Masih diingatnya hari pertama mengunjungi kota tua Kotagede pasca gempa. Sejauh mata memandang yang dilihatnya adalah tumpukan puing dan aura kehancuran.
”Saya merasa tak punya harapan. Enggak tahu mau ngapain. Melihat bangunan-bangunan pusaka rata dengan tanah, saya merasa tak berdaya,” kenang Laretna yang akrab dipanggil Sita, di Yogyakarta, pertengahan September lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara otomatis dia mengalkulasi ”kerugian” tak terhingga yang melanda area seluas 3 kilometer persegi yang merupakan bekas ibu kota Kerajaan Mataram pada abad ke-16 ini. Di sini ada puluhan rumah joglo dan limas yang usianya sudah ratusan tahun.
”Saya menyukai suasana Kotagede yang tenteram, warganya, jalannya yang sempit, beda dengan suasana di kota. Begitu banyak bangunan bersejarah, Kotagede memberikan pembelajaran kepada saya tentang rajutan antara warisan tangible dan intangible,” kata Sita, Ketua Yogyakarta Heritage.
Itu sebabnya, ketika diminta membantu proses pemulihan dan rekonstruksi pasca gempa, Sita memilih membantu di Kotagede. ”Sebetulnya saya diminta membantu konservasi Candi Prambanan yang rusak, tetapi saya bilang kalau Prambanan pasti sudah banyak yang ngurusi. Saya memilih Kotagede saja.”
Selama tiga tahun pertama, dia bersama rekan-rekannya dari Universitas Gadjah Mada (UGM), pemerintah setempat, para filantropi, organisasi nirlaba, komunitas pencinta bangunan pusaka, dan sejumlah institusi donor dari luar negeri bahu-membahu ”memulihkan” Kotagede. Semuanya dari titik nol.
”Kami melakukannya dengan trial and error. Namun, kami punya keyakinan dalam setiap bencana pasti muncul peluang dan peluang membutuhkan kreativitas untuk mewujudkannya. Untuk itu, kami butuh kolaborasi. Kami membuka jaringan sebanyak-banyaknya,” ujar Sita.
Setelah melalui survei dampak bencana, Sita dan kawan-kawan sampai pada kesimpulan, menyelamatkan pusaka tak benda (intangible) harus paralel dengan penyelamatan yang terukur (tangible).
”Selain pendekatan dengan pemulihan bangunan pusaka, harus ada pendekatan sosial, budaya, dan ekonomi. Intinya, menciptakan manajemen berbasis masyarakat. Semua anggota masyarakat harus terlibat aktif dalam pelestarian. Tanpa ini upaya kita tak akan berhasil,” ujarnya.
Dari puluhan rumah joglo yang ambruk dengan beragam tingkat kerusakan, sebagian ”hilang” karena kayunya dicuri atau dijual murah. Para pemilik bangunan umumnya tak memiliki biaya untuk melakukan rekonstruksi yang butuh puluhan juta rupiah.
”Untuk pemulihan fisik, ada sejumlah lembaga donor yang ikut membiayai perbaikan rumah joglo. UGM membeli satu rumah yang kemudian menjadi Omah UGM dan digunakan untuk kegiatan kampus,” kata Sita.
Namun, yang paling krusial justru pemberdayaan masyarakat. Sita dan berbagai pihak mencoba menawarkan inisiatif untuk membangkitkan kembali industri perak di Kotagede, antara lain lewat pelatihan desain-desain baru perhiasan bagi perajin.
”Sistemnya, kita membeli, lalu menjualkan. Kalau ada rombongan datang, kita bawa ke Kotagede. Kini sudah tumbuh pemandu-pemandu dari warga lokal. Mereka menemani wisatawan yang ingin melihat Kotagede. Model seperti ini harus didukung. Warga setempat yang in charge dalam proses pemulihan,” katanya.
Erupsi Merapi
Belum juga kerusakan pasca gempa tertangani tuntas, datang bencana lain, erupsi Merapi tahun 2010 yang melumpuhkan Yogyakarta. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kali ini Sita dan kawan-kawan lebih siap membuat program.
”Lewat survei tentang apa yang dibutuhkan para pengungsi, kami memperoleh masukan bahwa ibu-ibu yang berada di hunian sementara di Kuwang dan Gondang bersemangat untuk memperoleh pelatihan,” kata Sita.
Pelatihan yang diberikan adalah menjahit dan aplikasi sulam sederhana, seperti membuat dompet dan tempat pensil berbahan baku sisa kain. Sita membuatkan desain sederhana tetapi dekat dengan keseharian masyarakat, seperti gambar gunung, pohon kelapa, dan rumah tradisional. Adapun sisa kain batik dipasok dari Galeri Batik Jawa, produsen terbesar batik Indigo di Indonesia, tempat Sita menjadi direktur riset.
”Produk ini sangat sederhana. Untuk lebih menggugah, kami sertakan semacam note dalam bahasa Inggris bahwa ini adalah karya para perempuan korban erupsi Merapi yang tinggal di hunian sementara. Respons pasar sangat baik karena harganya murah dan terjangkau,” kata Sita yang pada 2009 memperoleh penghargaan The Nikkei Asia Prizes atas komitmennya terhadap pelestarian pusaka.
Kecintaannya pada kawasan tua sudah terpupuk dari kecil. Ia dikelilingi orang-orang yang cinta pada seni, budaya, dan memiliki cita rasa keindahan. Nenek dari pihak ibu memperkenalkannya pada keindahan batik dan tradisi. Nenek dari pihak ayah memperkenalkannya pada keindahan fashion dan musik klasik.
”Nenekku itu desainer, dia sekolah desain mode di Belanda pada 1928, juga jago main piano,” kata Sita menunjukkan foto-foto neneknya, Oemi Salamah, ketika menjadi model dalam peragaan busana di Seni Sono, Yogyakarta, 1940.
Cita rasa seni juga mengalir dari sang ibu, Nyonya Suliantoro Sulaiman, yang pernah menjadi Rektor Institut Pertanian Yogyakarta. Sang bunda juga pendiri Mayangsari Indonesia yang memelopori seni merangkai janur di Indonesia.
”Namun, sifat saya lebih mirip ayah. Beliau tak pernah ingin jadi pejabat, sederhana, senang tanaman, senang berada di luar mainstream,” kata Sita tentang sang ayah yang berprofesi dokter.
Kedisiplinan, kesederhanaan, dan keindahan menyatu dalam dirinya. Itu tertumpah dalam rasa cintanya kepada Yogyakarta.
”Saya beruntung lahir di Yogya, Kawah Candradimuka bagi banyak pekerja seni. Begitu banyak anak Yogya yang bekerja untuk dunia. Sayang, pengelolaan kotanya belum mampu menampung aspirasi mereka. Kita belum memiliki museum atau concert hall yang level dunia,” kata Sita yang sedang sibuk memperjuangkan Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia di World Crafts Council.
Sumber: Kompas, 26 September 2014