Politisi dan Sains Lingkungan

- Editor

Minggu, 16 Januari 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Terlahir sebagai Albert Arnold Gore Jr, Al Gore tidak mendapat banyak kesulitan untuk terjun di bidang politik sebagai anggota kongres dari Partai Demokrat pada 1976. Ayahnya adalah senator selama berpuluh tahun. Tahun 1978, Al Gore bertutur, di depan kongres dia mulai berbicara tentang lingkungan hidup, tentang pembuangan limbah beracun. Kongres akhirnya setuju menggelontorkan dana 1,6 miliar dollar AS—Rp 14,4 triliun (kurs Rp 9.000)—untuk membersihkan limbah beracun dari industri.

Tahun 1992 kembali Al Gore membuat jejak di ranah lingkungan, yaitu dengan terbitnya buku Earth in Balance, di mana dia menjadi salah satu penulisnya. Dia pernah dituding sebagai seorang politisi ekstremis lingkungan oleh pihak Republik. Jawabnya, ”Ya. Itu kan tugas warga negara. Siapa yang tidak (seperti itu)?”

Dalam buku tersebut dia sudah melontarkan usulan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dalam jangka 25 tahun. ”Itu memungkinkan. Itu perlu dilakukan, itu bisa menciptakan lapangan pekerjaan, bukan menghilangkan lapangan pekerjaan. Saya bangga telah menuliskan itu pada tahun 1992 dan sekarang saya menegaskan kembali,” tutur Al Gore dalam wawancara dengan The Economist pada April 2000. Dia juga telah menggagas perlunya diskusi antarpemimpin negara di dunia untuk beralih ke teknologi yang lebih ramah lingkungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari mana kita bisa melacak jejak Al Gore terkait dengan isu perubahan iklim. Hampir di berbagai kesempatan di depan publik, Al Gore selalu menyebutkan satu sosok yang amat memengaruhi pandangannya tentang lingkungan, kemudian terus membawanya pada isu pemanasan global.

”Saya mulai menyadari adanya ancaman terhadap bumi kita setelah saya bertemu dengan profesor saya, Roger Revelle. Ia adalah orang pertama yang mengukur konsentrasi CO di atmosfer,” ujarnya. Revelle adalah profesor di bidang geofisika dan oseanografi. Diawali dengan pengetahuan tentang emisi CO itulah, Al Gore kemudian berusaha mempelajari lebih jauh tentang dampak emisi gas rumah kaca.

Al Gore adalah sosok pembelajar. Dilatarbelakangi minat dan kepeduliannya terhadap lingkungan, ia mengatakan, ”Saya merasa tenang kalau ada para ahli yang mendampingi saya,” tuturnya.

Dalam slides yang ia gunakan untuk membangun kesadaran publik tentang ancaman dampak perubahan iklim, banyak pengetahuan akademis yang dia selipkan. Misalnya tentang bagaimana kita bisa mengetahui perubahan iklim yang terjadi berjuta tahun lalu di suatu tempat dengan meneliti lapisan esnya. Penelitian serupa dilakukan di Pegunungan Jayawijaya di Puncak Carstensz.

Teknologi, menurut Al Gore, menjadi jalan utama untuk mengurangi laju pemanasan global, di antaranya dengan menggunakan energi baru dan terbarukan dan langkah itu akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Di antaranya membangun industri kincir angin dan sel surya. Bukunya yang terakhir, Our Choice, memuat berbagai pilihan teknologi yang bakal menekan emisi gas rumah kaca, mulai dari energi angin, surya, hingga smart grid untuk pembangkit listrik yang menggunakan beragam sumber energi.

Al Gore juga percaya bahwa perangkat lunak sistem cap and trade, di mana pengurangan emisi karbon bisa mendapatkan nilai intrinsik, bisa menjadi jalan keluar menghambat pemanasan global.

Sikap tersebut mendapatkan kritik dari para aktivis lingkungan yang menilai Al Gore justru turut memperparah pemanasan global. Sistem cap and trade mendapat tentangan keras dari aktivis lingkungan dengan pertimbangan, industri yang mengotori atmosfer masih bisa mengemisikan karbon dengan aman asalkan dia bisa membayar sejumlah uang kepada industri di negara berkembang yang telah melakukan pengurangan emisi karbon. Sejumlah kalangan berpendapat, semua pihak harus mengurangi emisi karbonnya, mulai dari pribadi, perusahaan, keluarga, hingga pemerintah. Cap and trade pada akhirnya menuju perdagangan karbon. Dikhawatirkan karbon akan menjadi komoditas baru bagi tatanan ekonomi global yang bersifat liberal.

(The Economist/REUTERS/Time/Newsweek/ISW)

————————-

Al Gore

Dibutuhkan keberanian memilih untuk mengatasi persoalan pelik dalam krisis iklim yang bukan tidak mungkin akan ”memusnahkan” ras manusia. Memilih hal benar yang sulit, ”the difficult right”. Dalam upaya menjawab pertanyaan moral tersebut, ke mana sekarang kita menuju?

Penerima penghargaan Nobel Perdamaian tahun 2007, yang juga penerima Oscar untuk film An Inconvenient Truth, Al Gore, sering kali dan terus-menerus mengajukan pertanyaan tersebut di depan audiensnya dan di dalam tulisannya untuk mengingatkan tugas moral kita menghadapi krisis iklim.

Pertanyaan moral yang melekat di benak Al Gore itu didapatnya saat masih di bangku sekolah. ”Saya selalu ingat pesan guru saya, pada masa kecil saya. Guru saya mengatakan bahwa, ’Sepanjang hidup, kita hanya perlu menjawab satu pertanyaan, yaitu apakah kita akan memilih hal benar yang sulit atau memilih hal salah yang mudah (the difficult right or the easy wrong).’ Itu pertanyaan yang sama bagi kita semua dalam menghadapi krisis iklim,” tutur Al Gore dengan suara bergetar dan menggelegar.

Pernyataan itu dia ungkapkan di hadapan sejumlah menteri, anggota MPR, pengusaha, editor media massa, serta anggota lembaga masyarakat di Hotel Shangri-la, Jakarta, Minggu, 9 Januari 2011 malam. Pertanyaan yang sama rasanya akan terus-menerus dia lontarkan di mana-mana guna menggugat posisi moral setiap orang yang dia temui.

Semenjak film An Inconvenient Truth yang bertutur tentang ancaman krisis iklim sukses merangkul opini global, nama Al Gore seakan melekat, tak terpisahkan dari isu krisis iklim atau perubahan iklim. Al Gore dan perubahan iklim menjadi dua sisi dari sekeping mata uang. Al Gore nyaris dikultusindividukan oleh sebagian orang. Seperti dalam pertemuan dengan anggota MPR, pengusaha, dan para editor hari Minggu lalu ketika ada yang bertanya, ”Mengapa hanya ada satu Al Gore yang sedemikian besar perhatian dan kepeduliannya akan nasib bumi, akan perubahan iklim?”

Agaknya karena terbiasa mendapat pujian, Al Gore menjelaskan, ”Saya memiliki kesempatan, saya memiliki peluang, dan saya memiliki tim sains yang bagus,” ujarnya tanpa berusaha melebih-lebihkan fakta.

Di tataran moral, Al Gore menjangkau lebih jauh ke depan ke generasi mendatang untuk memberikan tantangan kepada audiensnya setiap kali dia memberikan pandangannya tentang perubahan iklim dan pemanasan global.

Retorikanya jelas, ”Tak lama lagi, anak cucu kita akan menengok ke belakang, ke saat-saat ketika kita harus membuat pilihan. Ada dua pertanyaan yang mungkin akan mereka lontarkan. Yang pertama adalah, ’Apa yang kalian pikirkan saat itu? Tidakkah kalian peduli es di Kutub Utara mencair?’ Atau mereka akan bertanya, ’Bagaimana kalian bisa memiliki keberanian moral sedemikian besar untuk bangkit berdiri dan mengatasi krisis yang oleh banyak orang dikatakan tidak mungkin diatasi?’”

Jawaban untuk pertanyaan pertama, menurut Al Gore, amat menyakitkan, ”Kami berkelahi satu sama lain. Kami tidak percaya bahwa itu terjadi. Kami menunggu terlalu lama. Kami menghadapi banyak masalah lain…. Maafkan kami.”

Menjawab pertanyaan kedua, ”Bagaimana kalian melakukannya?” Al Gore berangan bisa menjawabnya, ”Titik balik terjadi tahun 2009…. Ketika kelompok oposan mulai berubah menjadi peduli, menuju arah baru….”

Dan, Al Gore pun ”bermimpi” bahwa negaranya, Amerika Serikat, mengubah paradigma pembangunannya dari boros karbon menjadi pembangunan rendah karbon dengan keluarnya peraturan yang mengatur insentif untuk mendorong lahirnya sejarah baru: energi fosil digantikan oleh energi matahari, angin, dan panas bumi. Gelombang teknologi energi baru dan terbarukan mengalun keras.

Kenyataan berbicara lain: hingga Pertemuan Para Pihak (COP) ke-16 Kerangka Kerja PBB pada Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) di Cancun, Meksiko, pada Desember 2010, kesepakatan yang mengikat secara hukum belum lahir, apalagi jika berbicara tentang AS. Jauh panggang dari api karena AS hingga tahun lalu belum juga meratifikasi Protokol Kyoto yang disepakati tahun 1997 di Kyoto, Jepang.

Sampai sekarang baru 145 negara yang meratifikasi protokol ini. Ironisnya, tahap pertama Protokol Kyoto akan berakhir tahun depan dan dua negara dengan emisi gas rumah kaca tertinggi, yaitu AS dan China, belum meratifikasi protokol tersebut. Protokol tersebut, antara lain, berisi kewajiban negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya hingga rata-rata 5,2 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990.

Akar rumput

Mantan Wakil Presiden AS yang menjabat selama delapan tahun sejak 1993 ini telah menetapkan pilihannya untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan ras manusia. Politik menjadi satu hal yang hanya melandasi wacananya, tetapi dia tidak lagi memilih politik sebagai jalan perjuangannya. Dia percaya bahwa perubahan bisa datang dari akar rumput. Untuk itulah, dia mendirikan The Climate Project, sebuah organisasi nirlaba yang tugas utamanya adalah menyebarkan kesadaran publik akan perubahan iklim.

Film dokumenter yang disajikannya, An Inconvenient Truth, telah mengentak dunia. Diputar pertama kali tahun 2006, film itu mengantarnya meraih Oscar.

Dalam film tersebut dia menuturkan bahwa dunia mengalami pemanasan global akibat ulah manusia yang menggunakan bahan bakar fosil secara tak terkendali sejak lahirnya era industri pada abad ke-18. Dalam slide-slidenya, dia kemudian menggambarkan bencana yang telah berlangsung dengan amat intensif dan masif.

Merasa tak mampu melakukan kampanye tentang ancaman pemanasan global seorang diri, pada 2006 dia mendirikan The Climate Project yang anggota-anggotanya adalah orang-orang yang dilatihnya untuk membawakan slide-slidenya untuk mengabarkan bahaya yang mengancam jika pemanasan global tak dihentikan prosesnya.

”Saat ini kita sudah mengemisikan 19 juta ton per hari. Padahal, menurut para ahli, 90 persen dari karbon yang kita emisikan ini akan tetap tinggal di atmosfer bumi selama 20.000 tahun,” ujar Al Gore di hadapan publik.

The Climate Project adalah seperti yang dia cita-citakan, yaitu dari akar rumput untuk akar rumput. The Climate Project membuka diri untuk semua orang. Mulai dari profesor, dokter, hingga ibu rumah tangga dan anak kelas V SD boleh bergabung ke dalamnya. Itu setidaknya yang tampak di tubuh The Climate Project Indonesia. Jumlah anggota The Climate Project kini mencapai sekitar 35.000 orang yang telah melakukan presentasi sebanyak sekitar 70.000 kali kepada sekitar 7,3 juta orang.

Al Gore kini menghabiskan seperempat waktunya untuk berkeliling melatih para presenternya yang merupakan perpanjangan tangannya untuk berkampanye dan menumbuhkan kesadaran bahwa perubahan iklim sungguh terjadi dan manusia menjadi salah satu penyebab, tetapi sekaligus pembawa solusi. Dia hanya butuh satu pendamping untuk bepergian, sementara dia masih menyeret kopernya sendiri. Kantor pusat The Climate Project ada di Nashville, kota dia bertempat tinggal.

”Yang menderita akibat dampak perubahan iklim adalah Anda, kita semua. Akar rumput yang menerima dampaknya. Karena sebagai akar rumput kita menyuarakan agar ada kesadaran muncul di kalangan luas untuk memberikan pengertian bagaimana melakukan hal yang benar. Dia mengaku senang bekerja bersama dengan akar rumput yang dia yakini suatu saat akar rumputlah yang bisa mendesakkan perubahan kepada para pemimpin dunia.

Skeptis

Kampanye tentang perubahan iklim telah berhasil menjadi isu populer. Bahkan, pada 7 Juli 2007, terselenggara konser simultan bertajuk Live Earth di seluruh dunia untuk merespons isu tersebut. Namun, bukan berarti tak ada halangan. Kalangan yang skeptis terhadap apa yang diungkapkan Al Gore kemudian menghimpun para peneliti dan akademisi untuk menyusun sanggahan. Menurut mereka, dunia akan selalu seperti ini, selalu melewati krisis. Itu antara lain terjadi saat zaman es berakhir atau karena aktivitas titik panas matahari yang disalahkan sebagai penyebab memanasnya atmosfer bumi. Aktivitas titik panas matahari ini memiliki siklus tertentu dan diprediksi akan terjadi ”badai matahari” pada tahun 2012 yang bisa berakibat pada hancurnya bumi sebagai habitat manusia.

Namun, Al Gore tidak gentar. Dia berbekal berbagai hasil penelitian dan berbasis penelitian oleh Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang jumlahnya lebih dari 2.000 orang dari berbagai penjuru dunia. Kritik tetap muncul karena anggota IPCC pun lebih dari 60 persen adalah dari Amerika Serikat.

Menurut Al Gore, data-data dan fakta sudah tak terbantahkan bahwa perubahan iklim sedang terjadi. Bencana semakin sering terjadi dan semakin besar magnitude-nya. Misalnya, banjir di Brisbane, Australia, yang sekitar sepekan ini tidak surut, juga kekeringan di Rusia tahun lalu yang memakan korban, serta mencairnya es dalam volume yang amat masif di Antartika tahun lalu. Jika Antartika mulai mencair esnya, persoalan sudah amat serius, ”Karena di Antartika esnya ada di atas daratan, sementara di Arktik esnya sampai ke dasar laut.”

Dalam melakukan kampanyenya, baik melalui presentasi atau melalui penulisan di buku, Al Gore cenderung mengemukakan contoh-contoh yang ekstrem dan berdampak masif. Menurut dia, seseorang perlu disentuh emosinya karena emosi—bukan sekadar pikiran—akan mendorong seseorang untuk mengambil keputusan untuk berubah. ”Menyajikan sekadar data-data tidaklah cukup,” ujarnya.

(TIME/NEWSWEEK/AL GORE.COM/Brigitta Isworo Laksmi)

Sumber: Kompas, Minggu, 16 Januari 2011 | 03:57 WIB

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan
Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu
Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia
Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun
Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik
Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes
Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS
Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Kamis, 28 September 2023 - 15:05 WIB

Pemuda Jombang ini Jelajahi Tiga Negara Berbeda untuk Menimba Ilmu

Kamis, 28 September 2023 - 15:00 WIB

Mochammad Masrikhan, Lulusan Terbaik SMK Swasta di Jombang yang Kini Kuliah di Australia

Kamis, 28 September 2023 - 14:54 WIB

Usai Lulus Kedokteran UI, Pemuda Jombang ini Pasang Target Selesai S2 di UCL dalam Setahun

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:43 WIB

Di Usia 25 Tahun, Wiwit Nurhidayah Menyandang 4 Gelar Akademik

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:20 WIB

Cerita Sasha Mahasiswa Baru Fakultas Kedokteran Unair, Pernah Gagal 15 Kali Tes

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:15 WIB

Sosok Amadeo Yesa, Peraih Nilai UTBK 2023 Tertinggi se-Indonesia yang Masuk ITS

Sabtu, 12 Agustus 2023 - 07:42 WIB

Profil Koesnadi Hardjasoemantri, Rektor UGM Semasa Ganjar Pranowo Masih Kuliah

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB