Gambut Tidak Terpulihkan

- Editor

Sabtu, 19 September 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kembalikan Fungsi sebagai Penyimpan Air
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyatakan, selain efek asap tidak sehat dan mengganggu ekonomi, pembakaran lahan gambut juga termasuk kejahatan sosial, kemanusiaan, dan ekologi. Kebakaran akan menghilangkan gambut selamanya.

“Gambut kalau rusak, apalagi terbakar dalam skala luas dan berulang, tidak akan bisa dipulihkan. Tatanan kehidupan mikroba, tumbuhan, dan binatang hancur,” kata Guru Besar Riset Tukirin Partomihardjo, yang juga pakar biologi tumbuhan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kamis (17/9) di Jakarta.

Lahan gambut merupakan serasah daun/ranting tumbuhan yang terjebak dalam cekungan yang terisi air ratusan hingga ribuan tahun. Akibat ulah manusia yang rakus lahan, gambut dalam dieksploitasi dengan cara dikeringkan sebagai lokasi budidaya perkebunan atau hutan tanaman industri skala besar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pengeringan umumnya menggunakan metode kanal sehingga gambut mengalami “pendarahan”. Gambut alam, kata Tukirin, bersifat tak mudah terbakar. Gambut punya kemampuan tinggi menyerap air hingga lima kali berat gambut.

“Gambut terbakar karena salah pengelolaan. Ketika kering dan terbakar, sangat sulit dipadamkan karena gambut jadi bahan bakar,” kata peneliti di Pusat Penelitian Biologi LIPI itu.

Pada saat terbakar, material organik penyusun gambut berubah jadi abu. Pembakaran yang menghasilkan abu, selain murah dan cepat, mengatasi keasaman alami gambut.

8da4d0e3fba74435b135497e089e52e0KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Prajurit dan relawan memadamkan api yang membakar semak belukar lahan gambut di Kelurahan Simpang Pelabuhan Dalam, Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (12/9). Gambut yang terbakar, secara alami tidak akan pulih seperti semula karena berbagai material di dalamnya hancur.

Perubahan susunan material gambut membuat fungsi gambut sebagai penyimpan air berkurang. Selain itu, layanan alam ekosistem gambut sebagai penghasil oksigen (0,07 gram per pohon per hari), penyerap emisi karbon, pengatur suhu dan kelembaban udara, serta fungsi lain pun tak tersedia lagi.

“Belum lagi mikroba di gambut mati sebelum kita tahu manfaat bagi manusia,” katanya di sela Diskusi Publik: Hasil Penelitian LIPI terkait Kebakaran Hutan: Kebijakan, Dampak, dan Solusi.

Prof Herman Hidayat, peneliti kebijakan kehutanan, menyebutkan, pemerintah seakan tak pernah belajar dari kebakaran lahan yang dominan di gambut belasan tahun terakhir. “Gambut, terutama kedalaman lebih 3 meter, tak boleh untuk sawit atau akasia,” ujarnya.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut B Pandjaitan, saat memimpin rapat penanganan kebakaran hutan Selasa lalu, juga mengakuinya.

“Tolong identifikasi lahan gambut mana saja dan berapa persen yang kebun, karena itu kesalahan kita beri izin,” katanya kepada Gubernur.

Suksesi alami
Pada praktiknya, hingga kini ekstensifikasi budidaya di lahan gambut dalam terus berjalan. Karena itu, Herman mendukung dan mendorong agar meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum bagi aktivitas budidaya di lahan gambut dalam.

“Pemerintah harus menarik izin yang dikeluarkan. Kembalikan fungsi gambut sebagai penyimpan air, karena tidak feasible secara ekonomi dan highcost untuk kebun atau HTI,” katanya.

Gambut yang disodet atau dikanal agar disekat sehingga air tak terbuang ke sungai atau laut.

Menurut Tukirin, pembasahan lagi gambut akan memulai suksesi alami. Namun, hanya tumbuh flora paku-pakuan, seperti Nephrolepis spp, Blechnum spp, dan Stenchlaena palustris. “Namun, tidak ada tumbuhan berbunga yang mampu bertahan dan tumbuh setelah kebakaran.”

Lahan gambut dalam yang terbakar, katanya, bisa ditanami tumbuhan asli gambut seperti jelutung, ramin, dan ulin. Itu perlu upaya lebih karena kondisi lingkungan sudah berubah sehingga penyusun ekosistem tak bisa lagi seperti semula. (ICH)
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2015, di halaman 13 dengan judul “Gambut Tidak Terpulihkan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB