Di dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia, kesenian menempati posisi yang belum ajek. Hal ini terutama jika dihubungkan dengan pengembangan jabatan akademik dosennya.
Merujuk kepada Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat/Jabatan Akademik Dosen yang dikeluarkan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2014, misalnya, karya seni merupakan produk kegiatan ilmiah yang setara dengan karya saintifik (karya tulis ilmiah). Akan tetapi, berkebalikan dengan karya tulis ilmiah, karya seni tidak menjadi syarat utama untuk kenaikan pangkat dosen pengampunya.
Sebagaimana dosen yang meneliti dan menghasilkan karya tulis ilmiah, jika kariernya hendak sampai pada jabatan lektor kepala dan guru besar, dosen seni masih harus membuat karya tulis ilmiah yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah, baik nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini berarti bahwa dosen seni mau tak mau harus bekerja rangkap: berkarya seni dan menulis ilmiah. Dengan kata lain, kembali merujuk kepada pedoman operasional itu, dosen seni mesti membuat dua karya ilmiah sekaligus, yakni karya ilmiah seni dan karya ilmiah umum.
Tentu fakta normatif tersebut menabrak rasa keadilan. Belum lagi jika mempertimbangkan bahwa mencipta karya seni tidak lebih mudah daripada menulis karya ilmiah umum. Dalam ranah seni rupa, misalnya, di samping melukis (baca: mencipta seni) identik dengan menulis (Pirous, 2003), melukis juga membutuhkan tahapan yang lebih kompleks. Mempersiapkan bahan, mengukur ketepatan campuran warna, dan melakukan studi ruang (seni instalasi) adalah beberapa contoh saja dari proses berkarya seni sebagai tambahan dari kerja menulis.
Media ilmiah seni
Peraturan yang mengharuskan dosen praktik seni, agar juga menulis karya ilmiah, sebagai syarat kenaikan pangkat tampaknya dimotivasi oleh dua hal. Pertama, dimasukkannya seni dalam kategori produk kegiatan ilmiah (karya ilmiah) tidak didasari oleh pemahaman yang memadai mengenainya. Hanya karena seni berada di sebuah lembaga akademik, produknya dikategorikan sebagai karya akademik. Di luar itu, seni tetap saja dipahami sebagai hasil keterampilan (applied art). Sebagai keterampilan, ia tentu tidak memenuhi syarat kenaikan pangkat akademik.
Kedua, sejauh ini memang tidak dikenal media ilmiah untuk memublikasikan seni sebagaimana jurnal ilmiah untuk karya ilmiah umum. Oleh karena itu, tidak ada cara lain yang mudah untuk menyetarakan dosen praktik seni dengan dosen umum dalam hal kenaikan pangkat, kecuali mereka harus menulis pada jurnal ilmiah.
Perlu tinjauan ulang terhadap dua hal tersebut. Pertama, di lingkungan akademik, praktik berkesenian adalah praktik ilmiah. Mahasiswa (khususnya S-2 dan S-3) yang mengambil jalur karya harusmelakukan penelitian sebelum berkarya. Ia harus melewati tahap penentuan topik, perumusan masalah, penentuan metode, analisis, dan lain-lain sebagaimana galibnya kerja penelitian. Secara keseluruhan, proses kreatif berkesenian adalah kerja ilmiah. ”Art practice as research”, demikian kata Sullivan (2010).
Ketiga, karya ilmiah seni tentu tidak bisa dipublikasikan melalui jurnal ilmiah umum. Media publikasi seni adalah pameran (seni rupa), pertunjukan (seni musik dan tari), dan buku (seni sastra). Persoalannya, apakah media tersebut dapat disetarakan dengan jurnal ilmiah? Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditelusuri dengan menganalogikannya pada proses pemuatan karya ilmiah pada jurnal dan fungsi dari jurnal itu sendiri.
Sebagaimana diketahui, pemuatan karya ilmiah pada jurnal melalui beberapa tahap, antara lain pengiriman naskah dan seleksi oleh mitra bestari (reviewer). Dalam konteks pameran, langkah ini setara dengan pendaftaran menjadi peserta pameran pada lembaga penyelenggara dan seleksi oleh kurator. Sementara itu, fungsi jurnal ilmiah adalah untuk berbagi ilmu pengetahuan di lingkungan ilmu sejenis. Fungsi ini juga diperankan oleh pameran.
Dalam pameran, pertunjukan, dan buku sastra yang bereputasi—sebagaimana jurnal bereputasi—dimungkinkan muncul bentuk, teknik, gaya, dan lain-lain yang inspiratif (baru atau berbeda) dari seniman tertentu.
Pencapaian ini tentu akan menginspirasi seniman-seniman lain. Diskusi, polemik, dan wacana pun terbentuk karenanya. Bisa jadi pertukaran ilmu pengetahuan ini tidak dipahami oleh pihak lain di luar ranah seni. Namun, bukankah pihak di luar ilmu matematika, misalnya, juga tidak bisa memahami jurnal matematika. Walhasil, media publikasi seni setara dengan jurnal ilmiah pada ranah ilmu yang lain.
Strategi kebudayaan
Demikian kiranya esai ini dapat memberi masukan positif kepada Dirjen Pendidikan Tinggi agar meninjau ulang kebijakannya mengenai kewajiban untuk menulis karya ilmiah bagi para dosen praktik seni yang ingin menaikkan pangkat dalam jabatan akademiknya.
Perlu ditegaskan bahwa hal ini bukan pembelaan atas dosen seni yang selama ini diisukan tidak mampu menulis, tetapi untuk memenuhi asas keadilan sebagaimana telah disinggung di awal. Perlu juga diingat bahwa menuntut menulis kepada para seniman sama halnya dengan menuntut berkarya seni kepada para penulis.
Di samping itu, penting juga untuk dipertimbangkan asas keberagaman. Terdapat fakta keberagaman ilmu yang tentu harus difasilitasi seturut karakter ilmu tersebut. Jika hal ini dilakukan, niscaya dosen praktik seni akan termotivasi untuk terus- menerus meningkatkan kualitas karyanya. Dalam lingkup yang lebih luas, kebijakan seni yang bisa menjadi motivasi sistemik niscaya akan berdampak positif bagi kemajuan pendidikan seni khususnya dan dunia pendidikan secara umum.
Lebih jauh, seturut Indonesia sebagai negara kebudayaan, membangkitkan gairah berkarya seni secara akademis di kampus pasti akan berhubungan langsung dengan upaya memajukan kebudayaan. Kebijakan pendidikan seni sejatinya memang menjadi bagian penting dari strategi kebudayaan
ACEP IWAN SAIDI, DOSEN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul “Karya Ilmiah Seni”.