PERBURUAN tanaman-tanaman asli Nusantara membawa Karim Aristides (50) bepergian dari sudut Papua hingga ke pelosok Sumatera. Bagi dia, keragaman hayati merupakan wujud keagungan Sang Kuasa yang dianugerahkan bagi bangsa Indonesia. Mengembangkan tanaman Nusantara untuk kesejahteraan sesama menjadi cara Karim bersyukur.
Karim, lelaki kelahiran Prabumulih, Sumatera Selatan, ini adalah penemu pohon durian pelangi di sebuah kebun di Desa Prafi, Manokwari, Papua Barat, sekitar lima tahun lalu. Durian itu menjadi fenomena karena warna dagingnya bergradasi dari dalam ke luar, hijau, kuning, ungu, dan kemerahan.
Perjalanannya menemukan durian pelangi dimulai dari obrolan ringan dengan tukang sapu di pusat pembibitan tanaman di Kota Jayapura. Tukang sapu tersebut bercerita tentang durian berwarna-warni yang dikenal warga setempat sebagai durian hantu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Sampai lima kali saya bolak-balik melacaknya dari Sorong, Jayapura, hingga Manokwari,” kata Karim yang sudah 18 tahun tinggal di Jayapura.
Saat ia temukan, pohon durian pelangi itu satu-satunya yang tersisa. Dia tak menemukan pohon itu di tempat lain meski mencarinya berulang kali. Didorong keinginan mengembangkan tanaman asli Nusantara, Karim menghubungi rekannya, seorang peneliti botani. Penelitian awal menguatkan, durian pelangi adalah varian asli Papua yang belum ada di tempat lain.
Dengan bantuan rekan-rekan penangkar tanamannya, bibit durian pelangi bisa ditangkarkan di beberapa daerah di Indonesia. Caranya, bibit durian pelangi disambungkan pada batang bawah durian lokal.
Harga satu bibit durian pelangi masih tinggi, yakni lebih dari Rp 1 juta. Pemilik pohon durian pelangi pun mendapat keuntungan dari penangkaran ini. Karim yakin, beragam jenis durian Indonesia, termasuk pelangi, berpotensi dikembangkan menjadi komoditas unggulan ekspor pertanian. Setidaknya ini akan meningkatkan kesejahteraan petani.
”Sayang, perhatian pemerintah untuk berinvestasi dalam pengembangan dan perlindungan durian minim sekali. Sekarang durian pelangi sudah ditanam di Malaysia, bisa-bisa mereka dulu yang meneliti dan mengembangkannya,” ujar Karim.
Padahal Indonesia adalah surga beragam jenis durian. Namun, Indonesia kalah bersaing dengan Thailand yang telah mengekspor durian monthong, dan Malaysia dengan durian musang king. Dua jenis durian itu bahkan relatif mudah didapatkan orang di pasar swalayan dibandingkan dengan durian lokal Nusantara.
Perjalanan
Karim menyusuri Sungai Sekayam di Kalimantan Barat, juga Kepulauan Halmahera, pelosok Papua, dan kebun-kebun di Bangka Belitung. Dia melakukannya untuk mendapatkan berbagai tanaman hortikultura berkualitas.
Di Balaikarangan, Kalimantan Barat, dan Bangka Belitung, dia menemukan beragam jenis durian bercita rasa legit. Di Halmahera, ia menemukan durian biru. Di Manokwari, Papua, ia menemukan jambu bol bulat sekepalan tangan orang dewasa berwarna hitam. Ia juga menemukan berbagai jenis singkong yang berpotensi menjadi bahan baku industri tepung tapioka.
Pencarian Karim tak berhenti saat ia menemukan tanaman lokal. Dia lalu berusaha mengembangkannya menjadi komoditas dan bermanfaat bagi kesejahteraan sesama.
Dengan jaringan pencinta tanaman, peneliti, dan pemerintah daerah yang dikenalnya, Karim membagi temuan tanaman itu untuk dikembangkan. Dia berharap dari pengembangan itu akan muncul bibit unggul yang dapat dibudidayakan masyarakat.
Dia yakin pertanian hortikultura dapat menggerakkan ekonomi kerakyatan. Dia membuktikannya dengan praktik nyata. Di lahan seluas sekitar 95 hektar (ha) di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), Karim menanam singkong jenis batuwo dan gajah.
Singkong yang bisa berukuran besar dengan berat hingga 60 kilogram (kg) per umbi itu dia jual ke pabrik pengolahan tepung tapioka di Lampung. Karim menghitung, dengan modal sekitar Rp 14 juta per ha, ia bisa memperoleh omzet sekitar Rp 99 juta per ha.
Keuntungan itu jauh lebih besar daripada bertani sawit yang dinilainya kurang ramah lingkungan. ”Untuk petani kecil, singkong lebih menguntungkan daripada sawit yang memerlukan modal besar,” ucapnya.
Ia memprotes pembukaan lahan sawit, antara lain karena perkebunan sawit itu rakus air dan kurang ramah lingkungan. Apalagi jutaan ha hutan Indonesia sudah digunakan untuk perkebunan sawit. Kerusakan hutan membuat banyak plasma nutfah Nusantara hilang tanpa sempat diteliti.
Berbagai usaha juga dia lakukan guna mengembangkan tanaman Nusantara. Di Bangka Belitung dan Balaikarangan, ia memprakarsai ajang kontes durian. Kontes ini bertujuan mencari jenis durian unggul untuk dikembangkan menjadi durian berkualitas ekspor. Ia tak segan menggunakan uang pribadi dalam berbagai upaya ini.
Berawal dari anggrek
Meskipun berpengalaman dalam tanam-menanam, pemupukan, dan pengetahuan tentang tanah, Karim tidak berlatar belakang pertanian. Ia lahir dari keluarga pedagang di kota minyak Prabumulih, Sumsel. Darah pedagang mengalir padanya. Ia juga mempunyai usaha agen keramik di Kota Jayapura.
Kecintaannya pada tanaman menguat saat ia berkuliah di Berlin, Jerman. Di sini, ia kerap mengunjungi kebun botani dan rumah kaca. Di negeri itu masyarakatnya relatif mencintai tanaman. ”Indonesia dianugerahi kekayaan hayati yang luar biasa, tetapi kepedulian kita justru amat minim,” kata dia.
Perjalanannya ke sejumlah daerah juga membuatnya melihat betapa kaya Nusantara akan keanekaragaman hayati. Sejak kecil, Karim berkali-kali berpindah kota. Ia menempuh SD dan SMP di Lahat, serta SMA di Yogyakarta dan Malang.
Kecintaannya pada tanaman jugalah yang membuat Karim memutuskan bermukim di Papua. Ia jatuh cinta pada Papua, salah satunya karena di sini banyak jenis tanaman anggrek yang unik.
Namun, kecintaannya itu diiringi dengan rasa getir. Semakin Karim mencari tanaman lokal, semakin ia melihat begitu banyak plasma nutfah Nusantara yang hilang karena kerusakan lingkungan tanpa sempat diteliti.
”Pembangunan dan pembukaan hutan untuk perkebunan umumnya dilakukan tanpa kita memperhatikan keanekaragaman hayati,” ucap Karim yang tidak menghitung koleksi jenis tanamannya.
Kini, beragam jenis tanaman anggrek di Papua pun semakin sulit diperoleh. Habitatnya di hutan-hutan Papua kian rusak. Keprihatinan ini semakin mendorong Karim untuk melestarikannya.
Dia tidak pernah memperoleh penghargaan untuk semua itu. Namun, Karim merasakan kepuasan batin setiap kali menemukan dan bisa mengembangkan tanaman lokal.
—————————————————————————
Karim Aristides
Lahir: Prabumulih, Sumatera Selatan (Sumsel), 31 Mei 1963
Pendidikan:
– SD Santo Yosef, Lahat, Sumsel
– SMP Santo Yosef, Lahat
– SMA Santo Yusuf, Malang, Jawa Timur
– S-1 Teknik Sipil dari Technische Universitat Berlin
Istri: Silfia Susilo
Anak:
– Giuvan Charismanta (22)
– Ivee Charismanta (20)
Oleh: Irene Sarwindaningrum
Sumber: Kompas, 20 Januari 2014