Program S-2, Lebih Spesifik dan Mandiri

- Editor

Selasa, 29 Maret 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Maraknya pertumbuhan pendidikan magister atau S-2 di Indonesia sekitar 10 tahun terakhir ini, memunculkan pro dan kontra. Kalau dulu kontroversi itu tentang pembukaan kelas jauh pendidikan magister oleh perguruan tinggi negeri ke luar kampus mereka, sekarang berbeda persoalannya.

Ada fenomena baru. Tak hanya karyawan bergelar S-1 yang ingin belajar hingga jenjang S-2, tetapi lulusan baru S-1 yang umumnya berusia di awal 20-an tahun pun menyerbu pendidikan magister di dalam maupun luar negeri.

Apa yang mereka cari? Sekadar gelar magister atau supaya memiliki ilmu spesifik sehingga bisa lebih bersaing di dunia kerja? Bukan rahasia lagi, banyak lulusan S-1 kesulitan mencari kerja. Di antara mereka ada yang menyiasati dengan kuliah S-2 agar nantinya lebih mudah mencari kerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Salah satunya adalah Faisal Alfarokhi (23), yang menempuh pendidikan magister manajemen bidang marketing public relations. Dia lulusan S-1 Ilmu Komunikasi dari Universitas Diponegoro, Semarang.

”Kuliah S-2 merupakan penyempurnaan teori ketika kita belajar di bangku S-1. Banyak teori ’nanggung’ yang kita pelajari di S-1 diperjelas dan diperdalam dalam program S-2. Selain itu, S-2 menjadi kebutuhan karena di sini konsentrasi kajiannya lebih. Ilmu di S-1 lebih dipersempit dan dispesialisasikan di S-2,” jelasnya.

Menurut dia, penyempurnaan dan spesialisasi ilmu itu diimplementasikan di ruang belajar S-2 melalui diskusi kasus yang lebih dalam dan spesifik. ”Sistem pendidikan S-2 sangat berbeda dengan S-1. Di S-2 lebih menekankan diskusi dan pembelajaran mandiri,” lanjutnya.

Pengalaman serupa dirasakan Herlin (28), lulusan Program Magister Sains Ekonomi Universitas Indonesia, dan Luthfia Nugraheni (34), alumnus Program Magister di Jurusan Marketing Universitas Gadjah Mada.

”Kuliah S-2 sangat beda dengan saat kuliah S-1. Kami harus mandiri dan belajar hal spesifik di kelas,” kata Herlin, yang ingin melanjutkan belajar ke program doktor.

Sementara Luthfia merasakan manfaat ilmu pemasaran yang dia tekuni saat bekerja di bidang yang sama dengan ilmunya. ”Saya jadi semakin tahu strategi pemasaran produk, tinggal mengembangkan sendiri,” tutur Luthfia yang bekerja di sebuah bank syariah di Jakarta.

Bagi Julius Pratama (22), yang sedang belajar Marketing di Prasetiya Mulya Business School, Jakarta, pendidikan magister yang ia tempuh memberi gambaran baru mengenai bidang pemasaran.

”Saya langsung menghubungkan ilmu pemasaran itu dengan konteks ilmu saya saat belajar di S-1,” katanya. Julius adalah lulusan S-1 Teknik Industri Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Pengalaman yang utama

Sulitnya mencari kerja menjadi alasan lain mengapa lulusan S-1 langsung meneruskan kuliah program S-2.

Herlin dan Luthfia tak secara tegas menolak hal itu.

”Waktu saya baru lulus S-1, pernah mencoba melamar pekerjaan, tapi belum dijawab. Kebetulan ayah saya pengin saya langsung mengambil S-2,” kata Luthfia.

Perempuan lulusan S-1 Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Bandung itu berminat belajar bidang pemasaran. Dia lalu mengambil S-2 bidang pemasaran. Harapannya, selulus S-2 ”nilai jualnya” akan naik. ”Pada awal bekerja aku belum berani pasang harga karena belum punya pengalaman.”

Sedangkan Herlin, begitu lulus S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia memang ingin langsung mengambil program S-2. ”Lebih enak kuliah daripada kerja,” begitu alasannya.

Julius pun mengaku dari awal punya rencana kuliah lagi. ”Saya belum ingin kerja, mungkin karena baru 21 tahun waktu lulus S-1,” katanya.

Tingginya minat orang mengikuti program S-2 dengan berbagai alasan membuat jumlah mahasiswa program magister terus meningkat. Tingginya minat lulusan S-1 baru lulus untuk langsung kuliah S-2, antara lain, bisa dilihat di The London School of Public Relations (LSPR) Jakarta.

Program magister yang baru empat tahun dibuka di perguruan tinggi itu relatif diminati mahasiswa. Intan, salah seorang staf pemasaran LSPR Jakarta, menjelaskan, pada setiap angkatan diikuti sekitar 40 mahasiswa.

Bagaimana dengan biaya kuliah program S-2? LSPR Jakarta memasang biaya kuliah sekitar Rp 31 juta, plus 300 dollar AS untuk mahasiswa dengan program internasional dari Cambrigde atau 550 dollar Australia untuk program dari Universitas Edith Cowan, Australia.

Biaya pendidikan itu relatif bersaing karena penyelenggara program magister pada perguruan tinggi lain umumnya memasang biaya kuliah sekitar Rp 50 juta sampai Rp 90 juta.

Meski biaya pendidikan itu relatif tinggi, peminat program S-2 seakan tak peduli. Fakta ini memunculkan tanya, apakah lulusan S-2 memang terjamin bakal mudah mendapat pekerjaan dan penghasilan yang tentunya lebih tinggi dibandingkan dengan lulusan S-1?

Lutfhia, yang pernah bekerja di bagian perekrutan pegawai sebuah perusahaan swasta, menyatakan, memang ada perusahaan yang menaikkan kualifikasi pendidikan untuk bagian tertentu, dan cenderung memilih lulusan S-2 daripada S-1.

Sedangkan Keyma Septiana, HRD Officer perusahaan konstruksi PT Total Bangun Persada, berpendapat, pemilihan kualifikasi tingkat pendidikan bergantung pada jenis pekerjaannya. Namun, faktor memiliki pengalaman kerja justru menjadi nilai tambah yang diperhitungkan saat seseorang melamar pekerjaan.

”Bila ada pelamar lulusan S-1 yang punya pengalaman kerja dan S-2 tanpa pengalaman kerja, biasanya pelamar dengan pengalaman kerja lebih dipertimbangkan untuk diterima,” ujarnya. Seandainya pelamar lulusan S-2 yang diterima pun, ia akan mendapat gaji sama dengan lulusan S1. Nah, lho…. (SOELASTRI SOEKIRNO)

Sumber: Kompas-Kampus, 29 Maret 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB