Sejak remaja, Reynitta Poerwito (30) sudah menunjukkan bakat terpendam sebagai psikolog. Ia selalu menjadi pelabuhan keluh kesah teman-temannya. Pembawaannya tenang, tutur katanya lembut, membuat siapa pun tak sungkan menambatkan persoalan hidupnya.
Kami menemui Reynitta di rumah orangtuanya yang nyaman di sebuah perumahan di Serpong, Tangerang Selatan. Lokasi rumah ini berdekatan dengan rumah pribadi Reynitta yang sedang direnovasi.
Suara celotehan dari putri sulungnya yang baru berusia lima tahun segera memenuhi atmosfer rumah. Si kecil langsung memamerkan beragam jenis mainan serta kemampuan baca tulis sebelum kemudian berlarian ke seluruh penjuru rumah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tangan Reynitta meraih putra keduanya yang baru berusia delapan bulan. Keluarga, baginya, selalu menjadi sumber kekuatan terbesar dalam hidup. Keluarga pula yang memampukannya bertumbuh lebih dewasa, jauh melampaui usia biologis.
Sempat mengambil kuliah psikologi di Seattle, Amerika Serikat, lalu pindah ke Queensland, Australia, dan berlanjut mengambil program master di Universitas Indonesia, kini Reynitta dikenal sebagai psikolog klinis di Rumah Sakit Eka Hospital. Ia aktif menjadi pembicara, menulis kolom psikologi, membuat webkonseling gratis, menangani beragam jenis kasus, dan memiliki minat besar pada persoalan keluarga.
”Justru masalah-masalah yang ada di grey area yang sepertinya tidak terlalu mengkhawatirkan, seperti masalah keluarga, itu harus diwaspadai. Masalah keluarga tidak ada textbook-nya, will be forever trial and error. Banyak banget masalahnya,” kata Reynitta.
Reynitta tertarik membuat studi mendalam tentang persoalan seputar rumah tangga, terutama terkait perceraian. Ia mengamati, dari tahun ke tahun, meningkatnya angka perceraian semakin fantastis.
Tiga puluh tahun lalu, katanya, masyarakat mati-matian mempertahankan rumah tangga dan malu bercerai. Kebalikannya, masyarakat modern justru cenderung menganggap perceraian sebagai jalan pintas untuk keluar dari masalah.
”Ada apa? Saya pengin riset mendalam tentang ini. Pernikahan zaman sekarang jauh lebih berat. Media lebih terbuka. Peran perempuan lebih banyak. Perubahan mendatangkan konflik. Konflik membesar tidak diimbangi pengetahuan penyelesaian konflik. Kita belum bisa beradaptasi dengan baik ketika konflik menyerang. Di situ kita hancur atau cari jalan pintas,” tambah Reynitta
Tak terhindarkan, suami dan anak-anaknya kadang menjadi ”obyek” analisisnya. Ketika suaminya tampak lebih diam dari biasanya, misalnya, Reynitta segera ”menganalisis”. ”Kamu itu kayaknya gini, deh. Sori kalau aku salah…. Suami langsung bilang ’stop analyzing me’, ha-ha-ha…,” ujar Reynitta.
Pekerjaan sosial
Selain masalah keluarga, Reynitta juga menangani beragam kasus seperti depresi, anxiety, hingga skizofrenia. Dalam setiap kasus, ia berusaha memperoleh kepercayaan penuh dari pasien sehingga mereka mau jujur dan terbuka. Ketika melayani konseling, profesionalitas menjadi tuntutan utama dan seluruh persoalan pribadi harus ditanggalkan agar tidak membebani pasien dengan masalah baru.
Menjadi psikolog pertama yang bekerja di RS Eka Hospital, Reynitta benar-benar harus memulai dari nol. Dari tak memiliki seorang pasien pun sampai, kini, janji konseling harus diatur dari jauh-jauh hari sehingga pasien tak perlu menunggu di bangku antrean.
”Pasien biasanya balik terus. Begitu mereka menunjukkan kemajuan, aku yang stop mereka. Pelan-pelan aku lepas. Enggak mau pasien ketergantungan. Aku selalu berusaha semampu aku. Dan bantuan itu ada batasnya. Enggak bisa take control or take over somebody’s life,” tambahnya.
Reynitta juga mendirikan laman konseling gratis yang bisa diakses siapa saja. Lewat media webkonseling maupun jejaring sosial Twitter, konseling profesional diberkan secara cuma-cuma. ”Aku ingin mematahkan pemikiran orang-orang bahwa konsultasi psikolog itu mahal, ribet, hanya untuk orang-orang yang memiliki uang, dan untuk masalah-masalah yang berat,” ujar Reynitta.
Keinginan untuk berbagi itu ia pupuk juga dengan bergabung dalam Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia Banten. Reynitta yakin, dukungan moral tak hanya dibutuhkan oleh penyandang epilepsi, tetapi juga diperlukan bagi orangtua serta kerabat terdekat. ”Ketika penyandang epilepsi mengalami kejang-kejang di tempat umum, misalnya, mental penyandang epilepsi bisa anjlok,” tambah Reynitta.
Peran seorang psikolog sangat dibutuhkan untuk mengatasi serta mengelola stres akibat serangan kejang-kejang yang datang secara berkala pada penyandang epilepsi. Layanan bagi penyandang epilepsi ini menjadi salah satu program yang dijalani Reynitta di Eka Hospital.
Tempat curhat
Reynitta berkenalan dengan psikologi dari pelatih pemandu soraknya kala SMA yang berprofesi sebagai psikolog. Ia sendiri pun selalu menjadi tempat curhat teman-temannya.
”Aku pilih psikologi karena dari awal aku suka memperhatikan orang,” ujar Reynitta yang memilih jurusan psikologi selepas SMA.
Ia memilih kuliah di Seattle, Amerika Serikat. Namun, baru 1,5 tahun berlangsung, atas permintaan orangtuanya, Reynitta memilih pindah ke Australia agar bisa tinggal bersama adik-adiknya.
Di Australia, Reynitta sempat bertemu dengan pasien skizofrenia yang membuatnya jatuh cinta pada bidang psikologi klinis dewasa. ”Aku lebih betah di Indonesia dan pengin membantu orang-orang di sini. Psikologi tergantung budaya juga. Aku merasa fit in kalau di Indonesia,” tambahnya.
Setelah lulus program master di Universitas Indonesia, Reynitta sempat tiga bulan bekerja kantoran. Pada tahun 2005, seorang rekannya iseng mendaftarkan Reynitta sebagai kontestan Puteri Indonesia hingga sampai ke babak final.
”Gara-gara dijebak teman. Kalau di depan kamera, aku langsung keringat dingin. Hatiku bukan di situ,” kata Reynitta.
Ia memilih mengikuti kata hatinya, menolong orang dengan saran-saran yang tepat. Maka, curhatlah kepada Reynitta.
———–
Demi Keluarga
Keluarga, bagi Reynitta Poerwito, menempati tempat paling utama. Begitu lulus kuliah psikologi, ia sempat mencurahkan waktu dua tahun untuk menjadi ibu rumah tangga penuh waktu sambil mengurus webkonseling gratis. Setelah kembali kerja, ia pun memilih tempat praktik yang hanya berjarak sepuluh menit dari rumah tinggalnya.
Agar bisa memberi waktu lebih bagi kedua anaknya, waktu praktiknya dibatasi dari Senin hingga Jumat pada siang sampai sore hari. Manajemen rumah sakit pernah memintanya praktik di hari Sabtu, tetapi belum disanggupinya hingga kelak anak-anaknya bisa ditinggal mandiri. ”Sekarang masih fokus ke anak, 80 persen waktu untuk anak,” kata Reynitta.
Demi anak-anak pula, hobi pribadi seperti membaca buku harus sejenak dihentikan. Jika sudah memegang buku kesukaan—yang biasanya diangkat dari kisah nyata—Reynitta memang bisa lupa waktu, lupa makan, dan hanya mencomot camilan selama dua hari. ”Hobi baca terhenti karena anak,” tambahnya.
Reynitta berprinsip ingin membesarkan anak-anaknya dengan limpahan pelukan dan kasih. Sebagian dari pola pengasuhan anaknya itu diadopsi dari kedua orangtuanya. ”Aku anak pilot. Basically I live without a father figure. Tapi begitu ada, papa kayak sinterklas. Enggak pernah kelihatan, tapi begitu datang bawa hadiah banyak. Papaku itu orangnya yang hore banget,” kata Reynitta.
Hingga kini, sang papa masih aktif sebagai pilot dan baru akan pulang setelah terbang beberapa pekan atau bulan.
Itu membuat Reynitta tumbuh di bawah pengasuhan penuh dari mamanya yang dulu pernah bekerja sebagai pramugari. ”Mendisiplinkan anak, ya, mama semua. Mendidik anak itu trial dan error. Aku orangnya perfeksionis di hal-hal yang menurut aku harus ada standar tertentu,” tambahnya.
Di waktu luang, Reynitta dan keluarganya lebih suka menghabiskan waktu di sekitar rumah. Biasanya, mereka makan bareng di warung steak, pasta, atau masakan Jepang. Dengan fokus pada keluarga, ia merasa lebih nyaman dalam menjalani kehidupan. (WKM)
Reynitta Poerwito
? Nama: Reynitta Poerwito, Bach of Psych, M Psi
? Pekerjaan: – Psikolog Klinis di RS Eka Hospital
– Pendiri Konseling Online Gratis, WebKonseling
? Pendidikan:- Master Degree in Profession of Adult Clinical Psychology, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
– Bachelor of Psychology di Queensland University of Technology, Queensland, Australia
Oleh: Mawar Kusuma
Sumber: Kompas, 21 Juni 2014