JUMAT , 10 Mei 1991, menjadi hari yang takkan terlupakan bagi warga perbatasan Jawa Tengah – DIY, khususnya di seputar Jalan Raya Yogyakarta – Magelang. Kala itu sebuah peristiwa yang tak disangka terjadi. Sebuah truk tangki gandeng penuh muatan hilang kendali setelah menyalip kendaraan dari arah selatan.
Tepat menjelang jembatan Krasak, gandengan terguling dan terseret hingga truk berhenti di tengah gelagar jembatan. Sebanyak 16.000 liter premix yang dibawanya tumpah, lantas tersulut api dan menjalar hingga ke badan truk. Kebakaran hebat pun terjadi. Api bersuhu ratusan derajat Celcius melalap besi baja penopang jembatan dengan ganasnya. Akibatnya, besi baja pun kehilangan kekuatannya sehingga bentang selatan jembatan Krasak runtuh. Arus transportasi putus.
Jembatan yang dirancang bertahan 100 tahun ternyata belum genap 15 tahun sudah luluh lantak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Perancang jembatan Krasak mendesain jembatan itu sanggup bertahan menghadapi hantaman banjir lahar dingin dari Gunung Merapi, yang telah merusak jembatan sebelumnya. Untuk itulah rangka baja kuat sistem Calender Hamilton dipilih. Namun tragedi ini membuat kebutuhan jembatan yang lebih tahan api mengemuka.
Perancang jembatan Mahakam 2 di Kutai Kartanegara (Kaltim) pun berpikir dan bersikap demikian. Sebagai sebuah jembatan gantung dengan bentang cukup panjang yang ditahan kabel suspensi oleh dua tiang utama nan tinggi, jelas jembatan dirancang agar tahan lama. Jembatan Mahakam 2 juga mengantisipasi kemungkinan arus lalu lintas macet, tersenggol kapal, hembusan angin, ataupun faktor-faktor lain yang berpotensi menimbulkan kegagalan struktur jembatan. Jadi, jika jembatan dirancang beroperasi 100 tahun tetapi runtuh total hanya dalam 10 tahun, apa yang salah?
Angin
Jembatan runtuh merupakan petaka konstruksi yang menyertai perkembangan peradaban. Penyebabnya beragam. Mulai dari uzur, kesalahan desain, kelemahan desain, kecelakaan lalu lintas, ditubruk kapal, truk kelebihan muatan, banjir, dasar sungai turun sehingga pilar tergerus, gempa, tsunami, orang berdesak-desakan hingga penyebab yang aneh seperti orang berbaris dan hembusan angin.
Di tahun 1831 jembatan Broughton di Manchester (Inggris) runtuh gara-gara dilewati pasukan yang berderap dalam barisannya. Selidik punya selidik, barisan ternyata seirama dengan frekuensi natural jembatan sehingga terjadilah resonansi, yang membuat sekrup-sekrupnya mencelat hingga jembatan pun ambruk ke dalam sungai.
Seabad lebih kemudian, tepatnya tahun 1940, giliran Jembatan Tacoma di negara bagian Washington (AS) nyungsep ke laut. Semula diduga runtuhnya jembatan ketiga terpanjang di dunia yang baru beroperasi 4 bulan akibat resonansi pula. Sebab sejak pembangunannya, jembatan sudah bergoyang secara transversal tiap kali angin berhembus. Namun belakangan ketahuan bahwa gelagar mengalami masalah. Embusan angin secepat 64 km/jam menyebabkan salah satu sisi gelagar terangkat naik. Sebaliknya sisi berseberangan terperosok turun. Gerak naik-turun berlangsung terus bergantian di antara dua sisi gelagar yang sama. Ini menggerogoti kekuatan jembatan sehingga runtuhlah jembatan itu.
Sebuah jembatan mematuhi hukum fisika sederhana, yakni hukum Newton 1. Intinya jembatan bisa membentang dan berfungsi kala gaya ke bawah seimbang dengan gaya ke atas. Gaya ke bawah adalah beban yang diterima jembatan, baik bobot jembatan itu sendiri maupun arus lalu lintas yang mengalir melewatinya. Sementara gaya ke atas berupa kekuatan jembatan. Tatkala keseimbangan ini berantakan, oleh penyebab apa pun, maka jembatan bakal runtuh.
Pergeseran?
Jembatan Mahakam 2 beroperasi pada 2001 lalu setelah memakan waktu konstruksi 7 tahun dengan biaya Rp 150 miliar. Saat runtuh pada Sabtu 26 November 2011 lalu, jembatan telah beroperasi 10 tahun, sehingga salah desain dapat dikesampingkan. Tidak ada kecelakaan lalu lintas seperti jembatan Krasak 1991, pun pilar tak ditubruk kapal, tak ada gempa, tak ada banjir atau penyebab lainnya. Jadi apa yang membuat gelagarnya nyemplung ke sungai sedalam 50 meter?
Sejauh ini semua masih dalam penyelidikan. Namun potongan demi potongan teka-teki itu sedikit demi sedikit mulai tersingkap. Jembatan ternyata sudah bermasalah sejak awal pengoperasiannya. Mengutip pemaparan rapat Komisi V DPR, blok angker jembatan telah bergeser, pylon jembatan pun turut bergeser dan ada kegagalan sistem antara kabel suspensi utama dengan kabel penggantung. DPU Kutai Kartanegara mencatat pergeseran pylon sebesar 8-10 cm pada 2001 dan bertambah jadi 15-18 cm pada 2006. Konsekuensinya, gelagar jembatan pun merosot melengkung ke bawah sedalam 72 cm.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pergeseran-pergeseran ini masih dalam batas toleransi, atau sudah di luar itu, sehingga memercikkan potensi bahaya? Selanjutnya, dengan diketahuinya pergeseran-pergeseran tersebut, apa yang telah dilakukan? Itu belum jelas. Bagaimana pula perawatan jembatan ini?
Pada akhirnya, karena setiap bencana konstruksi tidak pernah memiliki penyebab tunggal, perlu ditelaah bagaimana faktor manusia berperan di dalamnya. Baik mulai dari kemungkinan pelanggaran prosedur perawatan jembatan hingga disunatnya kualitas bahan-bahan pembangunan jembatan. Semua itu penting. Bukan saja untuk memastikan siapa yang bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa serta kerugian material dan immaterial lainnya, bila faktor kesalahan manusia mendominasinya. Namun juga untuk mengantisipasi agar bencana ini, yang menjadi bencana konstruksi terbesar di Asia Tenggara sepanjang 2011, tidak terulang lagi, khususnya bagi jembatan-jembatan sejenis di Indonesia. (24)
Muh Ma’rufin Sudibyo, penulis lepas, tinggal di Kebumen
Sumber: Suara Merdeka, 5 Desember 2011