Herman Sasia; Panggilan untuk Melindungi Maleo

- Editor

Selasa, 1 Juli 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bisa dikatakan setiap hari dia pergi ke hutan pukul 08.00 dan kembali ke rumah pukul 18.00 Wita. Rute perjalanannya di hutan tak terhitung jauhnya, sebagian besar dengan berjalan kaki. Itulah rutinitas Herman Sasia (42) sebagai anggota polisi kehutanan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Dalam 12 tahun terakhir, rutinitas Herman tersebut malah mendapat nilai tambah. Selain mengawasi kelestarian hutan, dia juga berjibaku dari satu lubang ke lubang lain demi mencari dan mengambil telur burung endemis Sulawesi, maleo (Macrocephalon maleo).

Telur-telur itu dia kumpulkan setiap hari untuk ditangkarkan di Penangkaran Maleo Saluki, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah (Sulteng).

”Tahun 2002, saat saya bergiat dalam penangkaran maleo, orang bilang saya melakukan pekerjaan bodoh. Saya tak peduli, saya jalan terus. Hutan dan maleo telah menjadi bagian hidup saya,” ujarnya saat ditemui di tempat penangkaran, pertengahan Juni lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penangkaran Maleo Saluki sudah dibangun sejak 1982 dengan dua kandang. Namun, aktivitas penangkaran tidak menggeliat. Warga setempat masih suka memburu telur dan burung maleo.

”Waktu mulai bertugas di sini, saya berpikir harus berbuat sesuatu. Kandang sudah ada, lalu apalagi yang kurang?” cerita bapak tiga anak ini. Sebelumnya, dia bertugas di wilayah taman nasional di Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulteng.

Langkah pertama yang dilakukan Herman adalah membangun kesadaran warga untuk bersama-sama menjaga maleo. Burung langka itu harus diselamatkan dan dikembangbiakkan.

Dengan difasilitasi Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dia lalu membentuk Kelompok Cagar Maleo yang beranggotakan 10 warga setempat. Bersama mereka, Herman setiap hari mencari telur untuk ditetaskan di dalam kandang.

”Saya mencoba memberi pengertian kepada teman-teman, maleo hanya hidup di sejumlah hutan di Sulteng dan terancam punah. Kita perlu menyelamatkan maleo. Ini salah satu (fauna) kebanggaan kita yang suatu saat nanti pasti ada manfaatnya,” ujarnya.

Dibongkar dan dijarah
Namun, hasil kerja Herman tak langsung kelihatan. Pada awal digiatkannya penangkaran tamparan besar justru sempat menciutkan nyalinya. Bersama Kelompok Cagar Maleo, mereka mengeramkan 48 telur di sejumlah lubang dan dua maleo di kandang.

Ternyata sejumlah oknum masyarakat membongkar kandang dan menjarah semua isinya. ”Saya sampai meneteskan air mata. Saya menangis. Saya tidak percaya bahwa hal itu sungguh terjadi,” tuturnya.

Meski sempat terpukul, Herman kembali bangkit. Kali ini dia malah termotivasi untuk lebih giat berusaha dan terus melibatkan anggota kelompok. Setiap hari mereka tak pernah absen menyisir habitat maleo untuk menemukan dan mengambil telur.

Sejak pembongkaran kandang, sejenak Herman meninggalkan pendekatan secara persuasif. Dia mulai menyebar ”agresi”. Kepada banyak pihak dia mengatakan, tak segan-segan menangkap dan memproses secara hukum orang yang kedapatan mencuri telur dan burung maleo. ”Sejak saat itu, kesadaran warga semakin baik,” ujar dia.

Herman membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk menyadarkan warga agar turut menjaga keberlangsungan hidup maleo. Sejak 2007, perburuan maleo bisa dikatakan berhenti.

”Jika berharap perburuan maleo berhenti total, mungkin agak susah. Namun, hasil pemantauan kami terhadap aktivitas tersebut memang semakin berkurang,” kata Herman yang menyelesaikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulteng pada 2011.
Populasi meningkat

Herman SasiaSeiring berjalannya waktu, penangkaran maleo semakin berkembang. Populasi maleo juga terus berlipat ganda. Kondisi ini terlihat dari banyaknya lubang yang dibuat maleo di sekitar areal penangkaran. Perjumpaan Herman dengan maleo di hampir sembilan titik habibat di wilayah Saluki pun semakin sering.

”Kondisi ini sulit terpantau sebelum tahun 2007. Saya semakin percaya kepada warga sekaligus memotivasi diri untuk lebih tekun lagi bekerja,” kata pria yang mendapat penghargaan sebagai Polisi Hutan Teladan dari Kementerian Kehutanan pada 2006.

Berkat kerja keras Herman dan kawan-kawan, sejak 2007, Balai Besar TNLL menjadikan tempat penangkaran maleo, selain sebagai tujuan wisata dan pusat penelitian. Gelombang wisatawan pun mulai mengalir ke tempat tersebut.

Anggota Kelompok Cagar Maleo pun berperan penting dalam kegiatan wisata ini. Mereka menjadi pemandu, penghubung antara wisatawan dan warga untuk memenuhi kebutuhan sepeda motor menuju tempat penangkaran.

Untuk mencapai tempat penangkaran, pengunjung hanya bisa menggunakan sepeda motor. Jalan ke lokasi penangkaran meliuk-meliuk di antara pepohonan kakao milik warga. Hamparan perkebunan ini berbatasan langsung dengan kawasan taman nasional.

”Meski manfaat ekonomi untuk warga tak seberapa, setidaknya wilayah itu dijadikan tempat wisata. Kalau maleo punah, tentu tak begini ceritanya,” kata Herman.

Kini, populasi maleo sekitar 1.000 ekor. Setiap bulan 30 telur maleo ditemukan di sejumlah lubang di sembilan titik habibatnya. Dari jumlah itu, petugas penangkaran melepas hampir 15 ekor setiap bulan.
Predator

Keberadaan maleo juga terancam oleh serangan predator, yakni biawak. Bagi Herman, ini tantangan sulit karena pergerakan setiap maleo tak bisa dipantau setiap saat.

”Kami akan tetap berjuang untuk menemukan lebih banyak telur setiap hari. Dengan demikian, kami berharap akan lebih banyak maleo yang selamat dari serangan biawak,” kata dia.

Pemeliharaan maleo sebenarnya terkait erat dengan kelangsungan hidup manusia. Maleo termasuk burung yang sensitif terhadap gangguan. Artinya, maleo akan terusik dan terusir jika habitatnya (hutan) rusak.

Maleo hanya mendiami titik-titik tertentu di hutan dengan kandungan panas bumi yang mencukupi. Jika maleo terusir dari habitatnya, burung itu tidak bisa berkembang.

”Keberadaan maleo secara tak langsung memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk menjaga hutan. Sebab, menjaga hutan itu juga berarti menjaga kehidupan kita,” ujar Herman.

—————————————————————————
Herman Sasia
? Lahir: Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, (Sulteng) 16 September 1971
? Istri: Rosna (40)
? Anak:
– Riansyah (17)
– Rayval (12)
– Rafly (9)
? Pendidikan: S-1  Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulteng, 2011
– Pekerjaan:
– Anggota polisi kehutanan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Sulteng, 1997-kini
– Koordinator Penangkaran Maleo Saluki, Sulteng, 2002-kini
? Penghargaan:
– Polisi Hutan Teladan dari Kementerian Kehutanan, 2006
– Kalpataru Kategori Penangkaran Maleo dari Kementerian Lingkungan Hidup, 2014

Oleh: Videlis Jemali

Sumber: Kompas, 31 Juni 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB