Hemofilia; Deteksi Dini Sebelum Terlambat

- Editor

Sabtu, 6 September 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Asep Ruswiadi (44) semula tak tahu putra sulungnya, Muhammad Ade Nastyar (18), menderita hemofilia. Lebam yang selalu muncul di tangan dan kaki Ade saat kecil dikira karena perbuatan makhluk halus. Alih-alih dibawa berobat ke fasilitas layanan kesehatan, anaknya itu malah dibawa ke dukun.

Bukan sembuh, lebam yang diderita Ade justru kian parah hingga akhirnya hilang dengan sendirinya. Lalu, di usia satu tahun, tiap bangun tidur, bantal dan kasur Ade selalu bernoda darah. Namun, Asep masih tak terpikir untuk membawa anaknya ke dokter.

Hingga akhirnya pada usia tujuh tahun, Ade mengalami luka parah di bagian siku. Saat itu, Asep membawa putranya ke puskesmas. Namun, saat kembali lagi ke puskesmas untuk membuka perban, Ade dirujuk ke rumah sakit.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

”Dari situ, saya mulai bertanya, kenapa hanya untuk membuka perban harus dirujuk ke rumah sakit,” tutur Asep. Ia pun tak segera membawa putranya ke RS sebelum mendapat penjelasan. Namun, karena siku Ade membengkak, Asep dan istri berangkat ke RS.

Setelah di RS dan perban dibuka, Ade kehilangan banyak darah karena sikunya tak berhenti mengeluarkan darah. Saat itu, Ade diharuskan menjalani operasi. Asep pun menyepakati dan mengetahui bahwa anaknya menderita hemofilia. ”Saya bersyukur akhirnya tahu sehingga penanganan selanjutnya bisa tepat,” kata Asep, Senin (1/9).

Dokter RS Umum Daerah (RSUD) Tangerang dari Divisi Hematologi dan Onkologi Anak, Rini Purnamasari, mengatakan, minimnya pengetahuan masyarakat terkait hemofilia mengakibatkan penanganan yang dilakukan menjadi salah kaprah. Akibatnya, sebagian besar pasien baru berobat ke RS dalam kondisi parah.

Di Banten, ada sekitar 33 pasien hemofilia. Lebih dari 50 persen pasien itu datang ke dokter saat kondisinya memburuk. Di Indonesia, diperkirakan ada 20.000 penderita hemofilia. Namun, baru 1.737 orang yang tercatat. ”Biasanya datang kakinya sudah pincang, jalan saja susah,” kata Rini.

Hemofilia adalah penyakit pada sistem pembekuan darah. Perdarahan umumnya sulit berhenti, terjadi pada jaringan lunak dan persendian yang ditandai dengan munculnya lebam. Bagian paling rentan mengalami perdarahan adalah lutut. Karena itu, para penderita hemofilia tak boleh menjalani aktivitas yang terlalu banyak berkontak fisik.

Penyakit itu adalah penyakit keturunan yang diturunkan dari ibu ke anak laki-lakinya. Dalam hal ini, ibu tak menderita hemofilia, hanya membawa gennya.

Rini menjelaskan, hemofilia bisa dilihat sejak anak masih balita. Biasanya, saat mulai merangkak, lebam akan muncul di sekitar lutut. Lalu, perdarahan susah berhenti saat giginya tumbuh. Tanda lain adalah perdarahan di hidung atau dikenal dengan mimisan dengan frekuensi sering. ”Kalau melihat gejala itu, segera bawa anak ke dokter agar bisa segera tertangani. Jika tak segera ditangani, anak bisa cacat, bahkan meninggal,” ujarnya.

Terkait hal itu, sejumlah orangtua dari anak dengan hemofilia mendirikan Tim Pelayanan Terpadu Hemofilia-Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Banten yang berlokasi di RSUD Tangerang. Mereka menyebarkan informasi terkait hemofilia dan menggalang bantuan agar pasien tak terlambat ditangani.

Selain minimnya informasi, tantangan lain adalah mahalnya biaya terapi. Biaya sekali terapi mencapai Rp 40 juta. Bagi pasien yang jadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, biaya terapi ditanggung. Ke depan, biaya semestinya tak lagi jadi kendala. (A04)

Sumber: Kompas, 6 September 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB