Ketergantungan Indonesia yang tinggi terhadap kedelai impor memicu ide segar Dini Gustiningsih (24). Dari karya tulis ilmiahnya yang dibuat tahun 2010, dia lalu terjun membudidayakan koro pedang (”Canavalia ensiformis”) yang diyakini bisa menjadi alternatif bagi kedelai.
”Saya ingin menekuni bidang pertanian. Banyak teman saya satu kampus yang menyeberang ke bidang lain, tetapi saya merasa tertantang terus di bidang pertanian,” kata Dini di sela-sela kesibukannya mengajar di sebuah lembaga bimbingan belajar di Majalengka, Jawa Barat.
Perawakannya yang kecil membuat dia sulit dibedakan dari muridnya, siswa-siswi SMA. ”Saya memang senang mengajar.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dini mengambil Departemen Agronomi dan Hortikultura di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Sebuah pilihan akademis yang sesuai dengan latar belakang keluarganya yang petani. Kakek-nenek Dini adalah petani di Kabupaten Sumedang, Jabar.
Dini beberapa kali meriset komoditas pertanian, termasuk koro pedang tahun 2010. Dalam seminar internasional tahunan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi (Annual Meeting of Science and Technology/AMSTEC) di Jepang tahun 2011, ia memaparkan hasil risetnya tentang koro pedang.
”Koro pedang bisa dibuat tempe. Kadar protein antara kedelai dan koro pedang tak berbeda jauh. Koro pedang sekitar 27 persen, sedangkan kedelai 34 persen. Itu membuat koro pedang bisa menjadi alternatif bagi pemenuhan kebutuhan protein nabati. Untuk makan tempe, kita tidak harus membuatnya dari kedelai impor,” katanya.
Tanaman yang menyerupai kacang panjang dengan buluh-buluh lebih besar ini cocok ditanam di Indonesia karena merupakan jenis tanaman tropis. Bentuknya yang panjang seperti pedang atau golok membuatnya dinamai koro pedang. Petani umumnya menyebut koro jenis ini dengan nama koro bedog.
Koro jenis ini bisa ditanam di mana pun dan memiliki toleransi relatif tinggi terhadap iklim. Pendek kata, koro pedang adalah vegetasi yang bandel dan tidak memerlukan perawatan khusus. Dini menanam koro di lahan milik Perhutani yang disewakan kepada penduduk Sumedang. Lahan hutan lebih cocok untuk tegalan atau kebun kering daripada untuk sawah padi.
”Koro pedang hanya cukup diberi pupuk dasar sekali sudah bisa tumbuh. Berbeda dengan kedelai yang sejak awal memerlukan pemupukan yang konsisten, minimal tiga kali pemupukan dari tanam hingga panen,” ujar anak sulung dari dua bersaudara ini. ”Saya biasanya hanya memakai pupuk kandang atau pupuk organik untuk koro pedang,” ujarnya.
Tahun 2012, ia merintis penanaman koro pedang di Sumedang. Kakek-neneknya yang membantu Dini mendekati petani. Tidak mudah bagi Dini yang baru lulus kuliah itu (2012) untuk mendekati petani. Apalagi di Sumedang, Dini adalah orang baru dalam dunia pertanian. Kakek Dini yang kemudian menjadi perantara baginya untuk mendekati para petani di lahan Perhutani.
Dini menyediakan konsep dan menyampaikan visi ke depan tentang masa depan budidaya koro pedang itu dalam beberapa kali pertemuan dengan kelompok tani. Pertemuan itu pun tidak rutin. Beruntung, ide-idenya didukung ketua RT setempat dan dibantu keluarganya langsung.
”Beda sekali pendekatan yang dilakukan kakek dengan ilmu yang saya peroleh waktu kuliah. Kelihatan bedanya mana petani yang sudah puluhan tahun (kakek) dengan petani yang baru belajar, he-he-he,” ujarnya.
Sistem plasma
Mahasiswa berprestasi IPB tahun 2011 ini belajar dari kakeknya bahwa pendekatan kepada petani rupanya sangat efektif melalui contoh. Tahun 2012, Dini yang dibantu kakeknya mulai menanam koro pedang di atas lahan sewa seluas 9 hektar. Hasilnya memuaskan.
Pada panen pertama (enam bulan pertama), lahannya menghasilkan 8 ton per hektar. Pada panen kedua (enam bulan berikutnya), hasilnya 3-4 ton per hektar.
”Hasilnya menjanjikan. Setelah melihat hasil ini, banyak petani yang ingin menanam koro pedang. Entah sudah berapa hektar lahan petani di luar lahan sewa saya yang ditanami koro pedang. Mereka ingin menanam koro pedang dan menyetorkan hasil panennya untuk saya salurkan kepada pembeli,” katanya.
Petani pemilik lahan yang menyetorkan hasil panen itu mengikuti sistem plasma. Dini menyediakan modal budidaya, seperti bibit, pupuk, dan alat pertanian. Ia tidak memberikan modal budidaya dalam bentuk uang.
Pembiayaan budidaya koro pedang itu juga berawal dari perkenalannya dengan sejumlah wirausaha saat mengikuti pelatihan semasa kuliah. Tahun 2010, ia menjadi peserta Entrepreneurship Camp yang diselenggarakan Mien R Uno Foundation. Di sini ia menjalin jaringan dengan pengusaha peternakan yang di kemudian hari membuat kontrak pembelian koronya.
”Mengajak petani agar menanam koro pedang cukup sulit sebab mereka tidak biasa menanami lahannya dengan tanaman ini. Mereka terutama ragu jika hasil panennya ada yang membeli. Namun, setelah mengetahui bahwa ada pembeli yang berminat dan ada pasar jelas, petani antusias menanam koro pedang,” katanya.
Dini bekerja sama dengan pengusaha peternakan untuk menjadikan koro pedang sebagai pakan ternak. Dari petani, koro pedang dihargai Rp 3.200 per kilogram. Bagi petani dengan sistem plasma, hasil penjualan panen akan dipotong untuk biaya modal budidaya yang dikeluarkan di awal.
Mulai dilirik
Kini, ada sekitar 5 hektar lahan petani yang ditanami dengan sistem plasma. Sekitar 20 keluarga petani terlibat dalam penanaman hingga panen koro pedang. Mereka mendapatkan lapangan kerja baru dengan adanya budidaya ini.
Adapun petani pekerja di lahan yang disewa Dini menerima upah harian yang besarnya bervariasi. Pekerja laki-laki mendapatkan upah Rp 35.000-Rp 40.000 per hari, sedangkan pekerja perempuan Rp 25.000-Rp 30.000 per hari.
”Saya optimistis koro pedang dilirik pasar tidak hanya untuk pakan ternak, tetapi juga untuk makanan olahan, seperti kacang koro goreng dan cake koro. Potensinya besar sebab belum banyak pemain yang membudidayakan koro pedang,” katanya.
Upaya Dini mulai dilirik Pemerintah Kabupaten Majalengka, tempat kelahiran Dini. Pada 5-8 September, Dinas Pertanian Majalengka membawa sampel koro pedang dalam pameran pertanian di Turki. Beberapa temannya di Bogor juga tertarik dan mulai membudidayakan koro jenis ini.
Dini meyakini budidaya koro pedang bisa terus berkembang. ”Mimpi saya ialah mengekspor koro pedang dan produknya ke luar negeri. Petani yang mengembangkan koro pedang semoga semakin sejahtera,” ujarnya.
—————————————————————————
Dini Gustiningsih
? Lahir: Majalengka, Jawa Barat, 19 Januari 1990
? Pendidikan: S-1 Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB
? Pengalaman:
– Penampil dalam Kontes Karya Tulis Ilmiah di Berlin, Jerman, tentang Energi Terbarukan, 2010
– Penampil dalam Kontes Karya Tulis Ilmiah di Tokyo, Jepang, tentang Koro Pedang, 2011
Oleh: RINI KUSTIASIH
Sumber:Kompas, 24 Juni 2014