onkologi; Penanganan Multidisiplin Tingkatkan Efektivitas

- Editor

Selasa, 16 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penanganan multidisiplin perlu diterapkan dalam pengobatan bagi penderita kanker untuk meningkatkan efektivitas terapi. Namun, pendekatan lintas disiplin itu di sejumlah daerah masih terhambat minimnya jumlah dokter spesialis dan fasilitas medis.

Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, pada 2015 diprediksi ada 11 juta kasus baru dan 25 juta orang di negara berkembang hidup dengan kanker. Angka itu diperkirakan naik 200-300 persen pada 2030. Jenis kanker dengan kasus terbanyak di negara berkembang, antara lain, adalah kanker payudara, mulut rahim, kolorektal, dan paru-paru.

Menurut Kepala Departemen Radiologi Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Soehartati Gondowiardjo, pada simposium ”6th Recent Advances in Diagnosis and Therapy: Pitfalls and Challenges in Daily Practice”, Sabtu (13/9), di Jakarta, terapi kanker sejak dini menambah peluang sembuh 30 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Secara umum, pengobatan kanker terdiri dari tiga golongan, yakni pengobatan yang sudah terbukti klinis (evidence based), pengobatan alternatif seperti memakai obat herbal, serta pengobatan belum terbukti klinis dan sedang dikembangkan (novel treatment), seperti terapi pembekuan untuk membuang lesi pra kanker. Pasien sebaiknya memilih pengobatan yang terbukti efektif secara klinis.

Direktur Rumah Sakit Gading Pluit Barlian Sutedja menjelaskan, cara efektif pengobatan kanker adalah penanganan multidisiplin dengan melibatkan dokter spesialis onkologi atau kanker, radioterapis atau ahli terapi radiasi, ahli paru-paru dan jantung. ”Jadi, pasien kanker akan dirujuk ke tim, terdiri dari dokter spesialis beberapa ilmu, sehingga pasien mendapat penanganan utuh sesuai kondisi,” katanya.

Namun, hal itu sulit diterapkan di sejumlah daerah karena distribusi dokter spesialis belum merata dan minimnya fasilitas medis yang diperlukan. Radioterapis, misalnya, baru ada di kota-kota besar dan sulit bekerja maksimal di kota yang tak memiliki fasilitas radioterapi.

Menurut Barlian, kondisi itu bisa disiasati dengan metode telemedicine atau konsultasi jarak jauh antara pasien dan dokter. Adapun Soehartati berpendapat, terapi kanker bisa disesuaikan dengan kondisi pasien. (A01)

Sumber: Kompas, 15 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB