Kepemilikan paten menjadi masalah bagi lembaga riset di lingkungan pemerintahan. Itu karena lembaga riset harus mengeluarkan biaya besar untuk perlindungannya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual.
Selain itu, paten sebagai aset tak berwujud jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan karena tak pernah tercatat. Padahal, untuk menghasilkan paten, memakai anggaran pemerintah yang harus dipertanggungjawabkan.
Deputi Bidang Jasa Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bambang Subiyanto, Senin (6/7), mengungkapkan hal ini, di Jakarta. “Mulai tahun 2011, paten di LIPI jadi temuan BPK. Namun, penindakan tak bisa dilakukan karena tak ada dasar penilaiannya. Oleh karena itu, saya berinisiatif untuk memvaluasi nilai dari paten,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Paten selama ini luput dari perhatian karena yang dilihat dari kegiatan riset ialah hasilnya berupa karya ilmiah yang dipublikasikan dan prototipe yang jelas wujudnya. “Paten dari lembaga riset di Indonesia tak pernah dihitung,” kata Bambang.
Di dunia, ada bermacam cara menghitung nilai paten: berdasarkan input, kandungan teknologi, dan nilai saat paten dibeli orang. “Karena lebih mudah, kami mengacu pada input, yakni biaya penerapan riset,” ujarnya.
Menurut aturan yang ada, Bambang mengembangkan rumus untuk memberi nilai pada produk riset yang berupa karya tulis ilmiah, paten, prototipe, dan input anggaran.
Nilai Aset Tak Berwujud Berupa Paten (ATBP) adalah hasil penjumlahan nilai Output paten (Op) dan Perolehan paten (Pp). Adapun Op adalah perkalian dari nilai pagu dan hasil pembagian total bobot paten dengan output penelitian. Sementara perolehan paten ialah penjumlahan biaya pendaftaran, percepatan publikasi, pemeriksaan substantif, dan pengambilan sertifikat.
“Metode penilaian ini disetujui Kementerian Keuangan dan BPK serta masuk Peraturan Kepala LIPI Nomor 7 Tahun 2015 tentang penilaian dan pencatatan aset tak berwujud berupa paten di LIPI,” kata Bambang. Cara penilaian itu bisa jadi acuan lembaga riset secara nasional.
Adanya metode penilaian ATBP itu diharapkan mempercepat penyerapan paten oleh industri karena penilaian itu jadi bahan negosiasi dengan swasta atau industri. Penghitungan ATBP digunakan untuk menghitung royalti. “Dalam negosiasi, harga royalti tak akan lebih rendah daripada nilai aset tercatat,” katanya.
Selain itu menurut Kepala Pusat Inovasi LIPI Nurul Taufiqu Rochman, penilaian itu membuka peluang penjualan paten ke luar negeri. “Dalam perdagangan global, 80 persen merupakan jual beli aset tak berwujud dan bentuk peranti lunak aplikasi, bukan berbentuk produk,” ujarnya.
Dengan ATBP, nilai tambah paten terukur antara input dan output-nya saat dikomersialkan. Selain untuk kebutuhan legalitas dan laporan pertanggungjawaban, juga mengukur nilai tambah pemanfaatan paten. Kini LIPI menghasilkan 40 paten setahun.(YUN/JOG)
———————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2015, di halaman 13 dengan judul “Paten di Lembaga Riset Menjadi Temuan BPK”.