Hadapi Tantangan Zaman
Filsafat profesional masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Padahal, filsafat mengajarkan pemikiran rasional, bertanggung jawab, dan kritis. Hal itu sangat dibutuhkan untuk membebaskan masyarakat dari pemikiran ideologis manipulatif dan rangsangan kapitalisme.
Demikian salah satu gagasan yang disampaikan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis-Suseno, Jumat (19/9), dalam pembukaan Simposium Internasional Filsafat Indonesia bertema ”Mencari Sosok Filsafat Indonesia”, di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Menurut Magnis, pada abad ke-21 yang penuh tantangan intelektual ini, bangsa Indonesia tidak boleh lagi mengabaikan ilmu kritis filsafat. ”Situasi pengabaian filsafat profesional dalam kehidupan intelektual sangat merugikan. Kita tidak boleh mengabaikan ilmu kritis yang justru mau membantu menanggulangi tantangan-tantangan itu,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akhir abad ke-20 lalu, filsafat seolah-olah kehilangan pekerjaan karena penjelasan tentang makna hidup telah diambil oleh agama, pengetahuan ditangani ilmu-ilmu khusus, dan program-program politik menjadi ranah ideologi. Di antara hal-hal itu, yang tidak terwadahi oleh semuanya adalah kritik. Di sinilah filsafat tetap menjalankan perannya.
”Peran filsafat semakin diperlukan di alam sosial yang ditentukan oleh globalisasi komunikasi dan kekuasaan media visual yang bisa memberi kesan-kesan yang secara emosional teramat kuat, bahkan meyakinkan, tetapi justru tidak terikat pada kebenaran,” papar Magnis.
Di Indonesia, Magnis melihat tiga sosok filsuf yang dia nilai orisinal, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana, Tan Malaka, dan Nicolaus Driyarkara. Sutan sendiri terkenal dengan gagasannya bahwa filsafat sangat penting memperdalam sikap rasional masyarakat, Tan Malaka lewat bukunya Madilog hendak mengajak Indonesia keluar dari ”logika mistika” perdukunan ke sikap logis, dan Driyarkara yang berusaha mengangkat kekhasan dan martabat manusia.
Filsuf Indonesia
Guru Besar Universitas Indonesia Toeti Heraty Noerhadi Rooseno dalam paparannya mengatakan, tahun 1984 terbit ensiklopedia filsuf oleh Presses Universitaires de France yang di dalamnya terdapat 15 nama filsuf Indonesia. Mereka adalah Agus Salim, Sutan Takdir Alisjahbana, Driyarkara, Hamka, Soemantri Hardjoprakoso, Ki Hajar Dewantara, Mangkunegara IV, Mpu Kanwa, Mpu Tantular, Muhammad Natsir, Notonagoro, Pakubuwana IV, Ranggawarsita, Soekarno, dan Yasadipura.
”Dalam waktu terbatas, saya diminta Sutan Takdir Alisjahbana untuk mengisi ensiklopedia itu dan setelah diperoleh 15 entry, ternyata masih ada dua nama yang terlupakan, yaitu Tan Malaka dan Hamzah al-Fansuri. Ketika akan diusulkan lagi ternyata harus menunggu 50 tahun lagi,” ungkapnya.
Yang memprihatinkan, pada 2009, saat terbit ensiklopedia filsuf terbaru, semua nama filsuf Indonesia hilang. Diduga, hal itu terjadi karena korespondensi dengan Sutan Takdir Alisjahbana tidak mendapat respons dari universitas nasional.
Ketua Penyelenggara Simposium Internasional Filsafat Indonesia Jaya Suprana beranggapan, dalam diskursus formal ataupun perbincangan informal, nyaris tidak pernah terdengar pembahasan tentang filsafat Indonesia.
”Saya begitu jengkel dan marah mengapa yang sering dibicarakan hanya filsafat Yunani, Mesir, Perancis, Jerman, Inggris, dan sebagainya. Saya yakin bahwa pemikir-pemikir Indonesia, seperti Ranggawarsita, Tan Malaka, Sutan Takdir Alisjahbana, Soekarno, atau Driyarkara, tidak kalah bijak dari filsuf-filsuf luar negeri,” kata dia.
Jaya beranggapan, tanpa harus menunggu pengakuan dari pihak mana pun, masyarakat Indonesia sebenarnya mampu memproklamirkan kedaulatan filsafat Indonesia.
”Kami bersatu padu tanpa harus menunggu pengakuan pihak mana pun untuk mengakui mahakarya gagasan pemikir Indonesia sebagai filsafat Indonesia,” ungkapnya.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti membenarkan bahwa ilmu filsafat penting dan sangat dibutuhkan. Ini solusi untuk menjelaskan mengapa akhir-akhir ini banyak terjadi krisis moral dan perlunya revolusi mental. Oleh karena itu, harus kita dukung institusi dan sumber daya manusia ilmu filsafat.
”Selama ini memang tidak seimbang. Kalau mencari beasiswa filsafat susah, sementara untuk ilmu teknik mudah. Kita perlu menyeimbangkannya,” kata Wiendu. (ABK)
Sumber: Kompas, 20 September 2014