Informasi terkait tanaman rekayasa genetik atau transgenik yang akan dijual di Indonesia belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Mekanisme sosialisasi pemerintah hanya melalui laman, yang membatasi akses masyarakat untuk memahaminya.
Deputi Direktur Sawit Watch, yang juga anggota Kelompok Kerja Sawit Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS), Achmad Surambo merekomendasikan agar pemerintah tak berkomunikasi satu arah, yakni sosialisasi produk rekayasa genetik. Komunikasi perlu berupa konsultasi, yang memastikan publik berpartisipasi, termasuk pertukaran pikiran. Informasi tak boleh hanya terkait manfaat penanaman benih transgenik, tetapi juga risikonya.
“Itu terkesan rumit, tetapi harus dilakukan jika mengutamakan keamanan. Tak sekadar menempel informasi di web (laman),” ucapnya dalam Diskusi Akhir Tahun “Kedaulatan Pangan (Masih) Setengah Hati, Darurat Pangan Terus Terjadi”, pekan lalu di Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kini, pemerintah memakai laman yang dikelola Balai Kliring Keamanan Hayati untuk menyosialisasikan produk rekayasa genetik (PRG), termasuk produk yang lolos uji keamanan. Namun, mekanisme sosialisasi lewat laman dinilai tak efektif karena tak semua orang mengakses internet. Apalagi, pihak berkepentingan ialah petani dengan kepemilikan lahan rata-rata hanya 0,3 hektar.
Koordinator Nasional ADS Tejo Wahyu Jatmiko mengatakan, salah satu informasi yang tak tersosialisasi ialah varietas jagung tahan herbisida glisofat, yakni jagung NK603 yang dikembangkan perusahaan asal Amerika Serikat, Monsanto. Varietas itu dipatenkan pada 2000 dan dipasarkan 2001. Di Amerika Serikat, produk ini dijual dengan merek Roundup Ready 2.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, tanaman transgenik harus lolos tiga jenis pengujian, yakni uji keamanan lingkungan, keamanan pangan bagi manusia, dan keamanan pakan bagi hewan. Jagung NK603 lolos tiga pengujian itu dan menanti keputusan pelepasan varietas dari Kementerian Pertanian sebelum benih jagung itu dijual di Indonesia.
Keamanan diragukan
Tejo menyayangkan minimnya publikasi lengkapnya pengujian keamanan hayati jagung NK603. Padahal, keamanan tanaman transgenik masih diragukan. Publikasi tim peneliti asal Perancis dipimpin Gilles-Eric Séralini, Juni 2014, di jurnal Environmental Sciences Europe. Séralini dan tim memberi jagung Roundup dari Monsanto untuk dimakan tikus coba selama 2 tahun. Hasilnya, tikus punya lebih banyak tumor dan mati lebih dini dibandingkan yang tak mengonsumsi jagung itu.
Direktur Corporate Affair Monsanto Indonesia Herry Kristanto menyatakan, Monsanto memasarkan benih tanaman transgenik sejak 1996 dan belum ada laporan keracunan pada manusia dan ternak akibat konsumsi varietas transgenik. Badan Pengawas Makanan Eropa pun merekomendasikan, produk jagung NK603 aman.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia Dwi Andreas Santosa, daripada melepas varietas transgenik, pemerintah lebih baik mendayagunakan benih varietas lokal oleh petani kecil jika ingin mewujudkan kedaulatan pangan. Petani terbukti bisa menciptakan benih bermutu sesuai kondisi daerah.
Ia mencontohkan, potensi produksi padi varietas IF8 pada panen musim tanam pertama di Karanganyar, Jawa Tengah, mencapai 13,7 ton gabah kering per hektar. Padahal, panen musim tanam pertama belum pernah mencapai 8 ton per ha di daerah itu. Varietas padi IF8 ialah karya petani, bukan peneliti. (JOG)
—————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Januari 2016, di halaman 13 dengan judul “Informasi Pemerintah Belum Sesuai Kebutuhan”.