Ko King Tjoen (80) menyebut dirinya sebagai manusia “aneh”. Menyandang gelar dokter spesialis kulit dan kelamin, Dokter Ko justru dikenal sebagai perintis ilmu speleologi dan karstologi di Indonesia. Praktik sebagai dokter seiring sejalan dengan upaya pelestarian kawasan karst.
Hingga kini, Dokter Ko masih praktik di Bogor, Jawa Barat, dengan pasien yang selalu mengular. Buku pedoman penyakit kulit ejaan lama yang ditulisnya pada 1969 pun masih menjadi buku pegangan mahasiswa kedokteran. Selain turut mendirikan PADVI (sekarang dikenal sebagai Perdoski), ia juga memperdalam hipnoterapi.
Di kamar tidurnya yang sesak oleh buku, Dokter Ko menunjukkan dinding yang penuh piagam penghargaan. Ia mencatat ada lebih dari 62 piagam dan sertifikat dari berbagai instansi. “Justru malah enggak ada, ya, piagam sebagai dokter kulitnya,” kata Dokter Ko sembari tertawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada 2014, ia memperoleh penghargaan Satya Lencana Pembangunan dari Presiden. Seabrek penghargaan lain juga diraih, seperti pionir di bidang ilmu karst dan goa dari American Biographical Institute. Menjadi orang pertama yang mempelajari ilmu “asing” tentang goa serta karst, ia terbeban membagikannya.
Dokter Ko mempelajari beragam ilmu terkait goa dan karst, seperti geologi, geomorfologi, sedimentologi, biospeleologi, arkeologi, paleontologi, vegetasi karst, hidrologi karst, ekosistem karst, konservasi karst, dan pariwisata goa, di Universitas Western Kentucky, Amerika Serikat; British Cave Research Association, Inggris; dan Moulis Underground Laboratory CNRS, Perancis.
Karst merupakan hamparan formasi batuan karbonat-sering disebut batu gamping yang terlarutkan oleh air membentuk celah yang meluluskan air ke bawah tanah. Aneka bahan padat, seperti lumpur, akan memasuki celah dan terjadi pelebaran hingga terjadi lorong, bahkan ruang goa yang besar. Karstologi meliputi studi bentukan alam karst, sedangkan speleologi lebih mempelajari tentang goa.
Gelap abadi
Kecintaan pada goa dimulai sejak masuk Goa Sripit di Trenggalek, Jawa Timur, pada 1973. Ia terpukau pada keindahan goa, lalu berpikir apa yang harus dilakukan selanjutnya. Ia menekankan bahwa goa dan lingkungannya memiliki nilai ilmiah sehingga harus dipelajari demi pelestarian. Dari 1983 hingga kini, ia menjadi delegasi nasional Indonesia untuk Union Internationale de Speleologie (UIS). Dari tangannya, lahir 186 buku tentang goa dan karst.
Setiap kali memasuki goa, Dokter Ko memiliki ritual unik yang sampai sekarang diikuti oleh penerus penelusur goa, seperti ketika dia mengajak anak-anak sekolah dasar untuk menjelajah goa. Di tempat yang aman dengan permukaan datar, ia segera menunjukkan keabnormalan goa bawah tanah dengan mengajak mereka mematikan cahaya. Satu menit dalam gelap abadi, anak-anak mendengar keheningan alam.
“Kalian di dalam goa, enggak tahu jalan keluar. Tapi, di sini penuh kehidupan. Kelelawar keluar pada malam hari dan kembali pulang kala subuh tanpa tubrukan. Tanpa rebutan kapling. Manusia mangsa-memangsa, What is man in comparation to them. Hai manusia jangan sombong. Masih harus belajar banyak dari alam. Begitu mencekam peristiwa gelap abadi itu,” kata Dokter Ko diiringi tangis haru.
dr Robby Ko King Tjoen–KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Kesukaannya masuk goa memang terbatasi oleh stroke yang menyerangnya pada 2014. Kala itu, ia masuk goa di Sukolilo, Jawa Tengah, tetapi lupa minum pil tekanan darah tinggi. Meski kini memakai alat bantu tongkat, semangatnya ketika berbicara tentang perlindungan alam menggebu-gebu dengan ingatan segar.
“Banyak dokter yang penasaran. Kan, enak praktik saja, kan, dapat duit. Kok, mau bersusah-susah? Ilmuwan juga tanya, kenapa ngacak ilmu kita? Enggak ada kerjaan? Saya spesialis kulit manusia, bukankah karst itu juga kulit bumi? Saya suka keluyuran keluar masuk goa, sebagai ahli kulit, saya ngobatin orang yang salah masuk goa,” ujar Dokter Ko.
Apa pentingnya mempelajari tentang goa?
Saya melakukan ini karena keingintahuan. Alam adalah guru kehidupan. Saya punya banyak hobi yang saya tinggalkan karena jadi beban. Tapi, masuk goa bukan beban, justru kewajiban. Karst dan goa sudah dikenal sejak abad ke-18 oleh negara maju, tapi diremehkan oleh ilmuwan dan birokrat Indonesia.
Emil Salim bilang, tolong mendata goa. Apa artinya mendata goa, goa itu suatu sistem bukan suatu fenomena setempat. Goa itu sarana aliran air masuk. Harus mempelajari secara menyeluruh. Makin mendalam, makin saya tidak lepas. Kalau sudah kuasai satu bagian, ada bagian lain yang menunggu didalami.
Alam begitu complicated. Metodenya mempelajari bagian per bagian. Kalau sudah menguasai satu bagian, jangan membanggakan diri sudah mengenal alam. Permasalahan besar, seperti alam dan kesehatan, wajib didekati secara holistik, multi, dan interdisiplin. Tidak sepenggal-sepenggal.
Memasuki goa, ibarat siap membaca buku tebal. Setiap langkah dalam goa identik dengan membuka halaman, berisi data tentang kehidupan binatang dalam lingkungan gelap abadi, aneka kristal mineral kalsit yang membentuk dekorasi indah, tetesan air rembesan dari permukaan tanah, peradaban masa lampau, melalui artefak arkeologi-paleontologi, pencemaran lingkungan di atas tanah, vegetasi dan iklim masa kini dan masa lampau.
Menelikung Ilmu
Kenapa tertarik pada perlindungan terhadap kawasan karst ?
Saya tertarik dengan ungkapan: I am the forest and the forest in me. Saya berusaha mencari padanan katanya dalam bahasa Jawa dan menemukan, open, ngopeni. Banyak orang open atau peduli, tapi tidak ngopeni alias memelihara. Open itu sekadar empati. Ngopeni itu tindakan. Nomor satu yang harus ditanamkan dalam pendidikan adalah to make aware.
Pertama kali dibangunkan oleh John MacKinnon, Ketua WWF Indonesia pada 1983. Dia berpesan, “If you do nothing about Indonesian karst and caves, they will soon be destroyed and lost forever.” Saya janji secara spontan, tidak menyesal hingga kini, bahwa saya akan berusaha secara maksimal karena merasa malu.
Orang asing begitu perhatian, begitu kasih sayang dengan alam cantik yang disebut orang Belanda, De Gordel Van Smaragd, sabuk dari zamrud. Tapi hanya dinilai penduduknya dari segi ekonominya saja melalui eksploitasi habis-habisan.
Ketika saya uraikan maksud saya bertekad mendalami ilmu mengenai karst dan goa, pada 1984, almarhum Prof Dr Ir Sartono, ahli Geologi dan Antropologi, terenyak. “Apa Dokter Ko tahu bahwa ilmu yang terkait dengan goa itu banyak sekali, begitu pula dengan karst?” Entah kenapa saya nekat menjawab, “Kalau tidak mulai sekarang ditekuni, kapan lagi Prof? Di luar negeri, kan, sudah lebih dari seratus tahun dipelajari?”
Apa permasalahan terbesar karst saat ini?
Sebanyak 25 persen air di dunia ini air karst. Banyak kota besar dunia yang airnya dari karst. Tuban, Palu, Kupang, dan Gombong. Sekali karst dirusak, akan lenyap seterusnya, terjadi apabila dieksploitasi untuk pertambangan tanpa amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), yang wajib dilakukan secara teliti para konsultan multi dan interdisipliner, holistik terpadu, dan lintas sektoral. Hingga kini amdal masih apa adanya, malah dibuat oleh ilmuwan yang berlomba membenarkan (justifikasi) kawasan karst dibongkar dengan cara mengacuhkan segi-segi penting dari aneka ilmu itu.
Di negara maju, membuka daerah karst dan goa untuk wisata goa membutuhkan penelitian saksama beberapa tahun. Apalagi untuk penambangan yang merusak lingkungan karst, bahkan sering berdampak negatif pada lingkungan bukan karst di sekitarnya. Wisata goa dan karst Indonesia sama sekali belum mengikuti kaidah internasional. Terutama dalam bidang amdal, zonasi, perhitungan daya dukung dinamis, sirkulasi pengunjung, monitoring pencemaran lingkungan, teknologi pembuangan limbah, dan kepemanduan.
Apa yang sudah saya rintis di sini, tolong kembangkan dengan baik. Tapi, jangan untuk kepentingan pribadi. Menelikung ilmu lalu jadi konsultan pabrik semen. Sangat sedih. Hidup relatif pendek kenapa tidak memakai sebanyak mungkin kesempatan untuk mengisi kehidupan dan jangan gunakan untuk dirimu sendiri. Saya senang semakin banyak kelompok yang memperjuangkan kelestarian karst di Indonesia.—MAWAR KUSUMA
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “Goa Ibarat Buku yang Tebal”.
———-
“Orang Indonesia Pintar-pintar…”
Dari lahir hingga usia 6 tahun, Dokter Ko King Tjoen selalu kejang-kejang dan divonis dokter akan berumur pendek. Namun, pada usia SMP, dia justru dikenal sebagai anak pintar dengan nilai 10 di hampir semua mata pelajaran. “Orang Indonesia pintar-pintar, hanya enggak ada kesempatan saja,” kata Dokter Ko yang sejak kecil akrab disapa Robby.
Untuk membuktikan teorinya tentang kepintaran anak Indonesia, ia yang memilih hidup melajang kemudian mengadopsi empat anak sopirnya. Anak angkat pertamanya telah lulus sekolah kedokteran dan kini menjadi dokter ahli bedah jantung. Anak kedua lulus dari Universitas Gunadarma dan sekarang menjadi manajer Penginapan Buena Vista Boutique yang dimilikinya. Anak ketiga dan keempat juga menempuh kuliah di Universitas Indonesia dan Universitas Binus.
Ditemui di Buena Vista Boutique di Cisarua, Puncak, Bogor, Dokter Ko begitu bersemangat menghadirkan keseharian hidupnya. Ditingkahi gemericik air, suara burung, dan alunan lagu “Somewhere Out There”, Dokter Ko mengajak berkeliling rumah yang ditempati sejak 1972 itu. Atas usul anak angkatnya, sebagian rumah itu kemudian dikomersialkan sebagai penginapan dengan 12 kamar pada 2010.
Dokter Ko menuangkan kreativitas dan kemampuan desain ke setiap jengkal penginapan. “Saya adalah manusia yang ingin mengkreasi. Harus ada sentuhan khusus. Desain setiap kamar berbeda. Sifat saya sejak kecil. Kalau semua orang suka merah, saya hijau. Saya tidak mau jadi bebek. Saya mengenal diri sendiri. Saya adalah orang yang selalu ingin tahu,” ujar Dokter Ko.
Tinggal di kawasan Puncak, Dokter Ko lebih banyak mengisi waktu luang dengan membaca, menulis buku, melukis, dan mencipta resep masakan baru. Siang itu, ia menjamu dengan ketupat Magelang yang dimodifikasi dengan menambahkan irisan ayam dan mi kremes. Lewat kuliner, ia pun bisa mengenang masa kecilnya sebagai putra pedagang tembakau dan pemilik saham Pabrik Serutu “Ko Kwat Ie” Magelang.
Rumahnya juga merangkap sebagai tempat kajian speleologi dan karstologi. “Saya anggap diri saya masih 40 tahun. A woman is as old as she seem when looking at the mirror. Seorang wanita menganggap dirinya setua dengan apa yang dilihat di cermin. A man as old as he think he is. Seorang laki-laki, tuanya sesuai dengan yang dia pikirkan tanpa bantuan cermin,” ujarnya. (WKM)
Ko King Tjoen
Lahir: Magelang, 4 Januari 1936
Pendidikan:
– Lulus Dokter Umum FK UI 1962
– Lulus Dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin 1966
– Memperdalam Ilmu Psikoterapi di Bagian Psikiatri FK UI 1967-
1973-1983, mempelajari ilmu tentang geologi, geomorfologi, sedimentologi, biospeleologi, arkeologi, paleontologi, vegetasi karst, hidrologi karst, ekosistem karst, konservasi karst, dan pariwisata goa secara berkala di Universitas Western Kentucky, Amerika Serikat; British Cave Research Association, Inggris; Moulis Underground Laboratory CNRS, Perancis.
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “”Orang Indonesia Pintar-pintar…””.