Akib Ibrahim; Kepala Sekolah Pertanian Unggulan

- Editor

Jumat, 4 Mei 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pertanian melekat dalam keseharian Akib Ibrahim, Kepala SMKN 1 Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang memang anak petani. Ia memilih jadi pendidik di sekolah menengah pertanian karena meyakini pertanian harus bangkit untuk menyelamatkan masa depan Indonesia.

Kegigihan Akib untuk memajukan sekolah menengah pertanian membuahkan hasil. Bermula hanya dari kelas jauh, Akib bersama guru sukarelawan yang digandengnya berhasil mengubah sekolah yang menumpang di lahan masyarakat menjadi salah satu sekolah menengah kejuruan (SMK) pertanian terbaik di negeri ini.

Awalnya, SMKN 1 Pacet merupakan kelas jauh dari SMKN 3 Cianjur yang dibuka di sentra-sentra pertanian pada tahun 2003. Tujuannya, meningkatkan minat anak-anak muda untuk melanjutkan ke SMK pertanian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dengan penuh semangat, Akib mengembangkan kelas jauh ini. Ketiadaan ruang belajar tak membuat Akib kehilangan akal untuk menyelenggarakan proses belajar-mengajar.

Akib mendapat dukungan dari kenalannya, Endang Ibin alias Abah Ibin, salah satu tokoh pertanian di Cianjur. Para siswa pun belajar di lahan Abah Ibin. Ada juga yang belajar di lahan kosong Villa Aquila. Masyarakat menyebut sekolah yang belajar menumpang di lahan kosong tersebut ”sekolah lapang”.

Kelas jauh ini yang dipimpin Akib terus berkembang menjadi SMKN 5 Cianjur. Siswa sekolah yang kemudian menjadi SMKN 1 Pacet ini, yang awalnya berjumlah 58 orang, kini mencapai 1.200 orang. SMKN 1 Pacet juga memiliki hotel untuk program keahlian pariwisata. Program ini untuk mendukung pariwisata yang memanfaatkan pertanian.

Sekolah memperkenalkan pertanian modern hidroponik. Produk tanaman hidroponik karya siswa, seperti paprika hijau, merah dan kuning, tomat ceri, terung, serta beragam tanaman hias, diminati supermarket modern. Sekolah juga menggandeng petani sekitar untuk bekerja sama memenuhi permintaan pasar modern.

”Saya hanya ingin berbuat yang terbaik. Jika SMK kecil dinilai bisa menjadi sekolah unggulan, saya berharap ini bisa menjadi inspirasi untuk model pengembangan pendidikan,” ujar penerima penghargaan Satya Lencana Kepala Sekolah Berprestasi Tingkat Nasional 2011 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Mengurus kebun

Selepas program D-3 Institut Pertanian Bogor, Akib menjalani ikatan dinas sebagai guru di Sekolah Menengah Teknologi Pertanian di Sitiung, Sumatera Barat (1987-1993). Berada di daerah terpencil, Akib tidak pernah berkesempatan ikut pendidikan dan pelatihan guru. Akib sempat mencoba melanjutkan kuliah. Sebenarnya, Akib diterima di dua perguruan tinggi negeri berbeda, tetapi Dinas Pendidikan Sumatera Barat tidak mengizinkan.

Akhirnya Akib mendapat kesempatan saat ditugaskan mengajar di SMTP di Cianjur tahun 1993. ”Di situlah saya baru merasakan dunia luar. Baru tahu ada penataran guru. Penataran biasanya hanya untuk guru senior,” katanya.

Akib memilih menjadi pengurus lahan orang lain untuk menambah penghasilan gaji gurunya yang tidak memadai. Dia bekerja di kebun orang seluas 30 hektar untuk mengurus tanaman durian.

”Saya keluar rumah pukul 05.30 untuk mengurus kebun. Pukul 08.00 baru ke sekolah. Dari sekolah ke kebun lain lagi. Dari cara seperti inilah, saya mendapatkan uang. Alhamdulillah, rezeki ada sepanjang kita mau berbuat,” katanya.

Kesetiaan Akib menjadi guru pertanian membuat dia diberi tanggung jawab mengelola kelas jauh pertanian. Dia pun merekrut guru honorer, mulai dari pemuda pengangguran hingga ustaz. ”Sempat kesulitan dana. Untuk gaji guru honorer, sering saya pakai uang sendiri,” kenangnya.

Akib tak menyerah memajukan sekolah yang dipercayakan kepadanya. ”Saya besarkan hati anak-anak supaya tetap semangat belajar meskipun fasilitas tidak ada. Asal punya semangat dan kebersamaan, pasti punya masa depan,” kata Akib.

Perjuangan Akib membuahkan hasil. Kelas jauhnya yang kemudian menjadi SMKN 5 Cianjur mendapat bantuan senilai Rp 250 juta untuk membangun ruang kelas. Tetapi, saat itu, guru sudah tiga bulan tidak digaji. Komite menyepakati, dana senilai Rp 50 juta untuk menalangi gaji guru. Selebihnya untuk pembangunan sekolah.

Semula tak diperhitungkan

Sekolah lapang, yang awalnya sempat tidak diperhitungkan, perlahan menunjukkan prestasi. Ketika sekolah ini ikut lomba keterampilan siswa SMK tahun 2005, siswa keahlian peternakan meraih juara satu tingkat Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat. Sekolah pun mulai dilirik pemerintah setempat.

Akib sempat dicibir ketika mendaftarkan sekolahnya ikut rintisan sekolah rintisan sekolah bertaraf internasional. Saat itu siswanya masih sedikit dan sarana prasarana sekolah belum lengkap. ”Saya bukan mencari gengsi dan dana, tetapi semata-mata supaya pertanian punya daya saing internasional,” ujar Akib.

Dia mendapat kesempatan berkunjung ke Filipina untuk belajar soal pertanian dan membangun kemitraan sekolah dengan Jepang dan Kanada. ”Saya mempelajari bagaimana kunci sukses pendidikan di negara orang, semisal Jepang, bisa maju. Lalu, saya terapkan dalam hal disiplin, tepat waktu, dan karakter lain yang dibutuhkan untuk anak- anak sukses dalam pendidikan di sekolah,” paparnya.

Hasilnya, lulusan SMKN 1 Pacet selalu masuk dalam program magang pertanian ke Jepang.

Keberhasilan Akib mengantarkan SMKN 1 Pacet membuat sekolah yang tak ”dilirik” ini menjadi pusat pelatihan bagi sekolah lain ataupun masyarakat. Mereka mencontoh pengembangan sekolah dalam berbagai hal, termasuk kewirausahaan. Para guru pun menjadi narasumber di berbagai provinsi.

Akib bertekad mengembangkan pendidikan pertanian. ”Saya sedih, di Indonesia ada ahli pertanian, tetapi pasar dibanjiri produk pertanian dari luar negeri. Padahal, kalau ditekuni, pertanian menghasilkan keuntungan yang besar,” katanya. (Oleh Ester Lience Napitupulu)

Sumber: Kompas, 4 Mei 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB