dr Rahmi Alfiah, Ahli Radiologi yang Tak Takut Paparan Radiasi

- Editor

Rabu, 20 Juni 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kebanyakan dokter radiologi yang ditemui adalah laki-laki. Tapi tidak bagi dr Rahmi Alfiah Nur Alam, SpRad, sebagai perempuan ia tidak takut dengan paparan radiasi karena tahu sudah dilengkapi oleh perangkat pelindung.

“Untuk radiasinya ada protektor ada baju apron yang seperti orang mau ke luar angkasa, kemudian tiap bulan juga kita dihitung lagi berapa paparan radiasinya sehingga kita bisa aware,” ujar dr Rahmi Alfiah Nur Alam, SpRad saat ditemui detikHealth beberapa waktu silam dan ditulis Senin (18/6/2012).

dr Rahmi menuturkan saat akan melakukan pemeriksaan ia akan menggunakan baju apron dan pakai pelindung tiroid untuk mencegah radiasi terhadap tiroid karena bisa mengganggu hormonitas di dalam tubuh.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Saya tidak takut dengan radiasi dan sekarang saya sudah punya anak 1 perempuan berusia 10 tahun,” ujar dokter yang menyelesaikan pendidikan spesialis radiologi di Universitas Airlangga, Surabaya pada tahun 2009.

dr Rahmi mengungkapkan pilihannya untuk menjadi dokter spesialis radiologi mungkin memang sudah rencana Tuhan. Tapi ada 1 hal yang menjadi pemicunya, yaitu ketika ia waktu masih sekolah dulu ketika melakukan pemeriksaan USG ia merasa takjub.

“Saya melihat kok ada imaging atau dunia lain yang bisa menjawab, dimensi lain yang bisa melihat selain mata dan kulit untuk meraba. Dan dengan kemajuan teknologi yang dikombinasi dengan knowledge ternyata kita bisa membantu menegakkan diagnosis untuk klinis lain,” ungkapnya.

Dokter spesialis radiologi harus mempelajari seluruh tubuh harus tahu bagaimana anatomi, patofisiologi dan fisiologis sehingga permintaan dari klinis (dokter) lain terjawab, mana yang normal dan tidak sehingga membantu pembentukan diagnosa. Dengan diagnosis yang tepat, dokter bisa memberikan terapi yang tepat dan benar.

Ia menceritakan misalnya ada kasus yang penyakitnya tidak diketahui, tapi setelah melakukan pemeriksaan radiologi dketahui ada gangguan usus, tulang atau fungsi vaskuler (pembuluh darah).

“Sampai sekarang saya masih melihat banyak sukanya menjadi dokter radiologi, karena saya punya waktu praktek yang sangat teratur, punya waktu untuk anak dan sekolah lagi, serta banyak teman untuk konsultasi,” ujar ibu dari 1 orang putri yang kini berusia 10 tahun.

dr Rahmi menuturkan kemajuan teknologi sangat mendukung dengan berbagai hal yang diperlukan dalam radiologi. Meski sering dibilang tertinggal, tapi dr Rahmi tidak mau bilang bahwa Indonesia ketinggalan dalam hal teknologi kedokteran.

“Karena beberapa pasien kita juga ada dari negara lain yang memang mungkin sedang disini, ketika saya tanya kenapa tidak kembali ke negaranya dia bilang selama tinggal di Indonesia fine-fine saja dan diagnosisnya betul. Jadi memang kita perlu bangun image dan memang butuh waktu untuk itu,” ungkapnya.

Meski begitu dr Rahmi juga mengakui kadang ada dukanya menjadi dokter spesialis radiologi walau tidak banyak, salah satunya adalah terkadang masyarakat umum masih suka bertanya radiologi itu apa, ada yang belum tahu karenanya sering disangka seperti radio yang ada frekuensi-frekuensinya, sehingga ia musti menjelaskan.

“Kadang ada juga beberapa dari sedikit dokter lain yang masih melihat itu hanya sebagai penunjang saja, padahal kita banyak berperan dalam hal penegakan diagnostik penyakit,” ujar dokter yang lahir di Ujung Pandang 45 tahun silam.

Selain pengalaman sebagai radiolog, ada pengalaman lain yang masih terkesan yaitu saat ia menjadi dokter PTT di Puskesmas, Samata, Gowa, Sulawesi Selatan. Ketika itu ia justru lebih berkecimpung dalam hal sumber daya masyarakat yang bergerak di bidang rehabilitasi.

Kala itu ia dan teman-teman mendatangi setiap desa dan mencatat kecacatan apa yang paling banyak dan apa yang bisa dibantu untuk bisa dikembangkan, misalnya pasien stroke di usia produktif tidak hanya berpengaruh pada diri pasien tapi juga keluarga, biaya, waktu dan segala macam.

“Karena itu kita bangun sumber daya masyarakat di bidang rehabilitasi dan Thanks God jadi program nomor 1 dari UNESCO,” ujar dr Rahmi yang berpraktek di RS Pondok Indah.

Saat ini secara pribadi maupun sebagai radiolog ia berharap bisa ada kerjasama yang lebih bagus antara masyarakat, pemerintah dan dokter-dokter untuk membangun Indonesia yang lebih sehat dan lebih aware dalam hal prevention atau pencegahan daripada pengobatan.

“Karena di negara kita pengobatan masih mahal untuk rakyat biasa dan mungkin kita harus lebih bisa membantu dalam gerakan deteksi dini sehingga menghindari pengobatan,” tutup dr Rahmi.

Biodata

Nama
dr Rahmi Alfiah Nur Alam, SpRad

TTL
Ujung Pandang, 29 Juli 1966

Status
Menikah dan memiliki 1 orang putri

Pendidikan
Pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar
Pendidikan spesialis radiologi di Universitas Airlangga, Surabaya

Pengalaman Kerja
Dokter umum RS Pelamonia tahun 1996
Dokter PTT Puskesmas, Samata, Gowa, Sulawesi Selatan 1996-1999
Dokter program community based on rehabilitation AIFO Italy Foundation tahun 1998-1999
Dokter expat RS PT INCO Indonesia – Canada tahun 2000
Dokter umum Antenatal Clinic, Serian, Malaysia tahun 2001
Dokter umum Sentosa Policlinic, Kuching, Malaysia tahun 2002-2006

Hobi
Menyanyi, musik, renang, bersepeda, kuliner dan traveling

(ver/ir- Vera Farah Bararah – detikHealth)

Sumber: Detik.com, Senin, 18/06/2012 09:59 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Berita ini 10 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB