Arsitek Bangunan Tinggi di Indonesia

- Editor

Senin, 22 November 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pengantar Redaksi: Bangunan tinggi di Jakarta sekarang sudah bukan merupakan barang aneh lagi. Di pusat kota Jakarta terutama di daerah segitiga emas, antara Sudirman, Kuningan dan Gatot Subroto terasa benar kita dikungkungi hanya oleh bangunan tingkat banyak itu. Apa pengaruhnya terhadap keindahan lingkungan kota? Bagaimana struktur tanahnya, apakah mampu mendukung sekian banyak bangunan yang berada di atasnya?

PERTANYAAN-PERTANYAAN tersebut diatas tentu hanya dapat dijawab oleh ahlinya. AKU TAHU telah menghubungi dua pakar bangunan tinggi, yang satu di bidang arsitektur, yang selalu menjadi penanggung jawab pertama dari eksistensi bangunan tinggi, serta yang kedua adalah pakar di bidang struktur bangunan yang mengupas mengenai kekuatan bangunan tinggi sehingga bisa bertahan tetap tegak berdiri selama puluhan tahun.

Menelusuri wilayah segitiga emas di Jakarta, sepertinya tidak ada lagi tanah yang tersisa. Semuanya telah ditumbuhi bangunan-bangunan tinggi, ciri sebuah kota metropolitan. Menjamurnya bangunan tinggi itu antara lain didorong oleh pertumbuhan kota, kegiatan ekonomi, serta menyediakaan lahan pekerjaan di lahan yang semakin langka ini. Selain itu dibarengi juga dengan kemajuan teknologi khususnya dalam bidang struktur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bangunan tinggi bukanlah penemuan Indonesia. Sebuah tipe bangunan baru bertingkat banyak pada akhir abad 19 muncul di Chicago, Amerika Utara; sebuah produk interaksi industrialisasi, bisnis, dan real estate. Membuat bangunan bertingkat banyak ini dimungkinkan oleh kemampuan membuat rangka logam dan lift penumpang serta kemajuan-kemajuan dalam beberapa teknik lain seperti pondasi, ketahanan terhadap api, penerangan, pengudaraan, dan cara-cara memanaskan ruang di dalam bangunan.

Perkembangan bangunan tinggi telah melewati empat tahap, yaitu tahap pragmatik, eklektik, modern, dan pasca modern (post modern). Walaupun demikian pertanyaan dasar tetap sama: Bagaimana memperlakukan rangka: menutupi, membungkus atau justru memperlihatkannya dan menjadikannya unsur estetik?; Bagaimana membuat raksasa ini cocok buat arsitektur yang ada?; Bagaimana mengaitkannya dengan lingkungan yang sangat berbeda dalam skala, struktur dan kegunaannya.

TAHAP PRAGMATIK
Tahap awal, tahap pragmatik diten-tukan oleh penyelesaian- penyelesaian yang praktis. Mula-mula rangka logam hanya terdapat di bagian dalam ba-ngunan. Bagian luar terdiri dari dinding pemikul batu bata atau alam. Dinding luar tersebut diberi wajah menurut contoh bangunan rendah yang lazimnya terdiri dari bagian bawah ‘kaki’, bagian tengah ‘badan’ dan bagian atas ‘kepala’. Masalah adalah perbandingan antara kaki, badan, kepala tersebut: berapa tingkat untuk kaki, berapa untuk badan, dan berapa untuk kepala.

TAHAP EKLEKTIK
Tahap kedua, tahap eklektik, perancangan bangunan tinggi atau pencakar langit dipengaruhi oleh (Ecole National Superieur des Beaux Arts) Beaux Arts, S ekolah Pendidikan Tinggi Seni di Paris yang sangat terkenal. Masalah wajah bangunan diselesaikan dengan meng-ambil contoh atau menggunakan (memilih eklek) gaya-gaya sejarah klasik, romanik atau gotik. Eklektisisme ini berlanjut sampai abad ini dan dihentikan oleh kelesuan ekonomi (depresi besar).

Arus ini dilawan oleh Sullivan, yang boleh dikata benar-benar berhasil menemukan sebuah gaya bagi pencakar langit. “Bentuk mengikuti fungsi,” katanya,”bukan mengikuti contoh akademik.” Dalam wajah bangunan dinyatakan struktur dan denah. Jawaban bagi masalah wajah bangunan tinggi tidak terletak dalam aturan atau kebiasaan yang berasal dari zaman lampau. Walaupun ia menolalc contoh-contoh sejarah, ia tidak menolak omamen dan dekorasi dan dapat menghargai nilai-nilai arsitektur tradisional.

TAHAP MODERN
Dalam tahap ketiga, eklektisisme ini diganti oleh modernisme, menjadi ar-sitektur kaum mapan untuk 25 tahun berikut. Tokoh-tokoh Eropa seperti Walter Gropius dan Mies Van der Rohe keduanya bekas pendiri dan guru pendidikan arsitektur Bauhaus —pindah ke Amerika untuk menghindari naziisme yang saat itu melanda Jerman.

Kata-kata kunci adalah abstrak, jujur, murni, sederhana, jelas, tajam, ringan, putus dengan sejarah, segalanya mulai dari nol. Idealnya adalah menara yang menjulang dari lapangan hijau.

Mulai tahun 60-an, modernisme ini mulai dimanipulasi (akhir modern) sampai mencapai titik di mana kaidah-kaidahnya tidak dipenuhi lagi.

Pasca modern merupakan tahap keempat dalam perkembangan bangunan tinggi. Robert Venturi yang menulis buku-buku: Complexity and Contradiction in architecture dan Learning from Las Vegas mengatakan hal-hal yang bertolak belakang dari yang dianut oleh modernisme: Less is bore dan More is not less melawan ucapan Mies Vander Rohe: “Less is more”. Segi yang memberi harapan dari post modern ini ialah penemuan kembali zaman yang lampau dan keseimbangan dengan lingkungan atau kontekstual. Segi yang mengkhawatirkan ialah devaluasi segala sesuatu yang pernah jadi panutan para modernis.

Yang dilakukan oleh para pasca modernis adalah eksplorasi gaya, lepas dari kondisi tanpa keterkaitan dengan realitas akan menurunkan mutu arsitektur.

BANGUNAN TINGGI PERTAMA DI INDONESIA
Tidak seperti di Amerika, bangunan tinggi pertama di Indonesia bukanlah kantor, tapi empat buah hotel bertaraf internasional, yang dimulai pembangunannya atas saran seorang ahli yang kemudian diangkat sebagai menteri Cipta Karya di zaman Bung Karno. Keempat hotel tersebut adalah Hotel Indonesia, Hotel Samudra Beach, berturut-turut di Jakarta, Pelabuhan Ratu, Yogyakarta dan Denpasar.

Keempat hotel tersebut dibangun dalam gaya tropik modern, menurut pandangan alm. Friedrich Silaban, arsitek Mesjid Istiqlal. Cirinya adalah unsur-unsur pelindung terhadap sinar matahari, baik dari beton maupun dari logam serta sosok (masa) bangunan yang langsing untuk memungkinkan peredaran udara lintas bangunan (cross ventilation) akan tetapi kemudian, demi memenuhi kriteria taraf internasional, ventilasi alam diganti dengan pengkondisian udara buatan (AC).

Walaupun keempat hotel merupakan bangunan tinggi, akan tetapi belumlah merupakan menara yang menjulang dari lapangan rumput hijau. Wisma Nusantara dengan President Hotel sebagai annex merupakan menara pertama di Indonesia, yang dibiayai oleh dana dari rampasan perang dan dibangun dengan bantuan tenaga Jepang. Bagi Jepang, bangunan tinggi ini merupakan uji coba bagi pembangunan gedung serupa di negeri mereka sendiri.

Menara tersebut adalah konstruksi baja yang ditutup oleh dinding tirai, yang terdiri dari jendela mati dari kaca dan panel alumunium, merupakan bidang rata tanpa penonjolan yang terdapat pada hotel sebagai pelindung terhadap sinar matahari. Dinding tirai (curtain wall) itu sendiri dibuat dari bahan yang dapat berfungsi pula sebagai isolasi terhadap panas, dipasang pada lantai, jadi tidak mempunyai fungsi pendukung seperti pada bangunan tinggi pertama, di mana rangka hanya terdapat di dalam dinding luar dari batu masih berfungsi sebagai dinding pemikul.

Demikianlah, walaupun tinggi, ba-ngunan tetap ringan, dapat dibangun dengan cepat dan dipelihara dengan mudah, yaitu dengan alat pengangkut pembersih kaca yang dikenal sebagai gondola. Banyak orang dapat bekerja di tempat yang terbatas dalam kondisi aman dan nyaman, bahkan nikmat. Di tingkat atas terdapat sebuah restoran, tempat para pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh kota Jakarta sampai jauh, sambil bersantap.

Suhu ruang dapat diturunkan dengan pengkondisian udara buatan, selanjutnya terhadap silau dapat digunakan kre dari alumunium yang dapat disesuaikan menurut kedudukan matahari. Kaca itu sendiri dapat dibuat gelap dengan melapisi atau mewarnai dan dibuat berlapis ganda dengan hampa di antaranya sebagai isolasi terhadap panas.

Masalah khas Indonesia adalah gempa. Selain itu, lebih lebih di sepanjang Jl. Thamrin daya dukung tanah rendah. Pondasi selalu memerlukan tiang pancang untuk mencapai lapisan keras yang dapat mendukung berat bangunan dan untuk rangka harus menjadi per-hitungan gaya horizontal yang disebabkan oleh gempa. Terhadap gaya horizontal dibutuhkan dinding-dinding untuk memperkuat rangka. Dinding-dinding tersebut mengelilingi lift, WC, dapur, tangga darurat, dan menampung saluran vertikal seperti pipa air bersih dan kotor serta kawat listrik dan tilpon, merupakan inti (core) bangunan tinggi, biasanya diletakkan di tengah bangunan, agar tidak ‘mengganggu’ dinding luar.

Ilmu merancang dengan memperhitungkan gempa (seismic design) telah sangat maju di Jepang dan New Zealand, negara-negara yang lebih sering mengalami gempa daripada Indonesia, sedangkan Hong Kong dan Singapura sangat beruntung, karena walaupun terletak di kawasan Asia Pasific, di sana tidak ada gempa dan tanahnya pun keras. Itulah sebabnya di Hong Kong dan Singapura bangunan-bangunan lebih tinggi, tiang-tiang lebih langsing dan dapat berdiri berdekatan satu sama lain.

Akhir-akhir ini di Jakarta dapat kita temukan bangunan dengan seluruh dinding luarnya dari kaca. Pada beberapa bangunan ‘kotak kaca’ ini, masih dapat dibedakan batas-batas tingkat oleh deretan jendela dengan kaca tembus pandang dan dinding tertutup setinggi meja yang tidak tembus, dengan demikian tidak merupakan sosok yang bisu.

Bilamana untuk kaca dipakai kaca cermin, pantulan sinar matahari mengganggu bangunan dan manusia di sekitar bangunan itu sendiri.

Itulah sebabnya pemerintah DKI melarang digunakannya bahan tersebut untuk dinding luar bangunan tinggi. Demi mengurangi beban pendinginan ruang kerja, diperkenankan untuk memakai kaca yang diwarnai atau dilapisi yang mempunyai daya pantul yang sangat terbatas. Akan tetapi lebih efektif untuk melindungi jendela terhadap matahari yang berlimpah dengan unsur-unsur diluar seperti pada awal arsitektur modern.

Di Indonesia pun kita telah mengalami perkembangan dalam arsitektur bangunan tinggi, yaitu tahap arsitektur tropik modern yang mengandalkan perlindungan terhadap matahari dengan unsur-unsur pada dinding di sebelah luar bangunan dan ventilasi lintas bangunan dengan sosok yang langsing dan tahap kengudian yang mengandalkan pengkondisian udara buatan tanpa penonjolan pada dinding luar bangunan, yaitu dengan bahan baja dan kaca seperti Wisma Metropolitan dan Landmark, atau dengan beton seperti Wisma Metropolitan I dan II, di Jalan Sudirman, Jakarta.

Tahap terakhir perkembangan ar-sitektur modem adalah bangunan Dharmala (akhir modern), karya Paul Rudolph, yang ingin bangunannya hanya dapat berdiri di Jakarta saja. Baginya hal ini berarti tiang-tiang langsing, atap-atap dengan sudut kemiring-an tertentu dan keterbukaan dengan teras dan balkon.

BANGUNAN TINGGI PASCA MODERN DI INDONESIA
Tahap terakhir perkembangan bangunan tinggi di Indonesia adalah ba-ngunan yang terpengaruh oleh contoh-contoh di luar negeri. Seperti gedung Sampurna Plaza. Cirinya adalah kembali diolahnya wajah gedung men urut kaidah kaki, badan, dan kepala. Ciri utama arsitektur modern adalah atap datar, karena pada saat timbulnya atap dengan sudut kemiringan tertentu dianggap lambang borjuis (mahkota). Akan tetapi menara-menara baru justru mengembalikan mahkota, atap mereka tidak datar tetapi mempunyai kuncup, sedangkan dinding luar bangunan diolah simetris dengan tekanan pada bagian tengah dan bagian tepi serta bagian tempat masuk yang dahulu sekedar kanopi berbentuk bidang horizontal sekarang bersudut atap miring, dengan tiang-tiang berupa pendopo kecil atau dengan berbentuk bulat dari kaca atau segitiga-segitiga dan piramida spaceframe.

Selama usaha ini membuat manusiawi lingkungan yang oleh Rendra pernah disebut ‘tirani beton’ (‘aku ingin bebas dari tirani beton’) dapatlah disambut dengan baik. Bilamana ideal arsitektur modern adalah menara yang menjulang dari lapangan hijau, sebuah jajaran menara akan membuat lingkungan menjadi tidak manusiawi.

Akan tetapi bilamana dibuat peralihan-peralihan antara tinggi dan rendah, antara vertikal dan horizontal, manusia dapat menangkap lingkungannya sebagai tempat yang disediakan khusus untuknya.

Tidak ada kota yang lebih baik dari bangunannya, tidak ada bangunan yang lebih baik dari kotanya. Rahasianya terletak dalam dibutuhkannya sebuah conceptual framework. Sebuah pola dasar untuk seluruh kota dan untuk perkembangannya untuk jangka waktu yang panjang. Sebuah pola dasar disusun bertolak dari tujuan kota. Secara sederhana arsitektur adalah tempat untuk segalanya dan segalanya pada tempatnya. Bagian kedua kalimat ini menandakan, bahwa tidak bisa kita lepas dari budaya dan warisan kita.

Tempat yang wajar adalah masalah pada tiap upacara yang kita laksanakan, siapa duduk di sebelah siapa, siapa duluan akan masuk, dan hal ini berlaku untuk kota, di mana terdapat bermacam lapisan masyarakat, dengan segala macam latar belakang dan penghasilan. Harus dibuat pola mengenai pusat atau pusat-pusat dan pinggiran.

Bagian-bagian peralihan dan yang paling penting adalah diformalkannya sektor informal, ditampungnya perkembangan dari masyarakat miskin dan timpang menjadi masyarakat makmur dan andil. Contoh yang paling mudah adalah banyaknya sopir yang menunggu majikan bangunan tinggi. Karena mereka tidak bisa makan di restoran internasional yang terdapat di dalam bangunan tinggi, kebutuhan mereka terpenuhi oleh kios yang membuat penuh trotoar yang sempit dan meng-halangi arus pejalan kaki.

Bila sebuah rencana kota menyediakan tempat bagi penampungan kios yang cukup —di luar trotoar— maka kelak, bilamana kita sudah makmur dan adil, daerah yang kita peruntukan khusus untuk menampung kios dan para sopir menjadi daerah hijau, pagar pun hapus dan trotoar dapat diperoleh sampai dinding luar bangunan tinggi dengan pohon rindang sebagai pemisah antara trotoar dan jalan kendaraan, seperti Champs Elysees, sebuah jalan termashur di Paris.

Kota tidak dapat diselamatkan hanya oleh bangunan tinggi atau arsitekturnya saja. Jauh lebih menentukan adalah restrukturisasi kota dari kota mononukleus menjadi kota multinukleus, pusat-pusat distrik dan distrik yang terdiri dari blok-blok bangunan tinggi dan rendah dalam kombinasi yang indah, memenuhi semua kebutuhan warga kota secara desentral, mengurangi kepadatan lalu lintas dan pencemaran lingkungan.

OLEH: SUWONDO BISMO SUTEJO, Guru Besar Bidang Arsitektur Universitas Indonesia.

Sumber: majalah AKU TAHU/ EDISI 98 JUNI 1991

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif
Berita ini 88 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:11 WIB

Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB