Peluncuran BRIsat; Momentum Kembangkan Industri Satelit Indonesia

- Editor

Selasa, 21 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peluncuran satelit milik Bank Rakyat Indonesia, akhir pekan lalu, menunjukkan masih besarnya kebutuhan satelit di Indonesia. Indonesia negara ketiga di dunia yang mengenal satelit, sejak 1976. Namun, hingga kini, Indonesia masih sangat bergantung pada industri satelit-peluncuran asing.

“Setiap tahun, Indonesia kekurangan sekitar 120 transponder. Itu dipenuhi 33 satelit asing,” kata Manajer Proyek BRIsat Meiditomo Sutyarjoko, seperti dilaporkan wartawan Kompas, M Zaid Wahyudi, dari Kourou, Guyana Perancis, Amerika Latin, Senin (20/6) dini hari.

Jika sewa satu transponder 1-2 juta dollar Amerika Serikat atau Rp 13,5 miliar hingga Rp 27 miliar per tahun, dari sewa 120 transponder, devisa negara Rp 1,62 triliun hingga Rp 3,24 triliun “terbang” ke luar negeri.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kebutuhan itu akan terus berkembang meski jaringan kabel fiber optik meluas di Indonesia. Selain karakter wilayah yang berpulau-pulau dan populasi besar, aneka kebutuhan layanan teknologi satelit terus berkembang seperti di negara maju, seperti televisi kabel, jasa internet, dan akses internet di pesawat.

Karena itu, meluncurnya BRIsat dapat dijadikan momentum mengembangkan industri satelit Indonesia dengan membangun ekosistem industri satelit yang memadai. Tanpa itu, kebergantungan pada satelit dan peluncuran asing akan terus terjadi.

Keterbatasan satelit Indonesia yang mampu melayani kebutuhan dalam negeri tak lepas dari keterbatasan slot atau kapling satelit di orbit geostasioner. Saat ini, Indonesia mempunyai tujuh kapling satelit di orbit geostasioner, dua di antaranya kosong belum ada satelit dan satu kapling akan ditempati BRIsat pada titik 150,5 derajat bujur timur.

Persoalannya, meski untuk mendapat kapling satelit baru cukup sulit, kapling yang ada sering tak dijaga karena masalah keberlangsungan pengisian kapling. Akibatnya, sebagian kapling satelit milik Indonesia justru jatuh ke tangan negara lain.

“Jika masih sulit menambah kapling satelit di orbit geostasioner, setidaknya yang ada harus dipertahankan,” kata Direktur Proyek BRIsat Hexana Tri Sasongko. Untuk itu, industri satelit di Indonesia harus diperkuat.

Karakter industri
Salah satu penyebab kurang berkembangnya industri satelit di Indonesia adalah karakter industri satelit yang tertutup. Akibatnya, berbagai industri pendukung hingga bank sebagai penyedia pembiayaan tidak memahami kebutuhan industri satelit. Padahal, pembiayaan satelit amat layak meski jangka panjang.

Lambatnya perkembangan industri membuat ketersediaan para ahli dan perekayasa yang memahami pembuatan dan pengoperasian satelit atau roket peluncurnya sangat kurang. “Hanya dengan adanya proyek satelit baru, seperti BRIsat, tenaga ahli bidang satelit di Indonesia bisa terus ditambah,” kata Hexana.

Selain pasar industri satelit di Indonesia sangat besar, kata Meiditomo, Indonesia berpeluang mengembangkan industri peluncuran satelit. Wilayah Indonesia di khatulistiwa membuat ongkos peluncuran satelit lebih murah.

Oleh karena Indonesia belum mampu mengembangkan industri peluncuran satelit sendiri, Indonesia bisa bekerja sama atau mengundang perusahaan peluncur roket yang lokasi peluncurannya jauh dari khatulistiwa supaya mau memindahkan bandar antariksa ke Indonesia.

“Peluncuran roket menuju orbit geostasioner dari khatulistiwa menghemat bahan bakar hingga 25 persen,” ujar Meiditomo.
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juni 2016, di halaman 14 dengan judul “Momentum Kembangkan Industri Satelit Indonesia”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB