Sebagai warga asli Dago Pakar, Bandung, Jawa Barat, Ganjar merasa bertanggung jawab pada lingkungan kawasan itu. Rasa ingin tahu dan kemauan belajar membuat Ganjar mendapat predikat sebagai ”kamus berjalan” konservasi lingkungan di Taman Hutan Rakyat Djuanda. Pertanyaan tentang sejarah hingga karakteristik flora dan faunanya bisa dia jawab tanpa melihat buku panduan.
Taman Hutan Rakyat (Tahura) Djuanda adalah kawasan pelestarian alam dengan koleksi tumbuhan dan satwa yang bisa dimanfaatkan bagi kepentingan umum. Ini terutama sebagai tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan wisata. Lahan yang dikelola Dinas Kehutanan Jawa Barat ini luasnya 590 hektar dengan koleksi sekitar 2.500 tumbuhan.
Tahura yang dibangun pada 1912 ini tercatat sebagai yang tertua dibangun Belanda. Pusat taman yang sebelumnya dikenal sebagai Taman Rakyat Pulosari atau biasa disebut masyarakat sebagai Palasari terletak di Kampung Pakar, Desa Ciburial, Kecamatan Cimeyan, Kabupaten Bandung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penguasaan tentang beragam pengetahuan ternyata sangat berguna bagi promosi wisata dan aktivitas penelitian di Tahura, baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai promosi wisata, Ganjar bisa berperan sebagai pemandu wisata yang paham tentang detail Tahura. Pengunjung tak sekadar melihat obyek yang ada, tetapi juga paham tentang sejarah, perkembangan, dan nilai positif yang tertanam di dalamnya.
Narasumber ahli
Terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan, Ganjar kerap menjadi narasumber bagi peneliti dari berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Contohnya, saat ia melapor kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tentang penemuan anggrek kecil dari famili Taeniophyllum yang tumbuh di pohon merawan (Hopea sp) tahun lalu atau saat ia memberikan penjelasan mengenai pohon terbesar di Tahura, mahoni Uganda (Khaya anthotheca), kepada 20 mahasiswa pascasarjana jurusan kehutanan dari Universiti Putera Malaysia. Ganjar fasih menjelaskan berbagai karakteristik dan kegunaan flora di Tahura, termasuk hafal nama latinnya.
”Senang bisa berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan kepada mereka. Saya juga belajar banyak keahlian mereka, seperti cara mendata flora dan fauna yang terstruktur serta ilmiah,” kata Ganjar, yang hanya mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas.
Keterlibatan Ganjar dengan kawasan konservasi Tahura dimulai tahun 2004 sebagai petugas di bagian penyemaian, yang dilanjutkan sebagai pegawai kebersihan. Kini jabatannya petugas keamanan. Namun, hal ini tak menghalangi minat Ganjar belajar tentang keragaman hayati di Tahura.
Cara belajarnya pun terbilang unik. Apabila ada kegiatan peneliti atau kunjungan wisata pendidikan di Tahura, ia kerap mengikuti mereka. Tanpa diketahui banyak orang, ia sebenarnya menyimak penjelasan dan menyimpannya dalam ingatan. Sesampainya di rumah, ingatan itu ia tuliskan dalam bentuk dokumen.
”Pernah juga ketika membuntuti salah satu kegiatan, saya ditanya dan ternyata jawaban saya memuaskan. Setelah itu, kami justru saling bertukar ilmu,” katanya.
Ganjar mengaku, selama ini dia banyak belajar dan bertanya kepada pakar kehutanan di Tahura, seperti Bambang dan Lili Romli.
Literatur pribadi
Memori yang ia tuangkan dalam tulisan kini berbuah data yang berharga tentang kekayaan flora di Tahura. Saat ini, kata Ganjar, dia memiliki data lebih banyak ketimbang data resmi Tahura. Data resmi hanya menyebutkan 112 jenis tumbuhan dari 40 famili, sedangkan ia menemukan 170 jenis yang berasal lebih dari 40 famili. Tanaman langka yang masuk data inventarisnya, antara lain, hampelas (Ficus ampelas), biosoro atau peer (Ficus hispida), beunying (Ficus breviscuspis), kondang (Ficus variegata), dan huru leueur (Phoebe excelsa).
Ia mengatakan, semua pohon berbatang keras dan besar dahulu sangat khas di Jawa Barat, tetapi kini keberadaannya terancam punah. Kegunaan pohon ini pun beragam. Contohnya hampelas. Daunnya yang bertekstur kasar digunakan masyarakat zaman dahulu untuk menghaluskan perkakas kayu. Beunying atau kondang terkenal sebagai bahan yang sangat baik untuk pembangunan atap rumah.
Ganjar juga menyisipkan jenis ikan khas yang hidup di berbagai curug atau air terjun di Tahura. Salah satunya adalah hike (Labeobarbus longipinnis) yang hidup di arus deras dan memiliki ciri fisik seperti salmon.
”Saat ini data itu masih jadi literatur pribadi. Namun, saya ingin membuatnya menjadi buku untuk panduan pengunjung atau anak sekolah. Sementara ini memang belum tercapai karena menunggu masukan pakar lebih banyak dan modal,” ujarnya.
Di samping keanekaragaman hayati, Ganjar juga memiliki data tentang sisa kearifan lokal yang tumbuh di sekitar Tahura. Contohnya, Situs Cibitung yang merupakan peninggalan zaman prasejarah. Situs ini berbentuk makam dan pernah ditemukan batu arca di sekitarnya. Setelah ditelaah, ternyata tempat ini dianggap suci karena ada mata air di sekitarnya.
”Ini bisa menjadi potensi wisata sekaligus perlindungan terhadap alam yang harus terus dikembangkan,” ujar Ganjar, yang hingga kini masih berstatus pegawai outsourcing Tahura.
Berdayakan masyarakat
Ganjar melihat keberadaan Tahura dengan peninggalan sejarah serta flora dan faunanya belum dimanfaatkan sepenuhnya. Hampir 90 persen pengunjung minim literatur perlindungan lingkungan. Dia pun memanfaatkan tugasnya sebagai pemandu wisata dan sering menyisipkan pengetahuannya tentang koleksi hayati di Tahura kepada pengunjungnya, terutama anak-anak.
Dia melakukan praktik langsung agar penjelasannya lebih mudah diterima. Sebagai contoh, mengukur pohon mahoni, menghaluskan kayu dengan daun hampelas, dan menirukan suara burung di sekitar Tahura.
Ganjar berpendapat, cara seperti itu lebih mudah ditangkap pengunjung ketimbang sekadar melihat dari buku atau catatan tertulis.
Selain itu, ia juga kerap memberi saran kepada pedagang dan teman- temannya tentang cara menanam pohon dengan benar. ”Saya katakan kepada mereka agar memindahkan tanaman ke tempat yang luas. Tanaman tidak akan tumbuh dengan baik kalau sekadar hidup di dalam pot,” kata Ganjar. Dia kini sedang belajar menggunakan perangkat global positioning system (GPS) untuk memetakan 50 pohon besar di Tahura.
Selain itu, dia juga bercita-cita bersama masyarakat sekitar Tahura menjadi sukarelawan dan bekerja sama dengan pengelola Tahura. Tak sekadar jadi penunjuk arah, tetapi juga jadi masyarakat yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai sejarah dan keragaman hayati di Tahura.
Ganjar
• Lahir: Bandung, 8 Februari 1976 • Istri: Yani (30) • Anak: Siti Hajar Agni Ramadhan (3) • Pelatihan: – Satuan Pemadam Kebakaran Tahura, 2006 – Lebah Madu Tahura, 2009 – Interpreter Tahura, 2008
[Cornelius Helmy]
Sumber: Kompas, 16 April 2011