Catatan Iptek; Energi Terbarukan

- Editor

Rabu, 19 November 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Antrean  panjang kendaraan bermotor di pompa bensin kembali terjadi saat Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM, Senin (17/11) malam. Apa boleh buat, sebagai negara dengan ketergantungan pada energi fosil yang masih sangat tinggi, 94 persen dan sebagian besar impor, anggaran negara untuk subsidi menjadi amat tinggi.


Selama 69 tahun merdeka, Pemerintah Indonesia memang abai mengembangkan diversifikasi energi. Akibatnya, hampir semua kebutuhan energi dipasok dari migas. Padahal, cadangan minyak kita hanya cukup untuk 23 tahun lagi. Sementara cadangan gas masih 50 tahun dan batubara 80 tahun. Itu pun Indonesia lebih banyak impor saat ini.

Padahal, dunia sudah lama bergerak ke arah energi baru dan terbarukan. Selain lebih berkelanjutan dan setelah investasi biaya operasionalnya relatif murah, energi terbarukan menjadi alternatif yang efektif untuk mengurangi emisi karbon.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Tiongkok adalah negara paling progresif mengembangkan energi terbarukan. Laporan berjudul ”Lagging Behind: Australia and The Global Response to Climate Change” dari Climate Council menyebutkan, Tiongkok telah menutup banyak pembangkit listrik yang menggunakan batubara setara dengan 77 gigawatt (GW) energi listrik yang dihasilkan sepanjang 2006-2010. Tahun depan, menurut rencana, akan ditutup lagi pembangkit listrik serupa yang berkekuatan 20 GW.

Australia sebenarnya merupakan negara pro energi terbarukan dengan 14,76 persen energi berasal dari sumber daya energi berkelanjutan. Namun, berbagai perubahan kebijakan membuat investasi untuk energi terbarukan menurun hingga 70 persen pada tahun lalu.

Tidaklah mengherankan jika menjelang ajang G-20 di Brisbane, Australia, pekan lalu, Perdana Menteri Australia Tony Abbott didorong kembali meningkatkan penggunaan energi terbarukan dan mengajak anggota G-20 melakukan hal sama.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), upaya pengurangan emisi menjadi keharusan karena dampak perubahan iklim semakin signifikan, yaitu kenaikan suhu yang memicu cuaca ekstrem. IPCC menyerukan pengurangan gas rumah kaca, terutama karbon, yang jika tak dicegah membuat suhu Bumi naik 2 derajat celsius. Kelihatannya sedikit, tetapi yang terjadi adalah perubahan cuaca dan iklim yang tidak hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga ketersediaan pangan yang akan mengancam kelangsungan hidup di Bumi.

Tidak dimanfaatkan
Menjadi ironi karena Indonesia yang memiliki sumber daya energi terbarukan sangat besar justru mengabaikannya. Ketersediaan angin, sinar matahari, air, dan bahkan panas bumi sepanjang tahun tidak pernah optimal dimanfaatkan. Ada panel listrik tenaga surya, mikrohidro, tenaga angin, bahkan biodiesel dan bioetanol, tetapi semuanya dalam skala kecil dan tidak terintegrasi. Padahal, potensinya luar biasa. Mikrohidro, misalnya, sekitar 450 MW, biomassa 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m persegi/hari, dan energi angin 3-6 m/detik (www.esdm.go.id).

Meski ada Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, upaya pengembangan energi baru terbarukan ini ternyata tidak jalan. Padahal, dalam Perpres itu sudah disebutkan bahwa kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional 2025 mencapai 17 persen. Komposisinya adalah bahan bakar nabati 5 persen, panas bumi 5 persen, biomassa, nuklir, air, surya, dan angin 5 persen, serta batubara yang dicairkan 2 persen.

Kenyataannya, bukan pemerintah yang bertindak mengembangkan sumber daya alam berkelanjutan. Justru banyak perusahaan swasta yang mengembangkan energi terbarukan untuk membantu masyarakat di sekitarnya dalam program tanggung jawab sosial korporasi yang dikenal dengan CSR.

Di Jawa Timur, ada PT Jawa Power yang membangun banyak pembangkit mikrohidro untuk desa-desa terpencil yang tidak terjangkau listrik PLN. Di Bontang, Kalimantan Timur, PT Badak LNG mengajarkan pemanfaatan kotoran sapi untuk menghasilkan biodiesel, sumber energi untuk memasak dan penerangan.

Kembali ke kenaikan harga BBM, pemerintah akan kembali menghadapi hal sama jika kebijakannya tidak pernah mengupayakan kedaulatan energi. Atau, inikah yang diinginkan?

Oleh: Agnes Aristiarini

Sumber: Kompas, 19 November 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 0 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Rabu, 23 Maret 2022 - 08:48 WIB

Gelar Sarjana

Minggu, 13 Maret 2022 - 17:24 WIB

Gelombang Radio

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB