Mendesak, Regenerasi Ahli Komodo

- Editor

Jumat, 4 Februari 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indonesia ternyata memiliki seorang ahli komodo. Dia adalah Soeparmi Surahya (78), mantan dosen Jurusan Biologi Universitas Gadjah Mada. Namun, keahliannya tidak menurun ke generasi baru.

Dari penelitiannya tahun 1977-1989, Soeparmi memberi nama ilmiah komodo Mosasaurus komodoensis, bukan Varanus komodoensis seperti dikenal selama ini. NamaVaranus komodoensis diberikan peneliti Belanda, Peter A Ouwens, tahun 1912, yang tercatat sebagai dokumentasi ilmiah pertama komodo.

Berdasarkan studi 12 tahun Soeparmi dan penerapan teori evolusi yang lebih baru dan modern, nama itu ternyata tidak sesuai. ”Terjadi kesalahan konvergensi. Komodo memang mirip biawak, tetapi bukan termasuk genus varanus,” ungkap Soeparmi yang dihubungi dari Jakarta, Rabu (2/2).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hasil studi itu dipublikasikan dalam buku Komodo: Studi Anatomi dan Kedudukannya dalam Sistematik Hewan terbitan Gadjah Mada University Press tahun 1989.

Jika disebut varanus, itu sejenis biawak—binatang pada era saat ini. Padahal, komodo berasal dari era 60 juta tahun lalu.

Menurut Soeparmi, banyak peneliti, akademisi, dan mahasiswa menemuinya mempelajari komodo. Namun, setelah ia beri bukunya, mereka kesulitan dengan teori evolusi baru.

Buku yang ia tulis banyak disimpan di Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Jika tak ada yang mempelajari, ia khawatir anak-anak Indonesia akan belajar komodo dari negara lain.

Soeparmi juga mengkhawatirkan proses konservasi komodo oleh Pemerintah Indonesia. Populasinya terus menurun.

Bahkan, tampilan fisik komodo di kebun-kebun binatang Indonesia jauh dari bentuk asalnya, yang gagah dan hewan raksasa dengan panjang bisa mencapai 4 meter. Komodo di kebun binatang Indonesia umumnya langsing dan pendek. Kondisi itu bisa membuat keturunan komodo yang dihasilkan memiliki varietas berbeda dengan komodo asli.

”Program konservasi komodo di Amerika Serikat yang saya lihat tahun 2010 jauh lebih berhasil. Di sana, komodo seperti yang ada di Pulau Komodo,” tegasnya.

Tergerus materi

Secara terpisah, Kepala Pusat Keanekaragaman Hayati dan Konservasi Universitas Indonesia Jatna Supriatna mengatakan, minimnya ahli bidang tertentu dalam biologi disebabkan mahasiswa saat ini lebih menyukai politik dan bidang biologi yang lebih menjanjikan materi, seperti bioteknologi.

Itu sejalan kebijakan pemerintah yang memfokuskan penelitian bidang-bidang bernilai ekonomi tinggi, meniru pola riset di negara maju.

”Negara-negara maju itu sangat miskin keanekaragaman hayatinya. Sementara, basis dari bioteknologi adalah keanekaragaman hayati yang bisa dimanfaatkan untuk pangan, papan, dan obat,” katanya.

Oleh karena itu, banyak peneliti asing ke Indonesia mempelajari keanekaragaman hayati. Data itu dibawa kembali ke negara mereka, yang produknya dijual termasuk ke Indonesia.

Tanpa penelitian serius dan menghasilkan produk siap pakai, lanjut Jatna, kepunahan keanekaragaman hayati Indonesia tinggal menunggu waktu.

”Indonesia unggul kompetitif dalam jumlah keanekaragaman hayati dan keunggulan komparatif dalam penggunaan keanekaragaman hayati berdasarkan tradisi suku-suku,” katanya.

Untuk itu, pemerintah perlu memberi insentif agar peneliti dan mahasiswa Indonesia lebih tertarik mendalami keanekaragaman hayati Indonesia sebagai basis pengembangan bioteknologi, termasuk flora fauna endemik Indonesia. Dengan itu, Indonesia akan mandiri. (MZW)

Sumber: Kompas, 4 Februari 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB