Bandara Internasional Soekarno-Hatta; Kekhasan Desain Tropis dan Karya Seni

- Editor

Senin, 6 Juni 2016

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kala menapakkan kaki di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta yang terletak di Kota Tangerang, Banten, mungkin yang ada hanya terburu-buru antre dan ”check-in”. Padahal, di tengah banyaknya berita kurang sedap soal bandara ini, Soekarno-Hatta sebenarnya bangunan dengan konsep unik dan desain khas Nusantara.

Tidak percaya? Coba saja berjalan mengelilingi terminal sejak di bagian depan hingga koridor-koridornya. Tiupan angin akan selalu menyapa membelai tubuh. Angin bebas menerobos bagian dinding yang dibiarkan terbuka. Lalu, nikmati taman berumput hijau, bunga indah, dan pepohonan tropis di sisi kiri dan kanan koridor ini.

Koridor panjang di bagian kedatangan dan penjemputan, berupa bangunan beratap rendah berkonstruksi pipa besi, membentang dari Terminal 1 A hingga C. Di atap koridor, bergantungan barisan lampu hias berukir dalam ukuran besar. Tiang-tiang berukiran khas Jawa tegak dan mempercantik ruangan. Pinggir tangga menuju anjungan pengunjung atau pengantar di setiap terminal berhias dua patung kala makara buatan seniman Yogyakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Ada juga joglo untuk boarding lounge, yang memisahkan satu terminal dengan terminal lainnya. Di depan lounge VIP ini terdapat patung yang dibuat seniman Betawi.

Terminal 2 tak jauh beda. Namun, sesuai fungsinya yang lebih banyak melayani kedatangan dan keberangkatan ke luar negeri, terminal ini dilengkapi elemen hiasan lebih modern. Bangunannya lebih tertutup dan banyak bermain dengan kaca. Jika di Terminal 1 menggunakan lantai batu bata yang dipesan khusus dari Bekasi, Terminal 2 memakai marmer.

Pengamatan dari ketinggian puncak Gedung 600, Kantor Pusat PT Angkasa Pura II, bangunan Terminal 1 berupa gabungan rumah panjang dan joglo. Terminal 2 khas dengan lebih banyak bangunan rumah panjang dan sedikit joglo.

02b65c437b55407cbf46774d77251cc6KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Penumpang memasuki Terminal 1 Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (3/6). Terminal 1 dan 2 Bandara Soekarno-Hatta dibangun dengan konsep tropikal, dengan ciri bangunan yang terbuka dan koridor rumah panjang.

”Desain bangunan Terminal 1 dan Terminal 2 memang sedikit berbeda, tetapi mirip. Sesuai instruksi Presiden RI, saat itu Soeharto. Harus memiliki komponen sama, yakni ada joglo dan rumah panjang,” ujar Direktur Operasi dan Teknis Djoko Muratmodjo, Kamis (2/6). Djoko ikut terlibat dalam pembangunan Terminal 1 dan Terminal 2.

Perancang bandara Paris
Direktur Utama PT Angkasa Pura II Budi Karya Sumadi mengatakan, Paul Andreu, sang arsitek dari Perancis, merancang Soekarno-Hatta agar para pendatang, terutama dari luar daerah dan luar negeri, yang tiba akan langsung merasakan Indonesia dalam paduan alam tropis dan budaya lewat karya seni tinggi. Paul juga merancang Bandar Udara Charles de Gaulle di Paris.

Seperti ditulis dalam buku Arsitektur di Luar Jangkauan Arsitektur (Badan Sistem Informasi Arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia, 1996), Paul Andreu mendesain Bandara Soekarno-Hatta untuk menyediakan fasilitas anjungan bagi pengunjung untuk berkumpul atau berkontemplasi, baik perorangan maupun kelompok. Hal itu berbeda dengan bandar udara lain yang lebih menekankan pergerakan manusia secara efisien.

Ruang berkumpul dan berkontemplasi itu ditonjolkan melalui courtyard yang terbentuk dari beberapa anjungan yang diberi sentuhan lanskap pohon, semak, dan tumbuhan tropis. Kalau mau memperhatikan lebih saksama, taman-taman courtyard bak lukisan di hadapan pengunjung yang menyegarkan mata. Sampai sekarang, ciri khas itu masih dipertahankan di Terminal 1 dan 2.

Djoko Muratmodjo menjelaskan, dalam sejarah perkembangan penerbangan, kehadiran Terminal 1 dan Terminal 2 telahmewakili bangunan pada era 1980-an. Pada 1980-1990-an, bandara hanya dirancang secara fungsional untuk menaikkan-menurunkan penumpang serta landing dan take-off pesawat.

Dalam perkembangan selanjutnya, era 1990-2000-an, orang sudah berpikir membuat bandara komersial yang tidak hanya berfungsi sebagai infrastruktur transportasi, tetapi juga untuk kegiatan usaha. Bandara yang memulai pembangunan dengan fungsi komersial adalah Bandara Narita dan Haneda. Di kedua bandara itu ada mal dan toko komersial yang meramaikan bandara.

Pada era 2000-2010, bandara dikembangkan dengan konsep self financing yang ditunjukkan dengan mal bandara atau bandara di dalam mal.

Tujuannya, agar bandara bisa membiayai sendiri kegiatan di dalamnya dan tidak bergantung pada bisnis transportasi semata. Contohnya adalah Bandara Schiphol (Belanda), Changi (Singapura), dan Hongkong (Hongkong).

Pembangunan bertahap
Rencana pembangunan Bandara Internasional Soekarno-Hatta sudah ada sejak 1980 karena keterdesakan meningkatnya pengguna jasa penerbangan. Sebelumnya, tahun 1970-an di Jakarta terdapat dua bandara, yakni Bandara Kemayoran yang melayani penerbangan domestik dan Bandara Halim Perdanakusuma yang berfungsi sebagai pangkalan militerdan melayani penerbangan internasional.

Presiden Soeharto saat itu mengharuskan pembangunan bandara baru. Maka, pada 1978 dan 1979 berbagai kajian internasional dibuat, tetapi akhirnya yang dipilih adalah dari Perancis.

46828195”Dipilihnya Perancis karena saat itu negara ini sangat unggul dalam teknologi penerbangan,” kata Djoko.

Selain menggunakan arsitektur asal Perancis, Paul Andreu, pembangunan bandara tersebut mendapat bantuan dana dari pemerintah negara itu. Pembangunannya dilakukan Perancis Aeroports du Paris.

”Awalnya, di Terminal 1A (yang melayani penerbangan internasional) terdapat hoteldengan 7 sampai 10 kamar. Namun, saat ini hotel sudah tidak beroperasi lagi,” papar Djoko.

Setelah Terminal 1 beroperasi, Djoko yang saat itu menjadi perencana dan membuat perhitungan pendanaan proyek ini langsung mempersiapkan pembangunan Terminal 2. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1987, pembangun Terminal 2 dimulai. Terminal ini dioperasikan tahun 1992.Setelah jadi, penerbangan internasional dipindah ke terminal baru ini.

Cakar ayam Pembangunan Terminal 1 dan Terminal 2 punya sejarah. Mengingat awal lokasi bandara ini rawa,pengerasan lahan landasan, apron, dan terminal membutuhkan pengurukan tanah hingga setinggi 7 meter. Tersebutlah nama Sedyatmo, seorang ahli konstruksi Indonesia. Ia mengusulkan, agar lebih efisien,tanah tidak diuruk setinggi 7 meter. Ia usul menggunakan sistem cakar ayam. Usulan itu disetujui Soeharto.

Sistem cakar ayam juga digunakan untuk pembangunan tol Jakarta-Bandara Soekarno-Hatta. Sebagai penghargaan atas ide inovasi anak bangsa, tol ini diberi nama Sedyatmo.

Dicat merah
Awalnya, Terminal 1 dicat warna merah (mirip cat untuk klenteng) sehingga dengan permainan cahaya lampu pada malam hari, dari kejauhan bandara ini terlihat seperti nyala lilin. Namun, karena pada siang hari terlihat seperti klenteng, akhirnya dengan pemilihanwarga dari Soeharto,warga memilih coklat.

Selain itu, setelah beroperasi,Soeharto danTien Soeharto datang ke bandara pada malam hari. Namun, karena banyak kepik dari sawah masuk ke terminal,diinstruksikan agar bangunan terminal ditambah kaca supayaserangga tidak masuk.

Bagi Budi Karya, saat lulus kuliah tahun 1982, ia melihat pembangunan BandaraSoekarno-Hatta merupakan proyek mercusuar yang dibangun di lahan yang sangat luas.

Sejak1977, pemerintah telah menguasai 1.800 hektar lahan. ”Saat saya pertama kali terbang dengan pesawat, masih di Kemayoran. Saat itu, naik pesawat termasuk yang mewah karena hanya sedikit sekali orang melakukan perjalanan dengan pesawat. Dulu, saya lebih sering melakukan perjalanan dengan kereta api,” kata Budi Karya.

”Salah satu karakteristik besar Terminal 1 dan Terminal 2 ini adalah gaya arsitektur lokalnya dan kebun tropis di antara lounge tempat tunggu. Ada keteduhan, kenyamanan, naungan, dan ventilasi. Sementara aksesori penghias bandara yang dituangkan dalam karya seni tinggi melambangkan kearifan lokal,” papar Budi Karya.

Keunggulan lain dari desain bangunan linier di Terminal 1 dan Terminal 2 adalah di saat penumpang membeludak, arus penumpang tetap mengalir. Terminal 1 dan Terminal 2 pun mendapatkan penghargaan Aga Khan Award for Architecture (AKAA) di tahun 1995.

”Ke depannya, Terminal 1 dan 2 akan direvitalisasi. Konsep bangunan yang ada saat ini tetap dipertahankan menjadi warisan budaya. Namun, sebagai pengelola kami akan menambah daya tampung,” kata Budi.

Saat dibangun, daya tampung di Soekarno-Hatta (Terminal 1, 2, dan 3) 20 juta penumpang per tahun. Saat ini sudah 54 juta sampai 60 juta penumpang per tahun.

Dulu dan kini
Djoko Muratmodjo menambahkan, lokasi yang dipilih untuk bandara itu kawasan rawa-rawa yang dikenal dengan nama Cengkareng.

Djoko menceritakan, pengerasan lahan untuk pembangunan Soekarno-Hatta menggunakan batu dari dua pulau karang di Banten, sementara lampu dari Yogyakarta. ”Batuan ini diangkut melalui laut dari Banten hingga Dadap. Lampunya saya bawa pakai pesawat, sampai pintu pesawat hampir tidak tertutup,” kenangnya.

Terminal 1 resmi beroperasi tanggal 1 April 1985. Bandara Kemayoran ditutup dan penerbangan internasional di Bandara Halim Perdanakusuma pindah ke Soekarno-Hatta. Bersamaan dengan itu, Tol Sedyatmo pun beroperasi. Selanjutnya, secara bertahap, perluasan bandara dilakukan.

Pihak pengelola bandara terus membangun hingga terwujudlah Terminal 3 yang selesai pada 15 April 2009. Saat ini, tengah berlangsung pembangunan perluasan Terminal 3 atau Terminal 3 Ultimate (Terminal 3 U). Menurut rencana, pertengahan Juni 2016, Terminal 3 U ini mulai dioperasikan dan tetap menjadi etalase kekayaan dan kekhasan budaya Nusantara.

Albert Ompusunggu (75), warga Jakarta yang biasa bepergian dengan pesawat sejak tahun 1980-an, menilai Soekarno-Hatta bergerak maju. ”Dulu, kalau tiket hilang, harus laporan ke polisi di bandara. Kalau enggak, harus beli yang baru. Sekarang, tinggal menunjukkan kode booking identitas sesuai KTP saja,” katanya.

Zaman berubah, Bandara Soekarno-Hatta pun terus berbenah.

DIAN DEWI PURNAMASARI/PINGKAN ELITA DUNDU
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Juni 2016, di halaman 27 dengan judul “Kekhasan Desain Tropis dan Karya Seni”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya
Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri
PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen
7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya
Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK
Red Walet Majukan Aeromodelling dan Dunia Kedirgantaraan Indonesia
Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu
Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’
Berita ini 124 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 21 Februari 2024 - 07:30 WIB

Metode Sainte Lague, Cara Hitung Kursi Pileg Pemilu 2024 dan Ilustrasinya

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:23 WIB

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:17 WIB

PT INKA Fokus pada Kereta Api Teknologi Smart Green, Mesin Bertenaga Air Hidrogen

Rabu, 7 Februari 2024 - 14:09 WIB

7 Sesar Aktif di Jawa Barat: Nama, Lokasi, dan Sejarah Kegempaannya

Rabu, 7 Februari 2024 - 13:56 WIB

Anak Non SMA Jangan Kecil Hati, Ini 7 Jalur Masuk UGM Khusus Lulusan SMK

Minggu, 24 Desember 2023 - 15:27 WIB

Penerima Nobel Fisika sepanjang waktu

Selasa, 21 November 2023 - 07:52 WIB

Madura di Mata Guru Besar UTM Profesor Khoirul Rosyadi, Perubahan Sosial Lunturkan Kebudayaan Taretan Dibi’

Senin, 13 November 2023 - 13:59 WIB

Meneladani Prof. Dr. Bambang Hariyadi, Guru Besar UTM, Asal Pamekasan, dalam Memperjuangkan Pendidikan

Berita Terbaru

US-POLITICS-TRUMP

Berita

Jack Ma Ditendang dari Perusahaannya Sendiri

Rabu, 7 Feb 2024 - 14:23 WIB