Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

- Editor

Selasa, 9 Desember 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kehidupan Basu Swastha Dharmmesta (62) adalah perpaduan antara ilmu pengetahuan dan kesenian. Puluhan tahun, Basu menekuni karier sebagai akademisi hingga menjadi Guru Besar Ilmu Pemasaran di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Di sisi lain, dia juga jatuh cinta pada batik.


Dari namanya, orang kerap mengira Basu dari Bali. Padahal, dia lahir dan besar di Kampung Gowongan Lor, Yogyakarta. Saat kanak-kanak, dia kerap melihat ibu dan neneknya membatik. ”Tidak untuk dijual, tetapi untuk dipakai sendiri,” kata Basu, Rabu (5/11).

Interaksi dengan sang ibu dan nenek membuatnya tertarik pada batik. Dia pun belajar membatik menggunakan malam dan canting. Namun, interaksi intens dengan batik baru dialami Basu saat remaja, pada 1968, ketika belajar menari dan melukis di sanggar Bagong Kussudiardja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Saya masih saudara jauh dengan almarhum Mas Bagong. Awalnya, sekitar tahun 1962, saya, kakak, dan adik belajar menari. Kami mungkin murid pertama Beliau,” ujarnya.

Pada akhir dekade 1960-an, Bagong yang juga menekuni seni rupa dan kerap membuat lukisan itu bersama sejumlah seniman bereksperimen membuat lukisan batik. Basu yang melihat eksperimen itu lalu tertarik untuk meniru. ”Ternyata saya menikmati membuat lukisan batik. Kalau orang melakukan sesuatu dan menikmati, berarti habitatnya memang di situ,” kata ayah empat anak itu.

Lukisan batik dibuat dengan bahan dan proses yang sama dengan membuat batik. Saat melukis, sang pelukis tak memakai kuas dan cat minyak, tetapi canting dan malam. Media melukisnya kain. Berbeda dengan batik yang gambarnya sudah berpola, lukisan batik bisa berisi gambar apa saja, bergantung keinginan sang seniman.

Menjual lukisan
Basu menuturkan, pada awal melukis batik ada beberapa teman dan gurunya yang tertarik karyanya. ”Saat SMA, ada guru dan teman yang pesan lukisan batik. Saya bersemangat membuat lukisan batik karena ternyata bisa menambah uang jajan,” katanya.

Ketika menjadi mahasiswa Jurusan Ekonomi Perusahaan UGM, 1971, Basu terus membuat lukisan batik. Tahun itu dia berpameran bersama kelompok Bagong Kussudiardja di Yogyakarta, Bandung, dan Semarang. Dia juga menggelar pameran tunggal di Gedung Lembaga Indonesia-Amerika, Jakarta, dan Gedung Kesenian Cijantung, Jakarta Timur. ”Saya juga menggelar pameran tunggal di Surabaya.”

Selain pameran, Basu juga berupaya menjual lukisan batiknya melalui toko. Tahun 1972, dia bekerja sama dengan sebuah toko seni di Kampung Taman Sari, Yogyakarta, untuk menjual karyanya.

”Penjualan lukisan saya yang dititipkan di Taman Sari lumayan waktu itu. Hampir setiap minggu ada lukisan yang terjual. Ini menambah semangat saya berkarya,” ujar Basu yang lulus Fakultas Ekonomi UGM pada 1976.

Namun, aktivitas melukis batik berkurang saat Basu diterima sebagai dosen di almamaternya pada 1977. Kesibukan mengajar, meneliti, dan membimbing mahasiswa menyita waktunya. Akibatnya, ia hanya melukis batik secara sporadis. Kesibukan akademis yang makin padat membuatnya berhenti melukis pada 1986.

”Tahun 1985, saya masih membuat lukisan batik, tetapi sesudah itu saya berhenti,” ujar dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM itu.

Kebangkitan kembali
Kemandekan Basu melukis batik ternyata tidak selamanya. Pada 10 Juli 2010, sekitar 24 tahun sesudah berhenti melukis, ia mengunjungi pameran batik dan kerajinan di Jogja Expo Center. Dalam pameran itu, dia tertarik pada sebuah stan yang menawarkan pembelajaran membatik kepada para pengunjung. Basu berhenti di stan bertuliskan ”Demo Membatik” itu dan tiba-tiba tergerak untuk mencoba membatik kembali.

Basu Swastha Dharmmesta”Malam setelah nyoba membatik di pameran, saya enggak bisa tidur. Perasaan ingin membatik muncul terus. Kejadian tersebut saya sebut sebagai momen kebangkitan kembali,” katanya.

Sejak saat itu, di tengah kesibukan akademisnya, Basu mulai membatik lagi. Bahkan, pada 26-30 September 2012, ia menggelar pameran tunggal di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM. Pameran bertajuk ”Kebangkitan Melukis Batik untuk Memayu Hayuning Bawana” itu menampilkan 54 lukisan batik yang dibuatnya dalam rentang 1968-2012.

Yang menarik, pameran tersebut juga menyuguhkan karya lukisan pertama Basu yang dibuat pada 1968, yakni ”Burung Hantu”. Selain itu, ada beberapa karya lain yang dibuat saat dirinya masih muda, misalnya ”Keburukan vs Kebaikan” (1973), ”Ikan” (1980), dan ”Dua Prajurit Pandawa” (1985).

Bersamaan dengan pameran itu, Basu meluncurkan buku karyanya berjudul Ilmu Pemasaran dalam Seni Lukis Batik yang juga menjadi semacam katalog pameran. Pada waktu itu diluncurkan pula buku Batik Lukis Basu SD yang ditulis Marissa Haque dan Meta Ayu Thereskova.

Sebagian besar lukisan Basu menampilkan figur-figur wayang kulit Jawa, khususnya Pandawa dan para kerabatnya, seperti Kresna, Gatotkaca, dan Antareja. Ornamen-ornamen khas wayang kulit Jawa juga menghiasi lukisan Basu yang menampilkan figur hewan.

Lukisan ”Burung Hantu” dan ”Ikan”, misalnya, tidak menampilkan bentuk binatang secara realis, tetapi menghadirkan sosok samar-samar berhias ornamen yang mengingatkan kita pada wayang kulit.

Promosi
Saat ini, Basu menerima cukup banyak pesanan lukisan batik. Sebagian orang juga memesan kain lukisan batik sebagai bahan kemeja. ”Saya sedang memenuhi pesanan kain batik untuk seragam sekitar 900 pegawai kantor UGM. Sekarang sudah saya selesaikan sekitar 600 kain, semuanya hasil lukisan, tidak memakai cap,” ujar Direktur Magister Manajemen UGM tersebut.

Untuk memenuhi pesanan, Basu kini dibantu enam pebatik. Dia juga membuka Basu SD Gallery sebagai tempat untuk memamerkan karya-karyanya. Meskipun menghasilkan pendapatan, Basu tetap menganggap kegiatan melukis batiknya itu sebagai hobi.

”Pekerjaan utama saya tetap akademisi. Nanti kalau sudah pensiun atau tugas akademis berkurang, saya akan fokus melukis batik,” katanya.

Basu menambahkan, ketekunannya melukis batik menjadi bagian dari upaya mempromosikan batik. Menurut dia, batik masih perlu dipromosikan agar semangat mencintai produk budaya asli Indonesia itu tidak hanya dimiliki para produsen dan penjual batik, tetapi juga masyarakat luas.
—————————————————————————
Basu Swastha Dharmmesta
? Lahir:  Yogyakarta, 20 Agustus 1952
? Pekerjaan:  Direktur Magister Manajemen FEB UGM
? Istri:  Rr Muktiari
? Anak:  Meta Dhika Dharmmesta, Meta Ayu Thereskova, Mata Bagus Amerossi, Meta Ayu Puspitantri
? Pendidikan:
– SD-SMA di Yogyakarta
– S-1 Jurusan Ekonomi Perusahaan UGM, lulus 1976
– S-2 Northwestern State University of Louisiana, Amerika Serikat, 1984
– Doctor of Philosophy in Marketing, University of Strathclyde, Skotlandia, 1992.

Oleh: Haris Firdaus

Sumber: Kompas, 9 Desember 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Maidi; Penangkar Anggrek Hutan
Berita ini 235 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB