“SUGUHI kami dengan fantasi, dan bawalah kami ke dunia khayal yang terjauh,” ungkap Robert Thompson, Presiden International Pop Culture Association dalam satu kesempatan. Ungkapan Thompson tersebut adalah refleksi dari napas kehausan sebagian besar masyarakat Barat yang saat ini beramai-ramai mencari lorong dan ruang-ruang pelarian budaya. Fantasi, khayal, dan godaan budaya tontonan tampaknya menjadi norma budaya keseharian sebagian besar masyarakat Barat saat ini.
Di sebagian besar kota-kota dunia saat ini, gelombang theme-park dalam desain urban dan arsitektur tampaknya sedang menghipnotis perilaku budaya massa. Seluas 30 hektar artefak sejarah dinasti Cina ataupun situs kematian Isa Almasih di Jerusalem kuno ternyata berhasil direkonstruksi ulang seperti aslinya di Florida, Amerika Serikat. Skala satu banding satu Kota Venesia pun bisa dinikmati di Las Vegas. Kemeriahan Disneyland dan Universal Studios ternyata sudah bisa diekspor ke Eropa, Jepang, dan Cina. Di Jakarta dan Kota Ahmedabad di India, beragam legenda tujuh keajaiban dunia bisa dihadirkan sebagai tema dalam keseharian kompleks perumahan urban.
FENOMENA urbanitas kontemporer masyarakat metropolis tampaknya semakin kompleks saja. Hegemoni pisau konsumerisme dan budaya massa di era kapitalisme lanjut (late capitalism) ini begitu dalamnya menusuk segala sudut kebudayaan, tidak terkecuali urbanisme dan arsitektur. Lahirnya fenomena theme-park urbanism adalah salah satu contohnya, di mana beragam artefak fisik yang lepas dari konteks ruang geografis dan waktu dengan begitu mudah dipinjam, dilipat, direproduksi, dan diduplikasi dengan sempurna menjadi komoditas. Ruang, waktu, dan sejarah yang dibekukan ini bahkan sering terlihat lebih nyata, lebih surealis dan lebih dramatis dari aslinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Contoh-contoh fenomena di atas memang paling mudah dilihat dan diselami di Amerika Serikat. Pemikir kebudayaan Jean Baudrillard menyebut Amerika sebagai tempat kelahiran “budaya tanpa referensi” dan panggung “tour de force” konsumerisme massa. Disneyland, Universal Studio, permukiman Celebration, dan tentu saja Kota Las Vegas kemudian menjadi contoh bagaimana theme-park urbanism ini hadir dan berhasil mensimulasikan fiksi dan khayal ke dalam kehidupan urbanitas nyata masyarakat Amerika Serikat. Ia kemudian menjadi media di mana perbedaan fakta dengan fiksi, media, dengan esensi sering kali menjadi tidak penting lagi.
Dengan menguapnya batas ruang dan waktu di era teknologi informasi dan globalisasi saat ini, kepingan “budaya tanpa referensi” tersebut akhirnya terbang, berjatuhan dan hadir juga di depan hidung kita. Ia hadir di berbagai tempat dalam berbagai bentuk. Di Jakarta, theme-park urbanism ternyata tidak hanya digagas sebagai sarana hiburan semata seperti Dunia Fantasi di Ancol. Namun, secara laten tampaknya ada sebagian dari kita yang sedang bereksperimen membawa misi sindrom Las Vegas ini ke dalam keseharian urbanitas nyata Kota Jakarta.
Di Jakarta, perumahan yang bersebelahan dengan artefak Borobudur dan koloseum Roma kuno ternyata bisa dihadirkan berbarengan dengan munculnya perumahan berarsitektur kastil abad pertengahan Eropa, bersuasana Kota Kyoto atau Paris sebagai tawaran tempat berhuni sekaligus berbudaya. Ini adalah pecahan cermin dari satu kondisi kontemporer, di mana masyarakat berhasil dirayu untuk menerima citra sebagai sebuah realitas nyata walaupun disadari yang terjadi hanyalah pemalsuan kebenaran dan dramatisasi realitas.
Fenomena ini kemudian menjadi ajang perdebatan beragam interpretasi makna (polysemy). Interpretasi antara sebuah kecerdasan pemasaran properti ataukah sebuah wajah kebodohan dan kemunduran etika yang berdampak pada kemalasan apresiasi budaya di masyarakat. Lebih jauh, sosiolog Patrice Noviant berpendapat hal ini bisa terjadi karena masyarakat konsumer dewasa ini memang haus dalam mengonsumsi segala sesuatu, tidak hanya obyek nyata, tetapi juga obyek tanda (object of sign). Syaraf psikologis mereka juga menurutnya mau dimanja untuk menerima kehadiran certain comfortable of false consciousness dalam menikmati ruang-ruang arsitektur di lingkungan sekelilingnya.
***
“ALL that is real becomes simulation.” Ungkapan di atas adalah peringatan Jean Baudrillard, pemikir kebudayaan postmodernisme, bahwa sebagian besar kebudayaan kontemporer dewasa ini hanyalah berupa representasi dari dunia simulasi (simulation). Simulasi adalah rekayasa beragam model realitas yang tidak memiliki konteks, referensi, maupun asal-usul.
Yasraf Amir Pilliang menyebutnya sebagai “kenyataan” (real) yang ditutupi oleh “tanda kenyataan” (sign of the real). Karena itu, produk proses simulasi dalam kebudayaan ini biasanya berupa realitas-realitas yang melampaui batas konvensional (transgression) yang disebut dengan istilah hiper-realitas.
Oleh Baudrillard, ruang-ruang tempat berlangsungnya proses simulasi dalam silang-sengkarut nilai, realitas, tanda dan citra tersebut kemudian diistilahkan sebagai simulacrum atau simulacra. Ia berpendapat, realitas-realitas zaman sekarang sebenarnya sudah tidak punya referensi lagi kecuali simulacra itu sendiri. Simulacra juga berperan sebagai katalis dalam berkembangnya ekletelisme nilai maupun kolase pecahan-pecahan realitas. Berbagai artefak arsitektur dan desain urban seperti halnya Disneyland, Las Vegas, koloseum di Jakarta atau replika Jerusalem di Florida yang dibahas di atas, memang akhirnya bisa dipahami melalui analisa simulasi dan simulacra yang digagas Baudrillard.
Tanpa kita peduli atau sadari, sebenarnya proses-proses simulasi di simulacrum of space mungkin sudah menjadi norma di kota-kota besar di Indonesia. Menjamurnya pusat perbelanjaan atau shopping center di kota-kota besar di Indonesia, seperti halnya Mal Pondok Indah dan Plaza Senayan adalah contoh simulasi bagaimana daya tarik realitas urbanisme sudah kalah oleh konsumerisme. Berbelanja di shopping center pada dasarnya adalah simulasi pengalaman empirik berbelanja dan jalan-jalan kaum urban (strolling flaneur) di ruang-ruang kota yang dilipat, disatukan dan diminiaturkan ke dalam satu ruang atau bangunan. Sebuah simulation of urbanity di mana shopping center bertindak sebagai ruang simulacrum-nya.
Proyek Ancol Walk, yang rencananya akan dibangun di Jakarta di mana konsepnya meniru proyek City Walk di Universal Studios di Amerika Serikat, mungkin menjadi contoh simulasi Baudrillard dalam arsitektur dan desain urban yang tepat. Di proyek ini seperti halnya di Universal Studios, kita diskenariokan dan disimulasikan untuk seolah-olah sedang berjalan, beraktivitas dan menyelami beragam bangunan dan ruang-ruang kota yang sebenarnya semu. Konsekuensi berada di ruang-ruang simulasi atau simulacra ini, pengunjung biasanya dipaksa dan disterilkan perilakunya (assigned behaviour) agar sesuai dengan kategori perilaku urban versi mereka, yang sebenarnya tidak real dan alamiah. Sebuah realitas fasisme baru dalam urbanitas kita.
Jika kebetulan berada di Singapura, cobalah mampir ke Bugis Junction. Di proyek ini, tiga buah persimpangan jalan yang terdiri dari deretan ruko tua dipreservasi dan dikonversi menjadi sebuah shopping center modern yang sukses. Uniknya, seluruh badan jalan dipayungi oleh struktur skylight kaca, lengkap dengan AC pendinginnya. Di sini, pengunjung disimulasikan untuk berjalan dan berbelanja di deretan ruko tua yang secara fisik memang asli, namun dalam suasana yang berbeda, lebih nyaman dengan penghawaan udara dan lebih dramatis dari aslinya. Di sini kita dibawa ke ruang dalam yang sebenarnya adalah ruang luar, dan sebaliknya ruang luar yang sebenarnya ruang dalam.
Jika ditarik ke tataran lebih luas, sebagian orang menganggap dunia simulasi yang bersifat hiper-realitas ini adalah representasi wajah kebudayaan pascamodern, di mana budaya massa, budaya populer, konsumerisme, dan nilai tanda menjadi sangat dominan. Di luar perdebatan apakah pascamodernisme ini adalah pengganti ataukah sekadar perpanjangan proyek modernisme yang belum usai, fenomena-fenomena di atas setidaknya mirip dengan beberapa ciri budaya pascamodern yang diungkap sosiolog Ariel Heryanto: menguatnya sistem tanda ketimbang makna, emosi ketimbang rasio, media ketimbang isi, permainan ketimbang keseriusan, fiksi ketimbang fakta, dan estetika ketimbang etika.
Karena itulah Baudrillard kemudian memetakan pascamodernisme sebagai kacamata pembacaan realitas dan metode analisis kritis kebudayaan kontemporer. Motivasi-motivasi realitas pascamodernisme ini sendiri kemudian disinyalir sebagian pihak sebagai konsekuensi kuatnya hegemoni sistem kapitalisme lanjut (late capitalism), yakni kapitalisme yang mengalami mutasi dari sistem kapitalisme awal.
Kapitalisme yang menjadikan faktor konsumsi sebagai determinan utama ketimbang produksi. Kapitalisme yang berusaha mengglobalkan konsumerisme, budaya massa, dan budaya tontonan melalui jaringan informasi terkini dan perusahaan multinasional sebagai agennya. Kapitalisme yang secara laten berhasil menjadi sutradara besar yang mampu menyetir dan menskenariokan perilaku budaya masyarakat dewasa ini.
Oleh karenanya, sepakat atau tidak, fenomena hiper-realitas kota dan arsitektur ini telah menjadi bagian dari paras kebudayaan kontemporer dunia dewasa ini. Di lain pihak, beragam skenario kebudayaan arahan sutradara kapitalisme lanjut lainnya tampaknya akan terus tampil menggoda dan menguras stamina psikologis kita.
Pilihannya hanyalah antara diam dan menyerah kalah, atau sebaliknya bersiaga menjaga stamina untuk tetap bisa mencari alternatif-alternatif budaya berkota yang lebih sehat dan lebih baik. Sebuah tugas yang tidak ringan memang.
M Ridwan Kamil , pengamat urbanisme dan arsitektur, kini studi di University of California di Berkeley .
Sumber: Kompas, Minggu, 4 Maret 2001