Suasananya tidak seperti perguruan tinggi kebanyakan. Berada di lantai 22 sebuah gedung megah di pusat bisnis Jalan Sudirman, Jakarta, Kampus Universitas Paramadina sangatlah nyaman. Fasilitas ruang kuliah untuk program magister sangat lengkap dan memadai.
Di berbagai sisi tertata rapi sofa empuk untuk diskusi para mahasiswa. Di sudut ruangan tersedia teh dan kopi, tinggal diseduh sendiri. Di ruang perpustakaan, buku-buku pun tertata apik, disertai meja-kursi untuk diskusi mahasiswa.
”Perguruan tinggi memang punya visi sosial. Tetapi, harus dikelola dengan manajemen bisnis agar tidak memberatkan mahasiswa, serta lebih bermanfaat bagi masyarakat,” kata Anies Baswedan (42), Rektor Universitas Paramadina Jakarta. Berdasarkan visi ini, Universitas Paramadina, dengan dukungan perusahaan swasta, bisa memberikan banyak beasiswa, termasuk untuk lulusan SMA di sekitar kampus serta anak-anak korban kekerasan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anies yang meraih gelar doktor politik dari Northern Illinois University Amerika Serikat juga banyak melontarkan gagasan di seputar pendidikan. Tidak sekadar wacana. Keprihatinannya terhadap kondisi pendidikan di daerah pedalaman, misalnya, diwujudkan dengan membentuk Gerakan Indonesia Mengajar. Sarjana-sarjana terbaik dari berbagai perguruan tinggi terkemuka di Tanah Air, dengan seleksi sangat ketat, diajak untuk menjadi guru di daerah pedalaman selama setahun.
Berikut petikan wawancaranya:
Apa sebenarnya persoalan mendasar di bidang pendidikan tinggi?
Selama empat atau lima dekade terakhir, universitas menjadi eskalator sosial ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, kelas menengah atas Indonesia saat ini, di mana posisi mereka 30-40 tahun lalu? Kebanyakan di kelas menengah bawah. Mengapa bisa di posisi sekarang? Karena perguruan tinggi. Universitas benar-benar menjadi eskalator sosial ekonomi masyarakat. Middle class Indonesia saat ini adalah lower class Indonesia pada masa lalu.
Masalahnya sekarang, eskalator ini tidak bisa lagi dinaiki semua orang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa naik eskalator tersebut karena biaya kuliah sekarang relatif mahal.
Mengapa bisa demikian?
Biaya pengelolaan universitas sangat mahal. Dahulu, misalnya, saya kuliah (di Universitas Gadjah Mada) biayanya sekitar Rp 98.000 satu semester. Padahal, biaya yang dikeluarkan universitas sekitar Rp 1,1 juta. Sisanya ditanggung negara lewat universitas. Sekarang tidak bisa lagi demikian karena anggaran pemerintah sangat terbatas, sedangkan jumlah mahasiswanya cenderung bertambah terus. Menurut saya tantangan terbesar saat ini adalah jika universitas di Indonesia bisa mengembalikan fungsinya sebagai eskalator sosial ekonomi. Akan sangat bagus.
Bagaimana dengan kondisi perguruan tinggi swasta?
Pengelolaan perguruan tinggi swasta juga tidak murah karena investasi awalnya sangat mahal. Perguruan tinggi swasta, misalnya, harus membeli tanah. Belum lagi pembangunan fasilitas lainnya. Itu bisa sedikit diatasi jika negara memberikan pinjaman tanah kepada perguruan tinggi swasta dengan jangka waktu 30-50 tahun, misalnya.
Apa bahayanya jika eskalator sosial ekonomi itu tidak berfungsi?
Dahulu, siapa pun bisa masuk universitas. Apakah dia kaya atau miskin, tidak menjadi masalah. Asalkan pintar, dia bisa masuk universitas. Sekarang, biaya kuliah di universitas sangat mahal. Jika demikian, apa yang akan terjadi? Saya khawatir, pada masa mendatang kelas menengah Indonesia berasal dari orang-orang kaya saat ini. Adapun kelompok masyarakat miskin akan tetap miskin atau bertambah miskin karena tak punya akses ke universitas. Saya terus terang, mengkhawatirkan itu.
Separah itukah kondisinya?
Begini, dulu dengan teman sepermainan sekampung, kami bersekolah di tempat yang sama. Mencari sekolah terdekat. Sekarang, orangtua dari keluarga kaya secara naluriah akan memilih sekolah terbaik untuk anak-anaknya walaupun lokasinya jauh. Secara tidak sadar, kita sudah membuat cluster untuk anak-anak kita. Di sekolah tidak ada lagi keberagaman. Saya khawatir, suatu saat kelak, masyarakat miskin akan dianggap kelompok berbeda oleh kelompok lain.
Artinya, persoalan ini harus segera diatasi?
Begini. Kalau persoalan pendidikan kita petakan secara umum, bagi lulusan SMA yang pintar dan kemampuan ekonomi keluarganya baik, tidak menjadi masalah. Mereka bebas memilih perguruan tinggi mana pun. Bagi anak-anak pintar, tetapi kemampuan ekonomi keluarganya pas-pasan, tersedia beasiswa walaupun jumlahnya terbatas. Bagi anak yang tidak begitu cerdas tetapi berasal dari keluarga kaya, juga bisa melanjutkan kuliah. Namun, bagi anak-anak yang tidak begitu cerdas, dan berasal dari keluarga miskin, siapa yang memerhatikan mereka? Inilah persoalan lain yang menjadi tantangan kita bersama.
Bagi saya pendidikan itu bukan education for all karena bisa representatif. Akan tetapi, education for everyone, pendidikan untuk setiap orang. Artinya, setiap orang dididik sesuai potensinya untuk posisi yang berbeda di kemudian hari.
Apakah semua orang harus naik eskalator tersebut untuk menaikkan kelas sosial ekonominya?
Saat ini, setiap tahun ada sekitar 2,26 juta lulusan SMA. Namun, daya tampung perguruan tinggi hanya sekitar 1,09 juta orang. Masih ada sekitar 1,1 juta lulusan SMA setiap tahun yang tidak terserap ke perguruan tinggi. Ini bisa menjadi persoalan serius di kemudian hari.
Jadi, apa yang harus dibenahi oleh perguruan tinggi untuk meningkatkan perannya?
Biaya mengelola universitas sangat mahal. Menurut saya, tantangan terbesar saat ini adalah jika universitas di Indonesia bisa mengembalikan fungsinya sebagai eskalator sosial ekonomi. Akan sangat bagus. Tetapi, biayanya sangat mahal. Sangat mahal!
Jika demikian, apa yang harus dilakukan?
Sudah saatnya perguruan tinggi melirik alumninya.
Saya melihat peran alumni belum dioptimalkan. Alumni pun tidak tahu apa yang dibutuhkan almamaternya. Sebagai contoh, biaya kuliah saya dulu Rp 98.000 satu semester. Artinya, kita cuma membayar 10 persen dari cost pendidikan mahasiswa, sedangkan yang 90 persen ditanggung universitas. Kita banyak mendapat manfaat dari perguruan tinggi, menikmati berbagai fasilitas, termasuk kita disejahterakan.
Jika kita meminjam ke bank Rp 100 juta, misalnya, sepuluh tahun kemudian kita mengembalikan pokok pinjaman dan bunga Rp 170 juta.
Kita pun sebenarnya ”meminjam modal” ke universitas. Karena itu, para alumni yang sudah lulus 20-30 tahun lalu, misalnya, seharusnya ”membayar balik” ke universitas atas segala ”pinjaman modal” berupa pengetahuan, fasilitas, dan sebagainya sehingga bisa hidup lebih baik saat ini.
”Membayar balik” ya…. bukan sumbangan. Karena sumbangan sepertinya belas kasih, padahal kita pinjam modal dan mestinya dikembalikan.
Apakah mungkin diaplikasikan?
Saya berkeyakinan, para alumni mau memberikan untuk almamaternya asalkan mekanismenya jelas, transparan, dan dikoordinasikan dengan baik. Saya khawatir, jika mekanisme ini tidak berjalan, universitas akan mengambil jalan pragmatis. Untuk menutup biaya pengelolaan universitas, seluruhnya dibebankan kepada mahasiswa baru. Itulah yang terjadi di sejumlah perguruan tinggi saat ini.
Bisakah terbayang, jika dulu biaya universitas yang Rp 1,1 juta per semester seluruhnya dibebankan kepada mahasiswa, berapa banyak mahasiswa yang bisa menikmati universitas?
Bagaimana dengan sistem subsidi silang?
Saya termasuk yang tidak begitu gembira dengan sistem subsidi silang. Apa haknya sehingga yang satu harus membiayai mahasiswa yang lain? Di Paramadina, misalnya, kami tidak menerapkan subsidi silang, tetapi menerima mahasiswa tanpa biaya. Siapa mereka? Mereka adalah tetangga kampung di sekitar kampus yang nilai sekolahnya baik, dan tidak harus luar biasa. Cukup baik saja. Selain itu, kami juga menerima mahasiswa gratis yang merupakan korban kekerasan. Yang menyeleksi Kontras (Komite untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan). Siapa orangnya, terserah Kontras. Tidak ada subsidi silang.
Bagaimana bisa terjadi tanpa subsidi silang?
Universitas itu, unit cost-nya kelas. Bukan per mahasiswa. Jadi kalau satu kelas kapasitasnya 30 mahasiswa dan ternyata hanya diisi 23 mahasiswa, maka ditambah lima mahasiswa lagi tidak akan berpengaruh terhadap biaya. Mengapa? Karena ruang kelas yang digunakan sama, listrik yang digunakan sama, dosen yang mengajar juga sama. Tidak ada penambahan biaya apa pun!
Kami melakukan evaluasi saat penerimaan mahasiswa per program studi. Dari hasil evaluasi itu ketemu program studi mana saja yang jumlah mahasiswanya kurang dan masih ada bangku kosong. Nah, bangku kosong itulah yang kami gratiskan. Apakah menambah biaya? Tidak! Justru bermanfaat bagi orang lain. Ini ibarat pesawat terbang. Mau penumpangnya 30 orang, atau 100 orang, cost-nya sama. Daripada kosong, kenapa tidak dimanfaatkan untuk orang lain?
Tadi dikatakan, universitas mempunyai visi sosial, tetapi perlu dikelola dengan manajemen bisnis. Bisa dijelaskan lebih konkret?
Misalnya begini. Kami menerima bantuan dari kalangan bisnis untuk beasiswa mahasiswa. Besarnya dulu Rp 100 juta, sekarang Rp 125 juta untuk seorang mahasiswa selama empat tahun sampai selesai. Uang diterima di muka, tetapi pengeluaran per semester, sedangkan untuk biaya hidup mahasiswa, pengeluarannya per bulan. Uang yang belum dipakai, kami kelola dan kembangkan. Pada akhir tahun keempat, uang yang Rp 125 juta itu habis terpakai, tetapi dari uang itu setelah kami kelola bisa menghasilkan tambahan sekitar Rp 30 juta-Rp 40 juta. Dana itu kami simpan dan dijadikan dana abadi.
Kalau ada donor yang mau memberikan beasiswa, kami selalu tekankan, jangan memberikan beasiswa untuk tujuh anak per tahun. Akan tetapi satu anak untuk tujuh tahun.
Jika memberikan per tahun, bagaimana jika di tengah jalan perusahaan tersebut menghadapi masalah? Jika memberikan beasiswa untuk empat tahun, mahasiswa terjamin sampai kuliahnya selesai. Jadi, kalkulasi bisnisnya beda. Kalangan bisnisnya pun senang dengan skema ini karena semangatnya sosial, tetapi pengelolaannya bisnis.
Pengelolaan secara manajemen bisnis, apakah menjamin biaya kuliah bisa menjadi murah?
Begini, kalau kita cermati, pemilihan rektor saat ini harus seorang akademisi. Padahal, kalau sudah terpilih, ia harus menjalankan manajerial universitas yang sangat rumit. Ia harus mengerti konsep pembiayaan. Di sejumlah negara, rektor merupakan simbol akademisi yang tidak terlibat keuangan. Di Amerika Serikat, pencarian rektor dilakukan secara terbuka, seperti mencari CEO perusahaan
Kita memilih dua model, tetapi enggan mengambil konsekuensinya. Tugas rektor menjadi sangat berat, rektor menjadi simbol akademisi sekaligus manajer universitas yang harus mengerti konsep pembiayaan.
Karena pemahaman tentang konsep pembiayaan terbatas, ketika kucuran dana dari pemerintah mengecil, langsung dicari sumber dana baru yang instan. Selain dari uang masuk mahasiswa baru, juga membuka unit usaha lain, seperti pompa bensin, yang justru menambah beban universitas.
Apakah salah menaikkan uang kuliah mahasiswa baru?
Jika pandangannya seperti itu, berarti kita melihat mahasiswa sebagai konsumen jasa pendidikan. Padahal, fungsi universitas adalah eskalator sosial ekonomi. Bukan penjual jasa pendidikan.
Jadi, bagaimana perguruan tinggi mencari sumber dana?
Sudah saatnya orang-orang dengan latar belakang finansial manajemen masuk ke perguruan tinggi. Universitas membutuhkan biaya yang tidak murah sehingga institusi bervisi sosial bisa dikelola dengan manajemen bisnis.
Banyak, kok, alumni perguruan tinggi yang hebat. Tinggal diberdayakan saja. Alumninya juga pasti senang membantu almamaternya. Masih sangat banyak orang baik di negeri ini.
Penulis: MYRNA RATNA DAN TRY HARIJONO
Sumber: Kompas-Ekstra, Edisi Mei – Juni 2011