Achmad Noe’man Arsitek Seribu Masjid

- Editor

Senin, 7 Juli 2014

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Achmad Noe’man (88) mendedikasikan hidupnya untuk membangun masjid sehingga ia dijuluki ”Arsitek Seribu Masjid”. Ide besarnya, antara lain, masjid tidak harus berkubah karena sering kali malah menambah beban masjid dan tidak fungsional.

Tempo bicaranya pelan dengan suara bergetar, tetapi terstruktur. Pendengarannya masih sangat jernih. Masih tajam pula ia mengingat-ingat detail peristiwa dalam hidupnya.

Karya Noe’man, antara lain, adalah Masjid Salman di Kampus Institut Teknologi Bandung, Masjid Asy-Syifa di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Masjid Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Masjid Agung Al Akbar, Surabaya, dan Masjid Indonesia di Sarajevo, Bosnia. Salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia itu lalu bercerita tentang masjid-masjid rancangannya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Anda dikenal sebagai arsitek seribu masjid. Bagaimana ceritanya?

Saat menjadi asisten dosen Prof Van Roemondt (dosen arsitektur Islam), saya mengusulkan agar dibangun masjid di ITB. Ide ini sebenarnya sudah lama, sudah sejak saya mahasiswa karena terlalu jauh kalau hendak ke masjid. Harus jalan kaki ke Masjid Jalan Cipaganti (sekitar 2,5 kilometer dari ITB) atau Masjid Raya di Alun-alun. Waktu itu masjid masih jarang.

Saya dan kakak saya, Achmad Sadeli pelukis kaligrafi yang juga dosen di ITB, berpikir untuk membangun masjid sendiri. Dia menyarankan agar saya membuat desainnya sebelum kami usulkan kepada rektor yang waktu itu dijabat Prof Ir RO Kokasih. Modal kami kertas, pencil, dan niat. Setelah gambar selesai, rupanya Rektor ITB tidak menyetujui dengan alasan khawatir mahasiswa atau dosen dari agama lain mengusulkan pembangunan rumah ibadah. Pemerintah Kota Madya Bandung juga menolak usulan itu.

Lalu, apa langkah selanjutnya?

Kebetulan ada mahasiswa saya, Ajat Sudrajat, yang mempunyai paman seorang tentara. Namanya Mayor Sobur. Dia bertugas sebagai anggota Pasukan Tjakrabirawa yang menjaga Presiden Soekarno. Melalui Mayor Sobur, Ajat menyampaikan rencana kami membangun masjid di ITB. Saat itu Soekarno kan sangat tertarik dengan Islam. Dia menjadi alah satu dari tokoh empat serangkai bersama Hatta, Mas Mansoer, dan Ki Hadjar Dewantoro.

Saya dan kakak saya menemui Presiden Soekarno di Istana sambil sarapan didampingi menteri agama. Saya lalu beberkan gambar yang sudah saya gambar sejak dua tahun itu dan Presiden Soekarno menyetujuinya. Dia malah mengusulkan nama masjid itu Salman.
Tanpa kubah

Salman diambil dari nama Salman Al Farisi, panglima perang yang cerdas pada masa Nabi Muhammad. Dia yang mengusulkan pembangunan parit di sekeliling tenda untuk menghalangi pasukan musuh menyerang. Perang ini disebut Perang Khandak yang berarti parit.

Masjid Salman dibangun tahun 1964 dan diresmikan pada 1972. Masjid Salman dirancang tanpa kubah dan tiang penyangga. Atap masjid berbentuk melengkung mirip dua telapak tangan menengadah berdoa. Kala itu, bahkan sampai sekarang, model bangunan masjid tanpa kubah belum lumrah.

Mengapa tanpa kubah?

Apakah harus berkubah? Di dalam Al Quran tidak diwajibkan harus berkubah. Ini sikap seorang Muslim harus ada ilmunya. Tidak mengubah sesuatu tanpa dasar ilmu. Harus menguasai ilmu struktur. Membuat sesuatu yang kuat harus ada fondasi. Saya beranikan diri mengajukan gambar masjid tanpa kubah berdasarkan Al Quran. Silakan buka Surat Al-Baqarah Ayat 170.

Kubah itu berat. Bobotnya bisa sampai berton-ton sehingga harus disangga dengan tiang. Tiang di dalam masjid itu menghalangi shaf (barisan orang shalat), sedangkan shaf tidak boleh terputus. Jemaah juga terhalangi untuk melihat khatib seperti di Masjid Istiqlal. Masjid-masjid yang saya bangun tidak menggunakan tiang karena menghalangi orang shalat.

Terinspirasi ayah
Noe’man lahir di Garut, Jawa Barat, pada 10 Oktober 1924. Dia tumbuh di bawah didikan ayahnya, Muhammad Jamhari, saudagar yang menjadi salah seorang pengurus Muhammadiyah. Untuk mengembangkan organisasi, Jamhari kerap mendapat tugas membangun sekolah, rumah warga, dan masjid. Dia merancang setiap bangunan itu. Noe’man sering ikut ayahnya menjalankan tugas.

Noe’man kecil terpesona dengan cara kerja ayahnya. Dia berpikir, betapa mulianya pekerjaan ayahnya yang dapat membantu orang membangun rumah, anak-anak belajar di gedung sekolah, ataupun warga beribadah. Pelan-pelan, terpaku di hati Noe’man ingin seperti ayahnya. ”Dari pengalaman itu, saya tertarik arsitektur,” kata Noe’man.

Achmad NiemanLulus dari Algemeene Middelbare School (AMS) Adam Bachtiar di Jakarta, Noe’man melanjutkan kuliah di ITB yang saat itu masih bernama Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Oleh karena belum ada jurusan arsitek, Noe’man masuk ke jurusan teknik sipil. Alasan utamanya, di teknik sipil terdapat pelajaran fondasi.

”Ini belum begitu sesuai dengan minat saya, tapi ada pelajaran fondasi di sipil. Lumayanlah. Untuk membuat arsitektur yang bagus, kan, butuh fondasi yang kuat,” kata Noe’man.

Kuliah Noe’man tidak lancar lantaran terjadi agresi militer Belanda dan dia diwajibkan bergabung bersama tentara Indonesia. Ia tidak mahir menenteng senjata. Tugas utamanya adalah sebagai penerjemah bahasa Belanda ke Indonesia dalam setiap pertemuan diplomasi. Noe’man belajar bahasa Belanda selama duduk di sekolah menengah (Middelbaar Uitgebreid Lagere Onderwijs/Mulo) di Yogyakarta dan AMS di Jakarta. Tugas sebagai tentara dia emban hingga tahun 1950.

Selama menjadi tentara, bagaimana dengan cita-cita sebagai arsitek?

Saya terus membina hubungan dengan mahasiswa ITB. Tahun 1950, ada teman saya di ITB, Hasan Purbo, memberi kabar bahwa kampus akan membuka bagian Arsitek. Keinginan saya untuk kuliah arsitek semakin menguat. Lalu tahun 1952 saya minta izin kepada Kolonel AH Nasution yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam VI/Siliwangi.

Izin ini cukup mudah karena saya berteman baik dengan Gondo Kusumo, teman basket. Gondo Kusumo ini adik dari istri Pak Nasution. ”Tapi kamu punya tugas sebagai B1 atau intel,” itu pesan Pak Nasution. Saya kuliah tahun 1952 dan lulus tahun 1958.

Apa kegiatan setelah lulus kuliah?

Saya ditawari menjadi pegawai negeri sipil dan mengajar di ITB. Saya tolak. Kalau masuk PNS harus Golkar, sementara tokoh-tokoh Golkar tidak adil kepada rakyat. Saya tetap mengajar, tetapi sebagai dosen luar biasa di Interior Seni Rupa ITB sambil membuka jasa konsultasi arsitektur, PT Biro Arsitektur Achmad Noe’man (PT Binaro). Ini menjadi langkah membanggakan karena saya dapat melanjutkan keinginan ayah saya. Semoga ini menjadi amal baik dan bermanfaat.

Alhamdulillah, ada anak ketiga saya yang bersedia meneruskan, Fauzan Noe’man. Dia juga sangat tertarik dengan arsitektur dan lulusan Rhode Island School of Design Amerika. Setelah lulus, saya minta pulang dan melanjutkan bekerja di PT Binaro. Hari-hari ini dia sibuk mengurusi rencana pembangunan Kampus Universitas Muhammadiyah, Bandung.

Saya ingin agar pekerjaan kami lebih barokah. Makanya, saya menyarankan agar PT Binaro tidak ikut-ikut tender proyek pemerintah. Dulu kami sering menang tender, tapi ternyata itu membuat perusahaan pesaing jadi kehilangan peluang. Rasanya kami ini menutup rezeki orang. Jadi kami menjadi pekerjaan swasta saja yang tidak pakai tender.

Anak saya empat. Yang pertama, Irfan Noe’man, bekerja di Kementerian Pariwisata dan Perekonomian Kreatif. Juga sebagai dosen keliling Singapura, Malaysia, Brunei, dan Bangkok. Adiknya, Nazar Noe’man, pengelola penyiaran di Radio KLCBS . Anak terakhir saya, Irma Noe’man, lulusan desain grafis dari universitas di Chicago.

Pada usia 88 tahun, Ahmad Noe’man tampak sehat. Di masa muda, ia hobi bermain bola.

”Alhamdulillah, saya tidak pernah dikasih Allah asam urat, jantung, atau kolesterol. Jadi tetap sehat sampai sekarang. Saya menghindari makanan dan minuman yang dilarang agama. Mungkin itu yang membuat saya tetap sehat. Ini kira-kira saya saja,” kata Noe”man.

Oleh: Mohammad Hilmi Faiq

Sumber: Kompas, 6 Juli 2014

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat
Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi
Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan
Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona
Buat Internet Lebih Aman bagi Anak
Mengingat Kembali Teori “Inovasi yang Mengganggu”
Belajar Bertransformasi dari L’Oreal
Pilih Muda atau Tua?
Berita ini 65 kali dibaca

Informasi terkait

Selasa, 20 Juli 2021 - 16:06 WIB

Agus Purwanto: Sains Bukan Milik Barat

Senin, 19 April 2021 - 17:09 WIB

Teuku Jacob Sang Maestro Paleoantropologi

Kamis, 2 Juli 2020 - 15:35 WIB

Mewujudkan Kemandirian Industri di Bidang Kesehatan

Rabu, 15 April 2020 - 12:15 WIB

Bersatulah, Indonesia Sudah Darurat Korona

Jumat, 13 Maret 2020 - 12:01 WIB

Buat Internet Lebih Aman bagi Anak

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB