Migrasi Intelektual; Riset di Luar Negeri Lebih Menjanjikan

- Editor

Rabu, 2 Juli 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Perpindahan sumber daya manusia unggul ke luar negeri atau brain drain jadi salah satu bahasan debat calon wakil presiden, Minggu (29/6). Meski ini isu lama, hingga kini belum terlihat upaya nyata pemerintah memanfaatkan potensi itu demi kemajuan bangsa. Mereka yang sudah kembali ”tidak dimaksimalkan negara”.

Wakil Ketua Luar Negeri Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional yang juga peneliti senior di Sekolah Kedokteran Universitas California Irvine, Amerika Serikat, Taruna Ikrar, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/7), mengatakan, setidaknya ada 7.000 master, doktor, dan profesor asal Indonesia yang kini bekerja di berbagai bidang di luar negeri.

Berkarya di luar negeri dipilih karena di sana mereka lebih dihargai. Diberi peluang besar mengembangkan diri dibekali perlengkapan riset memadai serta infrastruktur dan kebijakan pendukung sehingga fokus bekerja.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penghargaan yang mereka terima juga lebih besar, baik gaji, anugerah hasil riset, maupun fasilitas buat keluarga dan pendidikan anak. ”Kebijakan politik mendukung, birokrasinya pun tidak ruwet,” katanya.

Kondisi riset di Indonesia berkebalikan. Suasana riset masih formal dan kurang berkembang. Penelitian di lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi juga kental nuansa politik dan strukturalnya, kurang memperhatikan profesionalitas.

”Wajar banyak ilmuwan Indonesia lari ke luar negeri,” ujarnya. Akibatnya, karya mereka justru diakui sebagai hasil negara lain. Mereka sebenarnya bisa dimanfaatkan transfer pengetahuan, keterampilan, dan teknologi kepada ilmuwan di Indonesia.

Suwidi Tono dalam Dilema Jaringan Diaspora Indonesia, Kompas, 11 Desember 2012, menyebut brain drain pertama dan terbesar dalam sejarah Indonesia modern terjadi ketika ribuan mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa Timur dimatikan secara perdata pasca peristiwa politik 1965. Padahal, mereka dikirim sebagai Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1959.

Menurut Taruna, para ilmuwan Indonesia di luar negeri tak perlu diragukan nasionalismenya. ”Jika suasana di Tanah Air memberi ruang dan kesempatan bagi mereka untuk berbuat lebih banyak, pasti mereka akan balik ke Indonesia,” katanya.

Secara terpisah, Rektor Universitas Surya, Tangerang Selatan, Yohanes Surya, mengatakan, mudah menarik ilmuwan Indonesia di luar negeri untuk kembali karena mereka juga ingin pulang. ”Pemerintah cukup memfasilitasi,” katanya.

Sebagai ilmuwan, mereka butuh ”mainan”, yaitu laboratorium dengan peralatan memadai. Untuk gaji, mereka sebenarnya tak berharap berlebihan dan itu adalah karakter ilmuwan. Mereka hanya minta digaji cukup untuk menjamin kesejahteraan mereka dan keluarga.

”Ternyata pemerintah belum siap menyambut kepulangan mereka kembali,” katanya.

Yohanes mencontohkan, seorang doktor dari Singapura yang cukup diapresiasi di negara itu mencoba kembali dan mengabdi di universitas negeri. Ia ditempatkan di posisi bawah yang sulit mengembangkan riset. Gajinya pun sangat kecil hingga memaksanya mencari kerja sampingan sebagai agen perjalanan. Akhirnya ia memilih kembali ke Singapura dan kini bekerja sebagai peneliti di Tiongkok.

Pemerintah juga dinilai belum memiliki agenda dan target riset yang jelas. Akibatnya, dana riset yang digelontorkan belum memberi manfaat optimal. Peralatan riset yang dimiliki tidak berkembang dan tidak sesuai dengan kebutuhan. Niat ilmuwan Indonesia di luar negeri yang ingin berpartisipasi dalam riset di Tanah Air pun tak termanfaatkan.

Yohanes berharap pemerintah juga membantu dana riset di perguruan tinggi swasta karena sebagian universitas swasta juga memiliki kemampuan riset yang tak kalah dengan perguruan tinggi negeri. Mahalnya peralatan riset yang bisa berharga ratusan miliar rupiah tentu sulit diakses universitas swasta. Karena itu, dukungan pemerintah yang adil mutlak diperlukan. (MZW)

Sumber: Kompas, 1 Juli 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB