Pembuatan prototipe pesawat N-219 oleh PT Dirgantara Indonesia ditargetkan selesai Agustus 2015. Selanjutnya, pesawat baling-baling itu terbang perdana untuk memperoleh sertifikasi kelaikan terbang dari Dinas Kelaikan Udara pada 2016. Pesawat terbang buatan Indonesia tersebut diharapkan dapat masuk ke pasar global setelah 2018 seusai mendapat sertifikasi internasional.
Namun, target tersebut dikhawatirkan meleset jika pola pendanaan program strategis itu masih berbasis pengajuan setiap tahun. Mundurnya penyelesaian prototipe akan berimplikasi pada masalah pemesanan dan penerimaan pasar.
”Kami akan mengupayakan penyelesaian prototipe pesawat komuter ini tepat biaya, tepat waktu, dan tepat mutu,” kata Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) Budi Santoso pada pembahasan laporan progress pengembangan pesawat transpor nasional N-219 di PT DI Bandung, Selasa (9/9). Pada kesempatan sama ditandatangani pembaruan nota kesepahaman antara PT DI dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) serta peresmian pengerjaan perdana komponen rangka kaca depan N-219.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pembahasan program itu dihadiri Kepala Lapan Thomas Djamaluddin serta wakil para mitra, yaitu Bappenas, BPPT, Kemenperin, dan ITB. Pada diskusi itu, pihak Bappenas menyepakati pola pendanaan tanpa batasan tahun atau multiyears.
Melihat waktu pengerjaan yang relatif singkat, menurut Direktur Teknologi PT DI Andi Alisyahbana, pihaknya antara lain akan menyederhanakan komponen avionik menggunakan komponen modern bersistem digital.
Proses pembuatan komponen pesawat yang dapat mencapai sekitar 5.000 bagian akan melibatkan industri dalam negeri dan tenaga kerja Indonesia untuk pemeliharaannya. ”Melibatkan sumber daya lokal akan tumbuh kemandirian bangsa dalam pembuatan pesawat,” katanya.
Program lama
Program pembuatan pesawat perintis itu sesungguhnya tercetus 10 tahun lalu, dirintis Kementerian Perindustrian dengan melibatkan BPPT. ”Karena berbagai kendala teknis dan nonteknis, program itu tersendat,” kata Budi.
Program tersebut kemudian dialihkan ke Lapan setelah terbentuknya Divisi Penerbangan di lembaga riset ini pada 2011. ”Alokasi anggaran melalui Lapan untuk dua prototipe N-219 hingga selesai pembuatan tahun depan sebesar Rp 400 miliar,” ujar Thomas.
Untuk pembelian bahan dan komponen yang sebagian impor memerlukan ketersediaan dana memadai. Oleh karena itu, memerlukan pola pendanaan yang memadai untuk mempercepat pengadaannya.
Program N-219 tersebut nantinya akan mengurangi ketergantungan pada komponen impor. Targetnya, kandungan lokal pesawat itu akan mencapai 60 persen pada 2019. (YUN)
Sumber: Kompas, 11 September 2014