Praktik Koruptif di Balik Gelar Mentereng

- Editor

Jumat, 1 Oktober 2010

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Rumah di kompleks perumahan Departemen Keuangan di Rawamangun, Jakarta Timur, itu layaknya kantor. Ada resepsionis di dekat pintu masuk. Ada deretan meja dan kursi, seorang karyawan sibuk di depan komputer. Ada ruang direktur dan sedan BMW 318 keluaran sekian tahun silam terparkir di halaman.

Di tempat itu ditawarkan bimbingan skripsi/tesis/ disertasi berupa bimbingan perorangan, ruangan full AC, simulasi ujian, dan telah berhasil membantu penuntasan lebih dari 3.750 skripsi, tesis, dan disertasi ”dengan judicium memuaskan dan cum laude”, seperti bunyi iklannya di sebuah media cetak.

”Kami pantang membuatkan skripsi, tesis, atau disertasi. Kami seperti bimbingan belajar, membantu mahasiswa menyelesaikan skripsi, tesis, atau disertasinya,” kata Widodo, direktur dan pendiri jasa bimbingan itu, Senin (20/9) siang.

Menurut Widodo, pengerjaan 60 persen oleh mahasiswa dianggap memadai menyebut skripsi, tesis, atau disertasi itu karya mahasiswa sendiri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sementara itu, PTN seperti Institut Pertanian Bogor mewajibkan mahasiswa mencantumkan karya akademis mereka asli dan dibuat sendiri. ”Yang boleh dibantu hanya mengambil dan mengolah data, tetapi tidak menuliskan analisis, apalagi membuatkan kesimpulan,” ujar Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan IPB Prof Dr Ir Yonny Koesmarjono.

Situasi berbeda ada di ruang rumah berukuran 2 meter x 4 meter di gang di belakang deretan kios jasa fotokopi, pembuatan stempel, dan jasa pengetikan di Rawamangun juga. Di situ ditawarkan pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi siap bawa. Pemesan cukup memberikan judul yang disetujui dosen pembimbing dan uang muka pembayaran, selanjutnya subkontraktor mengerjakan hingga selesai.

Senin siang yang sama, seorang mahasiswa mendatangi satu dari tiga laki-laki di ruangan itu sambil membawa sebundel rancangan skripsi. Sekitar 15 menit berdiskusi, mahasiswa perguruan tinggi swasta di Jakarta itu pergi, meninggalkan rancangan skripsinya.

”Pembayaran per termin. Yang penting ada judul yang disetujui pembimbing, kami buatkan semua. Dari proposal sampai kesimpulan. Data penelitian hanya formalitas, tapi kalau mau ambil data sendiri juga bisa kami olahkan. Nanti dicocokkan,” jelas Oni yang mengaku lulus S-1 dari universitas negeri di Solo.

Menyebar

Praktik tersebut bukan barang baru, yang berbeda intensitas ”kenekatan” dan skalanya.

Di kios berukuran 2 meter x 2 meter di gang becek dan gelap di antara kios pembuatan stempel serta jasa fotokopi dan pengetikan di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Igan (62), pensiunan guru SMA di Medan dan mengaku lulus S-1 teknik mesin dari PTS di kota yang sama, menawarkan jasa pembuatan skripsi dan tesis. Dia hanya butuh judul yang disetujui pembimbing dan data daerah penelitian. Sepanjang 2010, ia sudah dapat pesanan 10 skripsi dan tesis.

Tidak semua menawarkan jasa senekat itu. Aan (31) dimintai bantuan temannya, mahasiswa S-3 PTN di Jakarta, membuat disertasi. Meski mendapat bayaran lebih dari Rp 60 juta, magister komunikasi dari PTN terkemuka di Jakarta itu berusaha melibatkan temannya ikut membaca bagian literatur yang telah dia beri tanda dan meneliti ke lapangan.

Aan diaku sebagai sekretaris temannya dan ikut bertemu promotor saat berkonsultasi. Dengan cari itu, Aan paham yang dimaui pembimbing.

Lain lagi Wid (31). Awalnya dia membantu temannya, lulusan S-2, membuat disertasi seorang birokrat di lembaga perencanaan strategis di Jakarta. Tetapi, Wid, lulusan S-1, akhirnya menjadi penulis utama karena temannya mendapat pekerjaan tetap.

Wid mengetahui kemauan promotor melalui rekaman percakapan si pejabat dengan promotor. ”Banyak yang dicoreti pembimbing, untuk saya ini juga proses belajar,” kata Wid.

Praktik semacam ini setidaknya terdapat di Jakarta, Serang, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya, dengan pemesan datang dari mahasiswa PTS dan PTN di di Jawa dan Makassar.

Ironi

Situasi di atas menjadi ironi ketika disandingkan dengan upaya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) meningkatkan kualitas pendidikan tinggi Indonesia berkelas dunia (Kompas, 18/9).

Wakil Menteri Diknas Fasli Jalal mengakui, dari waktu ke waktu pendidikan tinggi harus terus dievaluasi. Kemdiknas sudah mengeluarkan sanksi kurungan dan denda bagi pembuat dan pemakai ijazah palsu dan memberikan sanksi bagi plagiator. Program studi juga rutin dievaluasi dan diakreditasi, termasuk menjaga rasio dosen pembimbing dan mahasiswa yang dia akui kadang jauh melebihi rasio normal. Intinya, kompetensi menjadi yang utama daripada sekadar mengejar gelar.

Untuk mencegah dosen mencari kerja lain di luar mengajar, Kemdiknas memberi tunjangan bagi guru besar dan dosen yang lulus sertifikasi. Meski begitu, penjaga utama kejujuran akademik tetap dosen pembimbing.

”Kita harus berani tidak pakai gelar, tetapi melihat kompetensi. Kami mendorong melalui pendanaan forum ilmiah dan pengembangan jurnal ilmiah di aras internasional,” kata Fasli.

Bagi pengajar filsafat di UI, Rocky Gerung, mereka yang membeli disertasi sama dengan tidak beradab. Alih-alih menjadi ”tanda peradaban” disertasi yang merupakan kekayaan tertinggi cendekiawan berubah menjadi tanda ”kebodohan” karena sang cendekiawan membeli barang palsu. Ini juga perilaku berkualitas mental sama dengan korupsi, yaitu mengklaim yang bukan haknya.

”Di universitas, perilaku ini kejahatan akademis tertinggi. Pelakunya pasti kehilangan semua hak moral untuk mengajar,” tandas Rocky.

Ditambahkan, sumber sosiologis praktik itu adalah mental ”memuja gelar” yang masih kental di masyarakat. Perilaku itu menjadi ”feodalisme baru” . Orang menyembah pada gelar, bukan ilmu. Pendidikan pun berubah menjadi habitus kekuasaan karena gelar lebih berkuasa ketimbang pikiran.

Meski begitu, dunia pendidikan tak sebatas pagar universitas atau tanggung jawab Kemdiknas. Terbatasnya lapangan kerja menyebabkan gelar menjadi penting untuk mendapat kerja. Seperti hukum ekonomi, ketika ada permintaan akan datang penawaran.

Maka, kejujuran dan etika akademis pun ditinggalkan dengan berbagai alasan. Tak peduli perilaku itu pembodohan atau koruptif karena mengklaim yang bukan haknya. (NMP/MH)

Sumber: Kompas, Jumat, 1 Oktober 2010 | 02:44 WIB

Silahkan unduh disini untuk membaca laporan Kompas secara lengkap terkait dengan tulisan ini…

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB