SEKITAR 10 tahun lampau kami, beberapa dosen matematika, diminta Balitbang Kemdikbud untuk mengkaji hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) 2000.
Walau hasil siswa RI dalam PISA pertama itu di peringkat ke-39 dari 41 negara peserta, hal itu sama sekali tak mengejutkan kami. Ini karena kami menyadari soal di PISA menguji kemampuan bernalar. Malah hasil itu mendukung pendapat awal kami bahwa pendidikan matematika di tingkat dasar dan menengah tak tanggap beradaptasi dengan kehidupan modern.
Memang keilmuan matematika tetap sama, tetapi perannya dalam kehidupan telah berubah drastis. Siswa di negara lain belajar kecakapan bermatematika dengan mempertimbangkan ketersediaan teknologi dalam kehidupan. Sementara pendidikan matematika di Tanah Air ini masih membayangkan kehidupan sebelum ada kalkulator dan komputer. Di kita masih menekankan pada keterampilan rutin berpikir tingkat rendah semata, seperti menghafal rumus dan mematuhi prosedur berhitung yang dirumit-rumitkan. Pada saat yang sama, pembangunan keterampilan tak rutin seperti berpikir kritis yang tak dapat dikerjakan mesin justru diabaikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Makna hasil
Di Balitbang Kemdikbud, pada 14 Januari 2004, kami sampaikan hasil kajian terhadap PISA 2000 dan rekomendasinya. Rekomendasi memuat antara lain peningkatan profesionalisme guru matematika dan membangun budaya bernalar di kelas. Namun, setelah satu dekade lewat, dari data PISA 2012 dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) 2011, mutu pembelajaran matematika di negeri ini tak kunjung membaik
Memang, informasi peringkat RI di PISA atau TIMSS menghebohkan, tetapi sesungguhnya tak guna memasalahkannya. Dari pemeringkatan tersebut tak dapat diketahui jenis kelemahan siswa kita. Lebih berguna jika melakukan kajian soal per soal, agar diketahui kecakapan apa yang kurang dan perlu dibenahi.
Dua tes internasional itu berbeda walau sama-sama menguji matematika. PISA menekankan penerapan, sedangkan TIMSS lebih pada penguasaan konsep. Dari dua hasil tes ini, dapat ditafsirkan dua pesan yang berbeda ranah, tetapi saling melengkapi.
Hasil buruk di PISA tak serta- merta berarti kurikulum kita buruk. Juga tak dapat disimpulkan bahwa konsep yang diujikan belum diajarkan. Sebenarnya, standar isi (Kurikulum 2013) maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah mencakup semua konsep di PISA, sebelum kelas VIII. Tes PISA mengukur kemampuan siswa mengembangkan kecakapan yang diperoleh di kelas, dengan menerapkannya dalam situasi sehari-hari. Artinya, hasil PISA mengatakan: siswa kita lemah dalam menerapkan apa yang dipelajari di sekolah pada konteks yang baru.
Namun, berbeda dengan PISA, dari hasil buruk TIMSS memang dapat diartikan kurikulum matematika kita perlu perbaikan. Dan, rekomendasi penguatan kurikulum yang lebih menekankan penalaran dan pemecahan masalah ini sudah direkomendasikan antara lain oleh Frederick KS Leung dari Universitas Hongkong pada 21 Desember 2006. Namun, menurut Ahmad Muchlis, bahkan Kurikulum 2013 serta buku ajarnya pun belum juga menggarap kecakapan berpikir tingkat tinggi.
Sesungguhnya untuk membenahinya yang paling strategis adalah merombak kurikulum program penyiapan guru matematika serta program pengembangan profesinya. Porsi pendalaman konsep matematika dalam persiapan guru matematika di S-1 dan juga S-2 harus dilipatgandakan. Yang utama, berbagai program yang dirancang perguruan tinggi harus mampu membangun kasmaran bermatematika para guru.
Kasmaran bermatematika adalah keadaan saat seseorang melakukan kegiatan yang melibatkan matematika secara total. Ego, lingkungan, dan waktu melebur luruh ke dalam kegiatannya. Oleh pakar psikologi positif CsÍkszentmihÁlyi MihÁly, keadaan ini diistilahkan sebagai flow. Khusus dalam bermatematika, keadaan ini ditandai tumbuhnya sikap ”keusilan” matematika, seperti ketagihan mengutak-utik masalah matematika, ingin tahu, skeptis-gigih, dan juga memiliki tanggung jawab belajar. Guru yang kasmaran bermatematika akan menyuburkan budaya bernalar di kelas dan sukacita akan kembali menyeruak dalam pembelajaran matematika.
Pembenahan pendidikan bagi guru matematika tak dapat digantikan dengan berbagai proyek mercu suar. Sebaiknya Indonesia menyimak strategi yang diterapkan Estonia dan Vietnam. Dua negara itu melakukan pembenahan pendidikan dengan prinsip yang mendasar kokoh. Keberhasilan upaya dua negara itu telah diindikasikan di PISA 2012. Sementara Estonia berhasil menyalip Finlandia, Vietnam menyalip Australia dan Inggris.
Program S-2 Matematika untuk guru di Universitas Harvard percaya bahwa guru matematika yang baik memiliki dua unsur utama: menguasai matematika dan bergairah mengajar. Di program S-2 untuk guru matematika di ITB, hal ini jadi pegangan utama. Menguasai matematika harus jadi dasar utama seorang guru matematika. Tentunya, apa gunanya seseorang menguasai cara mengajar menyanyi, padahal dirinya belum piawai bernyanyi. Apa gunanya seseorang menguasai cara mengajar bahasa Inggris, padahal dirinya belum cakap berbahasa Inggris.
Ancaman
Jika kecakapan bermatematika siswa kita rendah terus, bangsa ini akan menanggung beban berat. Lupakan saja segala impian inovasi teknologi, perkembangan industri, perkembangan pengetahuan ilmiah, dan kekuatan ekonomi. Era ini telah menunjukkan, keterampilan warga, ketersediaan lapangan pekerjaan, dan pembangunan negara saling terkait erat.
Namun, bukan itu saja. Yang lebih menyeramkan justru terancamnya keselarasan sosial yang didasarkan pada intelektualitas. Bukankah kerusuhan sosial, perilaku merusak, sikap tak menghargai perbedaan, dan ketidakpatuhan pada hukum yang terjadi sekarang hanya mungkin karena rendahnya budaya bernalar? Berbagai ketidakselarasan sosial sekarang ini adalah denda yang harus kita bayar karena telah mengasingkan pendidikan bernalar begitu lama.
Kehidupan bangsa yang cerdas membutuhkan suburnya budaya bernalar. Oleh karena itu, guru matematika sekarang memainkan peran besar dalam mereka- cipta kehidupan bangsa di masa depan. Melalui pemikiran, keringat, sekaligus air mata guru, kita mengharapkan terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas.
Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB
Sumber: Kompas, 26 Desember 2013