Catatan Iptek; Tentang Kependudukan

- Editor

Rabu, 11 November 2015

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jumlah penduduk dunia terus meningkat dalam waktu yang makin pendek. Badan PBB untuk Pendanaan Kependudukan (UNFPA) mencatat, untuk mencapai 2 miliar penduduk, dibutuhkan 127 tahun dan 33 tahun untuk 3 miliar penduduk. Namun, hanya butuh 12-14 tahun untuk mencapai 4, 5, 6, dan 7 miliar penduduk, tahun 2011. Pertumbuhan yang tinggi terjadi di negara berkembang dan kurang berkembang.

Nira Yuval-Davis dalam Gender and Nation (1997) mengungkapkan tiga diskursus yang secara historis melandasi kebijakan kependudukan di tingkat nasional dan internasional. Yaitu, diskursus ”penduduk sebagai kekuatan”, diskursus Malthusian, dan diskursus eugenicist. Semuanya menggunakan tubuh perempuan sebagai ”arena pertempuran” dari kebijakan yang diambil para patriarkh.

Campur tangan
Wacana eugenicist muncul awal abad-20, mengandaikan hanya ”gen superior” yang boleh direproduksi, dimulai dari zaman Nazi. Dipadu dengan konsep diskursif mengenai ras, kelas dan jender, wacana eugenicist mengesahkan campur tangan negara, khususnya dalam urusan hak reproduksi perempuan kulit hitam di Amerika Serikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Argumen itu dapat menjawab dugaan pelanggaran etika dan hak asasi manusia di AS terkait uji coba kontrasepsi dan pemaksaan sterilisasi di kalangan ”liyan”, antara lain perempuan penduduk asli, perempuan hitam, hispanik, dan para tahanan.

Praktik itu juga ditengarai dalam kebijakan kependudukan yang koersif pada beberapa negara berkembang, khususnya, terhadap perempuan dari kasta rendah, kaum minoritas, dan kelas sosial bawah, yang merembet dalam aturan atau kebijakan terkait hubungan antarmanusia.

Diskursus ”penduduk sebagai kekuatan” diimplementasikan dalam kebijakan banyak anak, yang memaksa perempuan terus melahirkan. Diskursus ini ditengarai dalam kebijakan pro-natalis, di mana reproduksi dilebur menjadi aspek krusial dari proses pembangunan nasional bangsa.

wpid-saNamun, yang paling mendominasi kebijakan kependudukan di negara berkembang adalah wacana Malthusian. Dalam Essay on Population (1798), ahli ekonomi Thomas Malthus (1766-1834) menyatakan, reproduksi manusia cenderung merupakan deret ukur (2, 4, 8…), sedangkan pasokan bahan pangan hanya tumbuh secara aritmatik (1, 2, 3…). Konsekuensinya adalah kemiskinan, kehancuran lingkungan, perang berebut sumber daya, wabah penyakit, dan lain-lain.

Kompleks
Paul Ehrlich dalam The Population Bomb (1968) dan The Population Explosion (1991) meramalkan, ”ratusan juta manusia yang kelaparan” akan mati kalau pertumbuhan penduduk tidak dihentikan. Pandangan ini ditepis banyak ahli, antara lain oleh Julian Simon, dalam The Ultimate Resource (1981).

Aktivis-penulis Francis Moore Lappe dan pakar ilmu politik Susan George mengatakan, kemiskinan, keserakahan, dan relasi-kuasa yang timpang adalah akar kehancuran sumber daya, bukan jumlah penduduk.

Banyak penelitian menunjukkan, model pembangunan yang diadopsi negara berkembang menyebabkan struktur sosial-ekonomi tidak seimbang. Akses besar dari segelintir orang pada kekuasaan dan sumber daya membuat hak warga akan keamanan hidup tidak terjamin. Kemiskinan dan pengabaian negara memenuhi hak dasar warga menyebabkan buruknya kondisi kesehatan dan gizi bayi, membuat angka kelahiran sekaligus angka kematian ibu, melaju.

Pada tahun 2025, 50-60 persen penduduk akan bermukim di perkotaan. Distribusi penduduk menjadi isu serius, di samping migrasi besar-besaran melampaui batas negara akibat perang dan kelaparan. Selain itu, juga faktor laten yang kait-mengait, seperti tingkat pendidikan, kesehatan, status dan hak perempuan, budaya dan agama, tingkat demokrasi, serta berbagai dampak perjanjian perdagangan yang ditandatangani pemerintah.

Semua itu merupakan bagian penting sejarah kemanusiaan yang dibutuhkan untuk memberi pemaknaan baru pada narasi tentang kependudukan.–MARIA HARTININGSIH
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 November 2015, di halaman 14 dengan judul “Tentang Kependudukan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB