menurunkan atau menghilangkan biaya-biaya tidak resmi yang sebelumnya sulit untuk dideteksi.
Kita bisa lihat dampaknya: mulai dari pembangunan infrastruktur yang cepat, sekolah dan pengobatan gratis, BBM satu harga, hingga turunnya harga komoditas. Dulu lebih murah mendatangkan jeruk dari China ke Jakarta ketimbang dari Medan. Sekarang, setelah infrastruktur jalan dan pelabuhan dibangun dan pungli dibasmi, jeruk Medan mulai pulih harganya di pasar Jakarta.
Perencanaan kebijakan termasuk dalam menangani korupsi yang dilakukan pemerintahan Jokowi-Kalla sesungguhnya bukan hal baru di lingkungan korporasi swasta. Di dalam industri dikenal enterprise resources planning (ERP).
Fungsi ERP dalam lingkup pemerintahan diemban oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) yang menjadi salah satu tulang punggung modernisasi pengadaan barang dan jasa.
Saat Rencana Kerja Pemerintah disetujui Bappenas dan Kemenkeu, kementerian dan lembaga mengajukan kebutuhan pengadaannya secara elektronik kepada LKPP. Vendor dan penyedia barang dan jasa akan mendaftarkan produknya dalam e-katalog dengan rujukan harga pasar. Tender dilakukan secara daring, dan pembayaran dilakukan secara nontunai. Inilah penciptaan e-marketplace untuk pengadaan.
Arah ke depan
Korupsi mungkin akan tetap ada dan para pelakunya akan terus mencari celah, di tengah inisiatif kebijakan dan regulasi pemerintah. Dengan TI, interaksi antarpihak melalui tatap muka dalam setiap proyek dan kegiatan pemerintahan diminimalkan.
TI memangkas atau mengurangi celah sehingga korupsi juga dapat ditekan. Yang jadi tantangan, bagaimana memanfaatkan TI secara lebih luas sampai pada level birokrasi paling bawah yang banyak melayani dan berurusan dengan khalayak luas.
Jika dilihat dari arah kebijakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang diambil pemerintahan Jokowi-Kalla, penerapan TI sudah dan akan kian menjadi aspek terpenting dalam kebijakan ini ke depan. Mengapa? Agar di zaman Revolusi Industri 4.0 ini tak hanya pemerintahnya makin demokratis dan dipercaya rakyat, tetapi pelayanan publik juga makin mudah, murah, tak ribet, bebas dari korupsi dan pungli.
”It is not the gun, but the man behind the gun that matters”. Bukan teknologinya, melainkan orang di belakangnya yang menentukan. Presiden Jokowi sudah memimpin perumusan dan tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ia kini jadi modal berharga sekaligus sosok kunci untuk menyembuhkan republik ini dari salah satu penyakit yang telah berurat berakar berpuluh-puluh tahun.
Yanuar Nugroho Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia
Sumber: Kompas, 18 Maret 2019