Perjalanan Panjang Mencari ”Bumi”

- Editor

Senin, 30 Juni 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Setelah menapaki jalan panjang, sekitar seabad, semangat manusia mencari jawab ”apakah ada kehidupan lain di luar Bumi” rupanya tak pernah padam. Manusia terus bertekun melakukan pencarian planet mirip Bumi, yang layak huni, di luar tata surya kita (extrasolar terrestrial planets), eksoplanet.

Semangat mencari eksoplanet terus berkobar karena berbagai temuan baru makin mendekatkan kepada tujuan tersebut. Untuk menjalankan misi itu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) membentuk Misi Kepler. Tahun 2009, NASA meluncurkan teleskop ruang angkasa Kepler.

Kepler telah meneliti sekitar 150.000 bintang, beberapa ribu di antaranya kemungkinan memiliki planet. Tujuan riset itu adalah mencari jawab apa ada kehidupan lain di luar tata surya kita. Yang dicari adalah planet layak huni. Maka, pencarian planet mirip Bumi—yaitu ada di zona yang memiliki unsur-unsur yang mendukung kehidupan—dilakukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pertengahan April 2014, tepatnya pada Kamis (17/4), Misi Kepler mengumumkan penemuan ”planet serupa Bumi” dinamai Kepler-186f di Cape Canaveral, Florida, AS. Planet itu ada di konstelasi bintang Cygnus, memutari bintang kerdil jarak 500 tahun cahaya dari Bumi. Planet itu terekam tahun lalu, sebelum teleskop Kepler mengalami kerusakan sistem dan diistirahatkan.

Hingga kini, ada sekitar 25.000 kandidat planet ditemukan. ”Yang sudah dikonfirmasi 961 planet,” ujar Taufiq Hidayat, dosen pada Jurusan Astronomi ITB saat dihubungi beberapa waktu lalu, menyusul publikasi penemuan planet yang mirip Bumi, di zona layak huni (habitable zone).

11941550hAda sejumlah tantangan dalam pencarian planet. Pertama, pengamatan langsung sulit dilakukan karena planet tak bercahaya (planet muda bercahaya karena suhunya tinggi). Kedua, jarak eksoplanet dari Bumi luar biasa jauh, berskala tahun cahaya (1 tahun cahaya sekitar 9,46 x 1.012 kilometer). Ketiga, karena tak bercahaya, planet-planet itu tak tampak saat kena pancaran langsung cahaya yang dominan dari bintang induk. Matahari adalah bintang induk Bumi.

Misi Kepler tak cukup memakai satu teleskop karena pengamatan langsung tak memungkinkan. Misi itu memakai beberapa teleskop landas Bumi (ground-based telescopes) dan Spitzer Space Telescope di ruang angkasa demi mengonfirmasi temuan kandidat planet.

Kedua alat itu menganalisis data berjumlah lebih dari 2.000 data optik untuk satu kandidat planet. ”Tak semua yang mengandung ciri sebagai kandidat planet bisa langsung diklaim sebagai planet,” ujar Taufiq.

”Pengamatan dan konfirmasi planet merupakan kerja kolaborasi yang butuh talenta dan sumber daya luar biasa, dan perlu keahlian dari lintas komunitas ilmuwan demi mendapat hasil luar biasa seperti ini,” papar William Borucki, pimpinan tim Kepler di NASA Ames Research Center, Moffett Field, California.

”Kepler teleskop adalah landasan kuat ilmu pengetahuan,” kata John Grunsfeld dari Science Mission Directorate, Kantor Pusat NASA, di Washington. Temuan planet padat di zona layak huni membawa kita lebih dekat pada penemuan tempat yang mirip rumah kita. Hanya soal waktu sebelum kita tahu galaksi itu adalah tempat bagi planet-planet seperti Bumi, atau sebaliknya memang tak ada.

Awalnya misi itu mengukur kuat cahaya dari bintang. Jika ada gangguan pada kuat cahaya yang berulang, diperkirakan ada obyek yang melintasi bintang tersebut. Obyek itu dalam data optik tampak seperti noktah gelap pada permukaan bintang.

Saat obyek melintas di depan bintang, disebut transit. Namun, transit berlangsung tak sepanjang hari, hanya beberapa saat. Karena itu, pengamatan harus terus dilakukan, intensitas cahayanya (nilai terang) harus diukur beberapa jam sekali.

Bidang pengamatan (FOV) tak boleh terhalang satu kali pun dalam setahun dan tak boleh masuk bidang lintasan Matahari. Selain itu, FOV dipilih yang kemungkinan besar ada bintang-konstelasi Cygnus dan Lyra dari sabuk galaksi Bima Sakti memenuhi syarat itu.

Benda langit bergerak dalam kecepatan tertentu melintasi bintang. Seusai sampai ke tepi, dia menghilang, dan secara periodik muncul lagi. ”Untuk planet dengan periode panjang, kami harus menunggu lama agar bisa mendapat data lagi saat dia melintas depan bintang,” ujarnya.

Sekurangnya tiga data transit harus didapat guna meneruskan pengamatan. ”Konfirmasi harus hati-hati karena kerap ada gangguan pengukuran,” kata Taufiq.

Belakangan, pencarian bintang dilakukan dengan mengukur kecepatan radial—kecepatan menjauh atau mendekatnya planet ke bintang. ”Itu pun bukan pendeteksian langsung, hanya melihat efeknya,” kata dia.

Revolusi dan rotasi
Benda langit dikatakan kandidat planet jika dia melakukan revolusi dan rotasi, seperti Bumi mengitari Matahari (revolusi) dan berputar pada porosnya (rotasi). Ada saat pull on ketika bintang tak digerhanai dan edge on ketika bintang digerhanai. ”Saat pull on, bidang orbit terlihat. Ketika edge on, bidang orbit tampak segaris,” kata Taufiq.

Selain itu, jika berukuran kecil hingga agak lebih besar dari Bumi, kemungkinan punya permukaan solid. Jika planet raksasa, biasanya adalah planet gas, tekanan atmosfernya besar sehingga tak bisa diharapkan ada permukaan, tak bisa berharap ada danau, sungai, dan lautan.

Saat ditemukan planet seukuran Bumi, harus diteliti ada atmosfer atau tidak. ”Semua makhluk hidup butuh air berbentuk cair. Sulit menemukan air berbentuk cair di planet. Jika syarat itu harus dipenuhi, akan mengurangi kemungkinan penemuan. Manusia butuh oksigen dan hidrogen (unsur pembentuk air),” ujar Premana W Premadi, dosen Jurusan Astronomi ITB.

Hal yang dibutuhkan kini adalah wahana luar angkasa yang bisa memeriksa atmosfer dan komposisinya. Dan, dekat kah kita pada rumah kita yang lain? Atau mahluk hidup lain di luar sana? (NASA/AFP/AP)

Oleh: Brigitta Isworo Laksmi

Sumber: Kompas, 27 Juni 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB