Terence Hull: Wajah Indonesia dalam Angka

- Editor

Senin, 16 April 2012

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kendati putus-sambung, hubungan Terrence “Terry” Hull dengan Indonesia erat terjalin hingga kini, sekitar empat dekade. Semuanya berawal pada 1968, saat dia mempelajari negara-negara kepulauan Asia Tenggara di Universitas Hawaii. Pada1972 dia datang ke Indonesia untuk pertama kalinya guna menggarap penelitian bagi tesisnya. Antara 1975 dan 1979, peneliti asal Australia tersebut membantu Profesor Masri Singarimbun, Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sosiolog dan ahli demografi berusia 65 tahun ini adalah profesor yang disegani di Australian National University. Bersama istrinya, Valerie, Terry giat mendampingi Masri menggarap sejumlah proyek penelitian yang berhubungan dengan Keluarga Berencana, ibu menyusui, intertilitas, dan tren demografi di Indonesia. Dia juga sempat mengajar beberapa tahun di Universitas Indonesia, Jakarta, sebagai dosen tamu.

Kekuatan Terrence Hull sebagai peneliti kependudukan melibatkan dia secara aktif dalam sejumlah proyek nasional cacah jiwa Indonesia. Dari enam sensus yang pernah dilangsungkan, dia ikut membantu empat cacah jiwa terakhir. “Saya bangga, selama 40 tahun bisa ikut dalam analisa perubahan sosial yang revolusioner,” ujar Terry. Program imunisasi dia sebut sebagai “revolusi mortalitas”, dengan hasil luar biasa: tingkat kematian anak-anak terjun bebas melalui keberhasilan imunisasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Cacah jiwa Indonesia pada 2010, menurut Terry, memberi kejutan amat menarik. Yakni perubahan dalam pola perkawinan di Indonesia. “Untuk pertama kalinya kami menemukan tren usia menikah di Indonesia menjadi lebih muda,” ujarnya. “Ini perubahan sosial yang amat menarik,” dia menambahkan. Pemerintah Indonesia mempercayainya sebagai satu dari lima penasihat utama pada sensus 2010.

Selama menjadi peneliti di negeri ini, Terry tinggal sampai berbulan-bulan di berbagai wilayah pelosok Indonesia. Bahasa Indonesianya yang sempurna nyaris tanpa aksen adalah modal utamanya berkomunikasi dengan penduduk.

Tiga pekan lalu, Vice President ASEAN Population Association ini mampir ke Jakarta selama sepekan. Di sela jadwal kerjanya yang padat, sang Profesor menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Ririn Agustia, serta juru foto Aditia Noviansyah untuk satu wawancara khusus.

Berikut ini petikannya.
Apakah ada temuan besar dari sensus penduduk Indonesia terbaru?
Ya, pola perkawinan. Ada perubahan amat besar yang baru saya lihat pada sensus kali ini. Selama hampir 100 tahun terakhir, ada usaha, terutama dari kalangan wanita, untuk mengubah pola perkawinan. Pola perjodohan beralih menjadi memilih pasangan sendiri. Perubahan pola di atas membuat usia orang menikah terus meningkat di daerah perkotaan dan pedesaan. Tadinya 21 menjadi 22 dan 23. Baru pada sensus 2010, umur menikah menurun menjadi lebih muda.

Belum pernahkah hal ini ditemukan dalam lima sensus terdahulu?
Kami baru melihat fakta ini pada sensus 2010. Saya terkejut karena saya ikut sensus dari permulaan. Nah, di sensus kan ada data agama. Di beberapa provinsi, antara lain Jawa Timur, umur pernikahan penduduk beragama Islam menurun. Ini perubahan sosial amat menarik.

Mengapa?
Dalam demografi, kita selalu melihat angka. Tapi, sebagai sosiolog, saya mengobrol dengan banyak orang setelah melihat perubahan tren usia menikah pada sensus terakhir. Masyarakat umumnya selalu senang mengobrol mengenai harapan. Misalnya, “Wah, saya harap perkawinan itu begini.” (Dari situ) saya melihat ada perubahan yang muncul di masyarakat tentang perkawinan.

Pemicu perubahan tersebut apa saja?
Family-centeredness menjadi isu luar biasa penting, dan diutamakan. Pada 20 tahun yang lalu, kalau saya bicara dengan wanita, mereka akan bicara mengenai harapan punya pekerjaan ini-itu. Soal punya suami, kata mereka: “Ya terserah, kalau ketemu yang cocok.” Tapi sekarang mereka dijodohkan oleh teman-teman kelompok agama peer group-nya. Di sini (di Indonesia), bujangan kan selalu disalahkan.

Disalahkan bagaimana?
Tidak boleh berhubungan seks, tidak boleh ini-itu, tidak boleh ambil pelayanan KB. Padahal ini orang sudah pada umur dewasa, sudah bayar pajak, sudah ada hak pilih, tapi tidak boleh meminta kondom ke BKKBN. Kok seperti bukan warga negara. Padahal pemerintah ikut perjanjian internasional Kairo mengenai hak asasi reproduksi (pada 1994).
***
Bisa berikan tonggak terpenting dari pemetaan penduduk Indonesia melalui sensus yang pernah Anda ikuti?
Selama 40 tahun (terlibat dalam sensus di Indonesia, setiap 10 tahun sekali), saya bangga bisa ikut dalam analisa perubahan sosial yang boleh dikatakan revolusioner. Revolusi demografi yaitu menurunnya tingkat fertilitas dari tinggi ke sedang, mortalitas sudah menurun dari tahun 20-30 dan turun dengan pelan. Imunisasi adalah revolusi mortalitas luar biasa (di Indonesia).

Ya, revolusi fertilitas membuat jumlah pengguna KB Indonesia naik hingga 60 persen dari yang tadinya hanya 10 persen….
Itu berarti 50 persen wanita yang dulu tidak pakai KB sekarang menggunakannya. Indonesia di zaman Haryono Suyono (menjadi Ketua BKKBN), itu (fasilitas KB) dijamin ada. Sekarang pilihannya terbatas. Ada banyak faktor, salah satunya (yang penting) adalah otonomi daerah. Jadi, amat bergantung pada pimpinan daerah itu kasih prioritas atau tidak pada KB. Kalau tidak, wanita akan menderita.Tapi ada faktor aneh: revolusi itu sudah keluar dari rel. Sekarang pilihan (alat KB) terbatas. Proporsi wanita yang menggunakan metode kontrasepsi selain suntik semua menurun.

Kok hanya suntik yang naik?
Karena faktor bidan yang sekarang tidak lagi mendapat kedudukan sebagai PTT (pegawai tidak tetap). Mereka menjadi swasta setelah kontrak habis. Mereka menjual suntikan dan mendapat untung dari situ. Pelayanan suntik sekarang paling laku karena dari menjual kondom dan pil tidak dapat untung Mereka juga tidak terlatih memakai implan. Akibatnya, wanita sekarang banyak yang memakai metode yang tidak pas dengan umur dan jumlah anak. Padahal metode harus selalu disesuaikan dengan keadaan, keinginan, dan pengalaman ibu.

Apakah program Keluarga Berencana sebaiknya kembali ke cara sentralisasi?
Otonomi daerah bukan masalah pokok dalam hal ini, tetapi pertentangan antara pusat dan daerah itu yang jadi masalah. Jadi, bukan karena daerah punya kekuatan atau pusat yang lebih berkuasa, tapi lebih pada mereka tidak sadar akan kepentingan masyarakat dalam kegiatan Keluarga Berencana.

Seberapa besar peran demografi terhadap pengambilan kebijakan pemerintah?
Demografi adalah ilmu paling penting dalam sebuah pembangunan, dalam demokrasi. Demografi dan demokrasi itu sama, dari kata demos: rakyat. Kita bisa tahu siapa kita, dan kita bisa tahu proses regenerasi melalui demografi. Pengetahuan demografi yang mendalam membuat kita bisa mengembangkan pikiran mengenai apa arti masyarakat, kewarganegaraan, keanggotaan. Dengan demografi, kita bisa tahu apa nasib seluruh warga Indonesia dan tidak terbatas pada kelompok tertentu.

Adakah kaitan hasil sensus 2010 dengan politik, terutama pada jumlah pemilih 2014?
Saya melihat sensus 2010 sebagai sensus terbaik dalam sejarah Indonesia. Sejak merdeka, negara ini sudah melakukan enam kali sensus, setiap 10 tahun.

Terbaik dalam aspek apa saja?
Jangkauan pada penduduk; proporsi penduduk yang di-interview; anggaran untuk Papua naik sehingga (sensus bisa mencapai) daerah-daerah pelosok; jangkauan di Indonesia timur cukup bagus. Tapi tantangannya juga berat. Misalnya, 50 pertanyaan dalam kuesioner bukan jenis yang gampang untuk ukuran sensus, apalagi untuk pewawancara yang hanya dilatih tiga hari (sebelum ke lapangan). Dalam sensus terdahulu (tahun 2000), ada 9 juta penduduk tidak tercatat.

Siapa saja mereka?
TKI (tenaga kerja Indonesia) susah dicatat, begitu pula yang di apartemen. Tapi sensus kali ini memakai pendekatan teknologi canggih, yaitu SMS. Ada 700 ribu interviewer yang disyaratka harus punya telepon genggam (HP). Mereka pakai HP untuk mengatur, memberitahukan, kalau ada masalah. Teknologi berperan amat penting dalam sensus 2010.

Apa perbaikan signifikan dalam kualitas data penduduk Indonesia dari sensus 2010?
Umur! Sekarang Indonesia sudah mendapat ukuran umur yang memenuhi syarat PBB. Laporan mengenai umur di Indonesia sudah dianggap baik, 40 tahun lalu dianggap jelek. Sebab, waktu itu penduduk tidak tahu umur mereka karena buta huruf. Itu berarti tingkat pendidikan untuk orang tua sekarang makin lama makin tinggi.

Tapi Indonesia akan punya masalah dengan aging population karena sekitar 10 persen orang Indonesia akan segera mencapai umur 60 tahun….
Orang tua sekarang jauh lebih berpendidikan, lebih berpengalaman dibanding 40 tahun lalu. Jadi, mutu orang tua (Indonesia) naik, kenapa kita tidak memperhatikan itu? Memang orang tua gampang mendapat penyakit, harus mendapat bantuan kesehatan, dan lain-lain. Tapi mudah-mudahan, dengan bantuan asuransi kesehatan, sekarang bisa lebih efisien.

Anda juga membuat penelitian dan menulis buku tentang prostitusi di Indonesia beberapa tahun lalu. Apa perubahan terbaru yang Anda lihat?
Harus saya tegaskan, buku maupun penelitian tentang prostitusi di Indonesia bukan hasil kerja saya sendiri, melainkan bersama beberapa rekan peneliti lain. Saya terkejut melihat perkembangan bisnis seks di Jakarta.

Kenapa?
Wanita-wanita (pekerja seks) dari mainland China ada di apartemen-apartemen di Glodok. Industri seks, saya tidak tahu batasnya apa–tapi, seperti halnya makanan, ada kelas elite, ada kelas pinggir jalan. Dalam budaya Indonesia, eksploitasi wanita (umumnya) terjadi di pabrik, di kantor. Ada peran agama untuk menjamin keselamatan wanita. Misalnya, wanita memakai jilbab bisa untuk menjaga diri. Tapi kita harus membedakan agama sebagai kepercayaan dan kelompok sosial.

Apa penelitian terkini yang sedang Anda kerjakan?
Kematian anak-anak (infant mortality) dan revitalisasi Keluarga Berencana.

Sumber: Koran Tempo, 15 April 2012

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat
Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi
Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan
Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona
Buat Internet Lebih Aman bagi Anak
Mengingat Kembali Teori “Inovasi yang Mengganggu”
Belajar Bertransformasi dari L’Oreal
Pilih Muda atau Tua?
Berita ini 18 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 20 Juli 2021 - 16:06 WIB

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat

Senin, 19 April 2021 - 17:09 WIB

Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi

Kamis, 2 Juli 2020 - 15:35 WIB

Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan

Rabu, 15 April 2020 - 12:15 WIB

Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona

Jumat, 13 Maret 2020 - 12:01 WIB

Buat Internet Lebih Aman bagi Anak

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB