Banyak predikat yang bisa diberikan kepada dia, mulai dari peneliti, dokter, penulis buku harian terlama, penulis perjalanan, hingga pengemudi yang tahan banting. Ia gemar berkelana dan menjelajah hampir ke semua negeri di dunia. Ia dan istrinya menikmati perjalanan itu meski berat dan kadang sulit. Kekuatan dan ketabahannya muncul karena ia melihat banyak orang baik di dunia ini.
Dia adalah Haris Otto Kamil Tanzil atau lebih dikenal sebagai HOK Tanzil. Juli lalu, ia merayakan ulang tahun ke-90. Dalam dunia pelancongan, namanya mencuat sekitar tahun 1980 setelah laporan perjalanan ke berbagai penjuru dunia dia tulis di majalah Intisari dan diterbitkan berseri menjadi 16 buku.
Kisah-kisahnya yang unik dan penggambaran yang detail selama perjalanan menjadikan pembaca menikmati laporannya. Meski kisah itu ditulis sekitar 30 tahun lalu, tidak sedikit pembaca yang masih terkenang hingga kini.
”Saya suka berjalanan ke mana pun,” kata HOK Tanzil, menjelaskan ihwal kecintaannya melancong, saat ditemui di rumah Kunadi Tanzil, anak ketiganya, di Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak remaja, saat ia tinggal di Surabaya, Jawa Timur, Tanzil telah mencintai petualangan. Ia dan saudara- saudaranya kerap bepergian ke beberapa tempat di Jawa Timur.
Ketika belajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1946-1953, ia meneruskan keinginannya melancong ke sejumlah tempat di Jakarta dan sekitarnya. Setiap ada waktu kosong, ia berwisata. Kecintaan pada Tanah Air dia wujudkan dengan berjalan dan melihat berbagai tempat.
Penyakit TBC yang menyerang pada 1953-1955 menyebabkan ia harus cuti kuliah dan dirawat di sanatorium. Sebenarnya, tinggal sedikit tambahan waktu ia bisa menjadi dokter karena saat itu ia sudah mendapat gelar sarjana kedokteran.
Meski didera TBC, ia tak menyerah. Ia justru meneliti penyakitnya sendiri. Seusai sakit, ia bekerja di bagian Mikrobiologi UI dan melakukan penelitian formal mengenai penyakit yang menyerangnya.
Saat itu, ia menemukan teknik pewarnaan bakteri TBC yang disebut pewarnaan Tan Thiam Hok (namanya saat itu), yang diakui dunia kedokteran internasional. Ada kesempatan mematenkan hasil penelitiannya dan mendapat royalti, tetapi ia tak melakukannya.
Temuannya ini dipakai di sejumlah negara. Berkah dari temuan itu, pembimbing Tanzil meminta dia langsung melanjutkan studi S-3, hingga gelar doktor diraihnya sebelum gelar dokter dia terima. Gelar dokter baru diraih pada 1959 dan spesialisasi bidang mikrobiologi diselesaikannya tahun 1960.
Manusia bebas
Ia menjadi guru besar FKUI tahun 1967, tetapi pada 1974 Tanzil keluar dari dunia pendidikan. Ia tak pernah membuka praktik pribadi dan ingin memulai hal baru. Dunia yang sejak remaja dia inginkan menjadi manusia bebas dan bertualang keliling dunia.
”Saya tak pernah merasa lelah,” katanya. Ia kerap berkelana dengan mengendarai mobil. Dia suka VW Combi karena, menurut dia, mirip rumah dan bisa diisi mulai dari alat tidur hingga alat masak. Ia memang selalu didampingi istrinya, Ellia Chandra Tanzil. Mereka lebih sering memasak sendiri selama perjalanan ketimbang makan di restoran.
Tanzil mengakui, istrinya adalah juru masak yang hebat. Jadi, selama perjalanan, Tanzil menjadi sopir didampingi istrinya yang menjadi juru masak.
Tak terbayangkan betapa lelah dan sulit Tanzil dan istrinya menjelajah negara-negara di dunia ketika dunia belum mengenal internet dan fasilitas telekomunikasi yang memadai. Ia menjelajah menggunakan peta manual dan kompas. Ia membawa buku panduan berwisata dunia yang diterbitkan sebuah maskapai penerbangan.
”Semua orang baik,” katanya, saat ditanya apakah tak takut saat memasuki daerah konflik atau banyak catatan kejahatannya. Ia memilih pasrah dan tetap gembira melakukan perjalanan. Bahkan, dia suka bermalam di kawasan yang sepi, bukan yang riuh banyak orang.
Saat melakukan perjalanan, ia mencatat apa pun dengan detail. Mulai dari soal makan, membeli bensin, mandi, hingga berbagai peristiwa dia catat dalam buku harian. Ini dia mulai sejak tahun 1943. Buku-buku itu masih tersimpan rapi di kamar tidurnya. Jika dihitung, sudah 70 tahun ia menulis buku harian. Mungkin buku harian Tanzil adalah catatan pribadi terlama di Indonesia.
Kisah unik
Dari bahan catatan harian itu, pembaca Intisari bisa menikmati kisah-kisah unik perjalanan Tanzil, seperti mengemudi hanya mengenakan celana dalam karena kepanasan atau merasakan daging bakar yang alot seperti sandal jepit.
Ada pula kisah Ny Tanzil yang menderita diabetes, tetapi mencoba es krim di berbagai tempat di dunia. Kisah Ny Tanzil berteriak kesakitan agar polisi yang tengah memeriksa dokumen mengasihi mereka sehingga perjalanan bisa lancar.
”Saya kerap menyatakan, sebagai penulis perjalanan, kalau mengalami kesulitan, harus menuliskannya juga dalam laporan perjalanan. Saya membawa catatan itu dan menunjukkan kepada orang yang mempersulit perjalanan saya,” kata Tanzil, sambil terkekeh, saat menceritakan siasat yang dia lakukan setiap kali menghadapi kesulitan di perjalanan.
Tak sedikit petugas yang kemudian mempermudah dan mempercepat izin perjalanannya. Ia kerap berbicara dalam bahasa Indonesia di luar negeri tatkala menghadapi petugas yang merepotkannya. Alhasil, petugas itu melepasnya karena bingung menghadapi Tanzil.
Di tengah aktivitas pelancongan yang kini lagi marak, ia boleh dibilang legenda pengelana dan pencatat peristiwa dunia. Sebanyak 240 negara telah dia datangi, termasuk negara- negara yang namanya jarang kita kenal, seperti, Aruba, Belize, Cape Verde, Ciskei, dan Kepulauan Faroe.
Ia juga pernah ke Antartika. Dengan angka itu, ia boleh dibilang berhak memegang rekor dunia karena rekor yang ada baru mencapai 235 negara. Meski begitu, ia belum bersedia mencatatkan diri dalam buku rekor dunia. Ia tak mau repot dengan urusan formal.
Berbagai peristiwa dunia, seperti kudeta, pergantian presiden, dan peristiwa alam, dia catat rapi di buku harian hingga kini. Kurs mata uang juga ditempelkan di buku harian untuk mengetahui nilai rupiah saat ia mencatat. Meski telah berkelana di berbagai negeri, ia menyatakan negeri yang paling indah adalah Indonesia.
”Makanan paling enak juga makanan Indonesia,” kata Tanzil bersemangat. Kini ia masih makan durian, sate, gulai, dan makanan lain yang biasanya menjadi pantangan bagi orang seusianya.
Haris Otto Kamil Tanzil
Nama populer: HOK Tanzil
Lahir: Surabaya, 16 Juli 1923
Istri: Ellia Chandra Tanzil (alm)
Anak: – Lorna Tanzil- Lenny Tanzil (alm)- Kunadi Tanzil
Pendidikan:
– Doktor Ilmu Kedokteran FKUI, 1957
– Dokter FKUI, 1959
– Spesialis Mikrobiologi Kedokteran, 1960
Organisasi:
– Ikatan Dokter Indonesia
– The American Thoracic Society
– The New York Academy of Science
– The British Thoracic & Tuberculosis Association
– American Biographical Institute Research Association
Oleh: ANDREAS MARYOTO
Sumber: Kompas, 14 November 2013