Bangsa Jepang, Bangsa Pembelajar

- Editor

Selasa, 22 Maret 2011

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sekalipun dalam kondisi krisis akibat gempa bumi dan tsunami, disusul radiasi nuklir akibat bocornya PLTN Fukushima Daiichi, masyarakat Jepang menunjukkan kebersamaan dan kekuatan karakter untuk bangkit kembali. Sikap itu berangkat dari kemauan melakukan otokritik atas apa yang sudah dipersiapkan dan apa yang seharusnya dilakukan pada masa depan.

Berbeda dengan Jepang, saat bencana mendera Indonesia, seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi yang susul-menyusul dalam enam tahun terakhir, terlihat betul kelemahan bangsa ini, dari ketidaksiapan infrastruktur, kacaunya manajemen bencana, hingga penjarahan oleh masyarakat.

Kekeliruan itu terus berulang hingga gempa dan tsunami terakhir melanda Mentawai serta Gunung Merapi meletus, akhir tahun 2010 lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bahkan, negara maju lain, seperti Amerika Serikat, terbukti tidak sekuat Jepang saat menangani badai Katrina. Penjarahan terjadi di wilayah Louisiana setelah badai terjadi.

Pakar bencana dan gempa Jepang yang ditemui wartawan Kompas Ahmad Arif setelah gempa dan tsunami mengakui, bencana kali ini melampaui perkiraan dan antisipasi yang telah dilakukan. Namun, mereka yakin mampu belajar dari bencana ini untuk bersiap diri lebih baik mengantisipasi bencana berikutnya.

Teruyuki Kato, profesor gempa dari Earthquake Research Institute The University of Tokyo, mengatakan, banyaknya korban yang jatuh dalam gempa bumi dan tsunami terjadi karena pemerintah dan ilmuwan gagal mengantisipasinya.

”Kami sudah menerapkan sistem pencegahan tsunami, juga pendidikan kepada masyarakat agar waspada bencana. Ternyata bencananya lebih besar dari perhitungan,” katanya.

Kato mengatakan, para ilmuwan di Jepang sudah memperkirakan terjadi gempa bumi di sekitar Miyagi. ”Perkiraannya terjadi dalam 30 tahun ini dengan kemungkinan 99,9 persen. Kekuatan gempanya diperkirakan hanya 7,4 skala Richter dengan tsunami maksimal 6 meter,” ujarnya.

Karena itu, Pemerintah Jepang telah membangun tanggul di sepanjang pantai dengan ketinggian 10 meter. Ia menambahkan, ”Namun, tsunaminya ternyata lebih besar. Kami harus belajar lebih banyak lagi ke depan.”

Semangat untuk mengoreksi kesalahan dan membangun lebih baik disampaikan Yozo Goto, ahli gempa di universitas yang sama. Gempa Kobe tahun 1981 membuat Pemerintah Jepang menetapkan standar bangunan tahan gempa hingga skala 6 MMI.

Dari pengalaman itu, gempa pekan lalu hampir tidak merusak bangunan dan infrastruktur jembatan, bahkan rel kereta api. ”Yang jadi masalah sekarang, tsunami. Sekuat apa pun bangunannya, kalau kena tsunami, akan terlewati dan bisa roboh. Ini tantangan ke depan,” kata Goto.

Yamamoto Nobuto, profesor di Departemen Politik Keio University, Tokyo, mengatakan, Pemerintah Jepang sebenarnya tak siap dan terlambat mengatasi bencana ini. Penyaluran bantuan kurang baik. Sepekan setelah bencana, distribusi bantuan masih tersendat. Namun, warga Jepang di pengungsian sangat kuat dan tidak mengeluh.

”Masyarakat di pedesaan, khususnya di utara, seperti Tohoku, punya rasa memiliki komunitas yang kuat. Saya lihat tayangan di televisi, ada kakek-kakek di pengungsian yang membuat sumpit karena ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Intinya, masyarakat tidak akan menuntut banyak,” paparnya.

Di beberapa titik pengungsian di Kesennuma, Miyagi, nyaris tak ada keluhan dari para pengungsi sekalipun mereka dalam kondisi sulit, misalnya tak ada pemanas di tengah suhu di bawah nol derajat celsius. Mereka bersikap tenang dan antre dengan tertib.

Nobuto menambahkan, media massa di Jepang memiliki peran penting membangun karakter bangsa. Saat ada bencana besar, seluruh jam tayang iklan di televisi dibeli pemerintah untuk menyiarkan layanan masyarakat perihal bagaimana seharusnya berbagi dan berbuat baik.

Pendidikan karakter

Bambang Rudyanto, profesor di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Wako University, mengungkapkan, karakter masyarakat Jepang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari yang dipelajari dari komunitasnya. Untuk pendidikan dasar, mereka lebih mementingkan pembentukan karakter dibandingkan dengan kognisi.

Nilai tradisional juga dipegang teguh, misalnya ajaran bushido. Mereka diajari untuk bersifat kesatria.

”Ada juga istilah gaman zuyoi, artinya kita harus tabah, yang diungkapkan saat menghadapi masalah,” kata pria yang telah 22 tahun tinggal di Jepang ini.

Sumber: Kompas, 22 Maret 2011

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB
Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Berita ini 1 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 1 April 2024 - 11:07 WIB

Baru 24 Tahun, Maya Nabila Sudah Raih Gelar Doktor dari ITB

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 3 Januari 2024 - 17:34 WIB

Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB