Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

- Editor

Selasa, 16 Desember 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Berada di antara tumpukan sampah dan ribuan lalat serta belatung, bagi banyak orang jadi hal yang menjijikkan. Namun, Prof Agus Pakpahan (58) justru menikmatinya. Ia bahkan menjadi komandan bagi ribuan lalat dan belatung untuk mengurai sampah organik.


Kesibukan Agus berkutat dengan sampah, lalat, dan belatung dimulai pada 2010. Ketika itu, ia merayakan ulang tahunnya yang ke-54. Ia mendapat kado dari anak-anaknya berupa buku berjudul IQ and the Wealth of Nation karya Dr Richar Lynn dan Dr Tattu Vanhanen.

Buku terbitan tahun 2002 itu membahas tentang rata-rata kecerdasan intelegensi (intelligence quotient/IQ) manusia dalam sebuah negara. Hasilnya, peringkat pertama diduduki Tiongkok dengan rata-rata IQ masyarakat 170.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam buku tersebut, IQ masyarakat Indonesia hanya sekitar 85 sampai 90. Angka tersebut setara dengan IQ rata-rata masyarakat Albania, Peru, dan Suriname.

”Saya gemas melihat angka tersebut. Kenapa IQ rata-rata masyarakat Indonesia rendah? Kita kalah dari Eropa, Tiongkok, dan Jepang,” ujar Agus.

Mantan Direktur Jenderal Perkebunan yang menjabat di era Presiden BJ Habibie hingga Megawati Soekarnoputri ini jadi geram. Ini melecut semangatnya mencari penyebab rendahnya IQ masyarakat Indonesia. Ternyata, rendahnya IQ masyarakat Indonesia turut dipengaruhi oleh rendahnya tingkat konsumsi protein masyarakat Indonesia.

Dari sejumlah literatur yang ia baca, masyarakat Indonesia mengonsumsi 13,45 gram protein hewani per kapita per tahun. Jumlah tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang IQ rata-rata 100.

”Masyarakat Eropa dalam sehari rata-rata mengonsumsi 66,7 gram protein per kapita per hari. Itu artinya dalam setahun mereka mengonsumsi 24.012 gram protein, 1.810 kali lebih banyak daripada orang Indonesia,” ujar Profesor Riset Ekonomi Pertanian yang berharap bangsa ini bisa menjadi bangsa yang cerdas.

Agus lantas mencari tahu sumber protein apa yang biasa dikonsumsi masyarakat. Ternyata ikan dan telur ayam merupakan sumber protein yang paling kerap dikonsumsi masyarakat Indonesia.

Sayangnya, harga ikan dan ayam setiap tahun terus meningkat seiring dengan semakin mahalnya pakan ternak. Padahal, pakan ikan dan ayam menghabiskan 60 persen hingga 70 persen biaya produksi.

Alumni Fakultas Ekonomi Pertanian Michigan State University itu terus memeras otak untuk mencari sumber protein baru bagi pakan ikan. Tentunya yang murah dan mengandung protein tinggi.

”Kalau ingin kadar protein pada ikan tinggi, ikan yang akan kita konsumsi juga harus mendapat asupan protein yang tinggi,” ujarnya.

Agus PakpahanBuku demi buku ia baca, lembar demi lembar ia lalap habis. Eureka! ”Serangga ternyata mengandung protein yang cukup tinggi. Saya tinggal mencari serangga apa yang mudah dikembangbiakkan, cenderung bersih, dan layak dikonsumsi ternak serta bisa diterima di masyarakat. Jatuhlah pilihan saya pada lalat tentara hitam (Hermetia illucens),” kata Agus.

Pupa (fase puasa larva) lalat tentara hitam terbukti memiliki kandungan protein 45 persen dan lemak 35 persen. Pupa tersebut ternyata sangat digemari ikan dan ayam. Berkat pupa, Agus bisa menekan biaya pakan ternak 30 hingga 50 persen.

Bagi Agus, mengembangbiakkan lalat tentara hitam agar menghasilkan pupa yang berkualitas sangat mudah. Ia hanya membutuhkan sampah organik dari sisa rumah tangga untuk ”memberi makan” pasukan lalat miliknya.

Tak perlu takut dengan sampah yang kotor dan identik dengan kuman. Larva (maggot) lalat tentara hitam dapat memerangi populasi bakteri jahat, misalnya salmonella dan coli, serta mampu mengolah limbah organik dengan sangat cepat.

Lalat tentara hitam merupakan jenis serangga keluarga lalat yang jauh beda dengan lalat sampah (Musca domestica) pada umumnya. Serangga ini memiliki sifat yang tak dimiliki lalat lain. Tahap lalat dewasa bersayap dilalui tanpa bagian mulut, itulah alasan utama mengapa lalat-lalat itu tak dikaitkan dengan penularan penyakit kepada manusia.

Kemampuan lalat tentara hitam mengurai sampah tak perlu diragukan lagi. Setiap lalat rata-rata menghasilkan 500 larva dalam satu siklus hidupnya. Apabila ada 20 ekor, nantinya akan ada 10.000 larva.

Dalam satu hari, 10.000 larva mampu mengurai 1 kilogram sampah rumah tangga (sisa makanan) dan menyisakan 200 gram sampah terurai yang biasa disebut bekas maggot (kasgot). Kasgot dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Sementara itu, larva yang baru saja menyelesaikan tugas mengurai sampah, dalam tiga hari akan bermetamorfosis menjadi pupa (fase puasa). Pupa dengan kandungan protein tinggi inilah yang dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan.

”Dengan begitu, jumlah tumpukan sampah berkurang. Saya juga bisa mendapat pupuk organik dan pakan ternak tanpa perlu membeli. Semua itu didapat dengan ’memberi makan’ maggot lalat tentara hitam,” ujarnya dengan mata berbinar dan senyum merekah.

Saat ini, Agus telah mengembangkan budidaya lalat tentara hitam di beberapa tempat. Tempat budidaya terbesarnya dan pertama miliknya ada di tanah kelahirannya, Sumedang, Jawa Barat.

Sejak Mei 2014, ia juga mengembangkan budidaya di perusahaan gula PT Gunung Madu Plantation di Lampung Tengah. Di pabrik gula tertua di Lampung itu, lalat tentara hitam mendapat ”misi berperang” mengurai sisa endapan hasil pengolahan tebu (blotong).

Hasilnya, pasukan lalat tentara hitam bisa mengurai dan menekan blotong hingga 10 persen. Jadi, jika ada 10 kilogram blotong, akan dihasilkan 9 kilogram pupuk organik dari blotong.

”Pupuk hasil penguraian larva lalat tentara hitam ternyata membawa dampak positif bagi perkebunan kami. Lapisan olah yang semula memiliki ketebalan 10 cm kini bertambah menjadi 14 cm, kadar nitrogen dalam tanah juga meningkat 37,6 persen dari semula berkadar 0,9 kini menjadi 1,2,” kata Gunamarwan, Manajer Umum, Bisnis, dan Keuangan PT Gunung Madu Plantations.

Agus dan Gunamarwan berharap, biokonversi sampah menggunakan lalat tentara hitam bisa menular secara luas, baik di permukiman warga maupun di perusahaan perkebunan.
—————————————————————————
Agus Pakpahan
? Lahir: Sumedang, 29 Januari 1956
? Istri: Nadina Abdul Hadi
? Anak:
– Angga Prasetya
– Meriani Karina
– Andia Nugraha
– Abinendro
? Pendidikan:
– Strata I Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
– Strata II Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor
– Strata III Ekonomi Pertanian Michigan State University
? Pengalaman:
– Kepala Biro Kelautan Kedirgantaraan Lingkungan Hidup dan Iptek Bappenas
– Dirjen Perkebunan (era Presiden Habibie hingga Megawati)
– Deputi Argo Industri Kementerian BUMN
– Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (2010 hingga sekarang).

Oleh: Angger Putranto

Sumber: Kompas, 16 Desember 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan
Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah
Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik
Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian
Lestari Nurhajati, Perempuan Indonesia Peneliti Demokrasi di Nepal-Afganistan
Maria Yosephina Melinda GamparTotalitas Melayani Pasien
Endang Setyowati; Kepala Sekolah yang Gemar ”Nongkrong”
Maidi; Penangkar Anggrek Hutan
Berita ini 28 kali dibaca

Informasi terkait

Jumat, 26 Desember 2014 - 09:24 WIB

Sudirman; Membebaskan Dusun dari Kegelapan

Jumat, 19 Desember 2014 - 07:11 WIB

Safwan Menghidupkan Perpustakaan Daerah

Selasa, 16 Desember 2014 - 05:51 WIB

Agus Pakpahan; ”Komandan” Lalat Ingin Bangsa Ini Cerdas

Selasa, 9 Desember 2014 - 07:26 WIB

Basu Swastha Dharmmesta; Profesor yang Jatuh Cinta pada Batik

Senin, 8 Desember 2014 - 07:27 WIB

Mohammad Ali; Dari Mangrove Menuju Kemandirian

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB