Indonesia Hadapi Kemarau Basah

- Editor

Senin, 6 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Antisipasi Dampak Curah Hujan Tinggi
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan musim kemarau tahun 2016 akan menjadi kemarau basah dengan curah hujan tinggi. Diperlukan kewaspadaan hingga tingkat desa untuk mengantisipasi dampak cuaca ekstrem yang bisa memicu banjir dan longsor.

Secara umum, awal musim kemarau dimulai Mei-Juni 2016. Sebanyak 31,6 persen zona musim (ZOM)-kawasan dengan perbedaan musim yang jelas-sudah memasuki masa transisi dari musim hujan ke musim kemarau, antara lain Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara 68,4 persen lainnya masih musim hujan.

“Namun, kemarau ini diisi curah hujan tinggi karena gangguan cuaca. Akan ada tiga gangguan cuaca, yakni La Nina, Dipole Mode Negatif, dan fenomena Osilasi Madden-Julian (MJO),” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Andi Eka Sakya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (3/6). Ketiganya memengaruhi tingginya curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pada Juni 2016, seharusnya mayoritas wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera bagian barat, Jawa, Kalimantan, hingga Sulawesi, mengalami curah hujan menengah 100-300 mm. Sumatera bagian timur, kepulauan Nusa Tenggara, dan Papua bagian selatan mencapai curah hujan rendah atau menengah, 50-150 mm.

Namun, seiring adanya La Nina, Dipole Mode Negatif, dan MJO, peluang hujan melebihi kriteria menengah, lebih dari 150 mm. Pada Juni 2016, sebagian wilayah Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan dan timur, Kalimantan Utara, Sulawesi, Maluku, dan Papua berpeluang lebih dari 90 persen mengalami curah hujan di atas kriteria menengah.

La Nina diprediksi Juli-September 2016, yang diperkuat hasil prediksi suhu permukaan laut yang menunjukkan suhu permukaan Pasifik Timur kian mendingin. Arus laut dingin bergerak ke timur, sedangkan yang hangat bergerak ke arah Indonesia.

Hal serupa terjadi di Samudra Hindia, tepatnya di Afrika Timur. Pendinginan arus laut terjadi, sedangkan suhu muka laut Indonesia lebih hangat. Fenomena ini dikenal dengan nama Dipole Mode Negatif.

9f9afa4c461e4a7fbac62d5cb24ee3e6Indeks Dipole Mode Negatif Mei-Juni 2016 mencapai suhu minus 0,53 derajat celsius. “Tren negatif ini diperkirakan akan berlangsung sampai September 2016,” kata Andi. Baik La Nina maupun Dipole Mode Negatif menimbulkan kelebihan pasokan uap air ke Indonesia, yang menyebabkan curah hujan tinggi.

Adapun fenomena MJO merupakan perenggangan dan perapatan udara dari Samudra Hindia ke bagian timur. “Kondisi ini berpotensi menyebabkan curah hujan tinggi di Sumatera, Kalimantan Barat dan Selatan, dan Jawa,” kata Eka. MJO terjadi mulai akhir minggu ini.

Dampak cuaca
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, dampak dari ketiga fenomena itu tidak sama antara satu zona musim dan yang lain. “Indonesia luas, pulaunya banyak, jadi dampaknya akan berbeda-beda,” katanya.

Sebagai contoh, sekalipun wilayah barat Sumatera, Jawa, dan Kalimantan diprediksi mengalami curah hujan tinggi, wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara diperkirakan curah hujan rendah.

Di daerah dengan curah hujan tinggi, Andi mengingatkan, terdapat dampak tertentu, antara lain kondisi yang kondusif untuk padi dan jagung. Namun, tidak baik untuk petani garam, tembakau, bawang, dan cabe. Selain itu, juga terdapat potensi banjir dan terjadinya penyakit, seperti demam berdarah.

Gangguan cuaca itu juga dapat berdampak terhadap tinggi gelombang laut, terutama di Samudra Hindia. Pada minggu pertama Juni, misalnya, tinggi gelombang Samudra Hindia berkisar 2,5-5 meter. “Ini bisa berdampak pada pelayaran. Distribusi logistik bisa terganggu jika gelombang laut tinggi,” katanya.

Andi mengatakan, rekapitulasi bencana 29-31 Mei 2016 menunjukkan, cuaca ekstrem juga membawa bencana, setidaknya di 10 lokasi di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Papua, Sulawesi Tengah, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. “Terjadi puting beliung di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang mengakibatkan 32 rumah rusak. Ada juga hujan lebat di Jombang yang mengakibatkan banjir,” kata Andi. (C01/YUN)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2016, di halaman 13 dengan judul “Indonesia Hadapi Kemarau Basah”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB